Salatiga, Victoriousnews.com, Seminar & Lokarkarya Agama- Agama pada sesi pertama (Rabu, 3 Juli), menampilkan Inspektur Jendral Kemenkumham RI, Jhony Ginting,SH,MH sebagai keynote speaker yang menyoroti tentang “ Agama dan Masyarakat Terpinggirkan dalam Kepemimpinan Baru Indonesia”. Menurut Jhony, seiring dengan perkembangan zaman dan dialektika, masih ada beberapa elemen masyarakat yang masih mendengungkan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) untuk motif dan tujuan tertentu. Segala tindakan yang berujung pada persekusi dan diskriminasi akibat isu SARA merupakan sebuah pelanggaran hukum yang serius. “Hal tersebut tentunya tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan hukum dan konsensus nasional Indonesia. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang Undang dasar 1945 merupakan konsensus final yang tidak dapat digugat kembali. Oleh sebab itu, pemerintah akan selalu hadir untuk menjaga dan mempertahankan konsesus tersebut,” ungkap Jhony.
Jhony juga memaparkan bahwa, saat ini, pemerintah sedang fokus pada pengembangan infrastruktur untuk dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi. Pada pemerintahan Jokowi – JK, pembangunan infrastruktur mempunyai visi Indonesia sentris. Pembangunan infrastruktur dilakukan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, agar mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, kita masih dapat menemukan tidak semua daerah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sama. Masih terdapat ketimpangan dalam berbagai dimensi. Ketimpangan itu antara lain terjadi antar wilayah perkotaan dan pedesaan, antar Jawa dan luar Jawa, dan antar pulau-pulau terpencil dengan pulau-pulau utama yang besar. Disamping ketimpangan dalam dimensi geografis, kita juga masih melihat ketimpangan antar sektor. Ketimpangan sektor pertanian dengan sektor industri, sektor perikanan dengan sektor jasa, bahkan antar berbagai sektor yang terdapat di dalam pertambangan. Ketimpangan-ketimpangan lainya juga terjadi pada aspek gender. Beberapa lapangan pekerjaan masih mempunyai preferensi gender, seperti lapangan pekerjaan tertentu pada industri formal yang lebih mengutamakan pekerja laki-laki daripada perempuan. Ketimpangan-ketimpangan tersebut bukanlah suatu ketimpangan yang baru, namun ketimpangan yang sudah terjadi sejak awal kemerdekaan, yang sebagian besar merupakan produk peninggalan kolonial yang terus berkembang dan menjadi beban bagi siapapun yang memerintah di Indonesia. “Peran agama untuk mengatasi ketimpangan ini adalah juga sesuatu yang sangat penting. Perjalanan sejarah bangsa ini mencatat banyak kontribusi dari berbagai agama dalam memajukan bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak sekolah, lembaga pendidikan, dan rumah sakit yang didirikan oleh organisasi berbasis Katolik, Kristen dan juga dari teman-teman kita berbasis Muhammadiyah dan NU. Kehadiran dan peran serta institusi agama dalam mengatasi ketimpangan sosial selalu disambut baik oleh pemerintah. Institusi keagamaan senantiasa menjadi mitra kerja pemerintah, terutama untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan dalam dimensi sosial. Pemerintahan Jokowi – JK telah menekankan pentingnya upaya untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Salah satu fokus dari pemerintah untuk mengatasi ketimpangan tersebut adalah dengan memberikan program bantuan sosial kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Secara anggaran, pengeluaran sosial (social spending) terus meningkat dari tahun ke tahun sejak pemerintahan Pak Jokowi. Dalam masa pemerintahan Jokowi, kita bisa melihat adanya bantuan jaminan kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, program keluarga harapan dan bahkan pemerintah sudah merancang program bantuan pendidikan yang lebih baik untuk kalangan pemuda yang telah menyelesaikan pendidikan dan berusaha mencari pekerjaan,” urai Jhony.
Pemateri pada sesi kedua adalah Dosen antropologi di King Fahd Petroleum University, Arab Saudi, Prof. Dr. Sumanto Al-Qurtuby dengan mengangkat isu “Kontroversi dan Sikap Terhadap Penyiaran Agama Di Indonesia”.
Menurut Prof. Sumanto, masalah masalah yang sangat mendasar terhadap umat adalah munculnya kelompok-kelompok intoleran kelompok-kelompok yang memaksakan diri dan menganggap yang paling benar. Kelompok ini kemudian melakukan berbagai macam aksi atas nama agama, atas nama ormas, partai dan sebagainya. “Problem penyiaran agama ini mencuat di berbagai kalangan, baik umat Islam maupun non Islam. Sebenarnya yang namanya istilah ‘Islamisasi’ maupun ‘Kristenisasi’ sebetulnya tidak ada. Yang ada, adalah masing-masing aliran, baik Islam maupun Kristen menyebarkan alirannya. Islam dan Kristen dua-duanya itu agama misionaris yang luar biasa Kristen Kristen punya doktrin untuk menyebarkan kabar gembira itu bukan hanya untuk non Kristen tapi juga untuk sesama umat Kristen yang berbeda gereja. Namun sayangnya, seringkali disikapi dengan sikap intoleransi dan kekerasan dan kenapa itu yang tidak diiringi dengan sikap intoleransi dan kekerasan. Sikap intoleransi dan Kekerasan ini kemudian menimbulkan masalah. Sehingga, muncul asumsi bahwa seolah-olah minoritas minoritas itu menjadi korban dan mayoritas. Padahal dalam prakteknya justru, kadang-kadang minoritas itu menjadi pelaku korbannya. Istilah mayoritas dan minoritas ini sebenarnya juga tidak ada. Karena bisa saja, sebuah agama mayoritas di daerah ini, bisa jadi minoritas di daerah lain,” papar Prof. Sumanto.
Sementara itu, pada sesi ketiga, Prof. Dr. I Nengah Duija, M.Si (Guru Besar Bidang Antropologi Budaya IHDN Denpasar) dalam makalahnya mengemukakan, bahwa, dalam ajaran Hindu, ada yang disebut Dharma Agama dan Dharma Negara, disamping swadharma yang berhubungan dengan tugas masing-masing, ketaatan kepada pemerintah (negara) dan ketaatan menjalankan ajaran agama merupakan swadharma yang merupakan tugas hidupnya.
Kedua ketaatan ini dalam ajaran agama Hindu disebut Dharma Negara dan Dharma Agama. Dharma Agama berarti kewajiban bagi umat Hindu warga bangsa di seluruh Indonesia untuk taat melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dan menjunjung tinggi kitab sucinya, yaitu Weda. Selain daripada itu, umat Hindu warga Negara yang lahir, berpijak dan hidup di bumi Indonesia, menghirup udara, minum air dan makan hasil bumi dan laut ibu pertiwi wajib mencintai bangsa, Negara, dan tanah airnya yang disebut Dharma Negara. Konsep Dharma Negara merupakan hubungan dari bawah ke atas, karena Hindu memiliki kewajiban sebagai warga Negara untuk tetap berupaya berpikir (manacika), berkata (wacika), dan berbuat (kayika) untuk Negara dengan tradisi, adat Bali dan agama Hindu. Berpikir, berkata dan berbuat dengan landasan kedamaian (santih), toleransi (manyama braya , tat twam asi), tanpa kekerasan (ahimsa).
Lebih lanjut Prof Nengah menjelaskan, hukum yang tertinggi adalah Ahimsa (non-violence), adalah ajaran yang tidak membenarkan pemakaian kekerasan. Konsep kerukunan (nyama braya) inilah Bali sebagai “pengawal” peradaban dengan nilai-nilai kehalusan berbasis tri wisesa kebenaran (satyam), kebajikan, kesucian hati (siwam), dan keindahan atau estetika (sundaram) hingga mampu menjadi tujuan utama wisata dunia (pulau sorga). SM
Comment