Jakarta,Victoriousnews.com,-Setelah melalui proses persidangan selama beberapa bulan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya membacakan putusan terhadap Prof. Dr. Marthen Napang, SH, MH, yang menjadi terdakwa dalam kasus penipuan, penggelapan, dan pemalsuan dokumen Mahkamah Agung (MA). Dalam sidang yang digelar Rabu, (12/3/25) sore, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara kepada terdakwa (67 tahun), dengan pertimbangan usia lanjut.
Ketua Majelis Hakim, Buyung Dwikora, dalam putusannya menyatakan, “Mengadili Prof. Dr. Marthen Napang, SH, MH telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun, dengan dikurangi masa penangkapan dan penahanan.”
Namun, putusan ini menimbulkan kejanggalan dan memicu reaksi keras dari berbagai pihak, terutama mengingat terdakwa didakwa dengan tiga pasal dalam KUHP, yaitu Pasal 378 tentang penipuan, Pasal 372 tentang penggelapan, dan Pasal 263 tentang pemalsuan dokumen. Semua dakwaan tersebut terbukti, tetapi vonis yang dijatuhkan jauh lebih ringan dari ancaman hukuman yang seharusnya.
Sejumlah wartawan yang hadir di ruang sidang tampak terkejut dengan putusan tersebut. Salah satu wartawan yang meliput bahkan mempertanyakan keputusan hakim. “Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan putusan ini. Bagaimana mungkin pemalsuan dokumen MA yang terbukti dilakukan oleh terdakwa hanya dihukum 1 tahun? Padahal, ancaman Pasal 263 KUHP bisa sampai 6 tahun penjara,” ujarnya.
Kuasa hukum korban, Muhammad Iqbal, juga menyoroti keputusan hakim yang cenderung lebih menitikberatkan pada aspek penipuan dibanding pemalsuan dokumen MA. “JPU telah membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan pemalsuan dokumen dan menuntut 4 tahun penjara. Kami tidak dapat menerima putusan ini karena bukti yang menunjukkan adanya pemalsuan putusan MA sangat jelas,” tegasnya.
Korban dalam kasus ini, Dr. John N. Palinggi, mengalami kerugian finansial hingga Rp 950 juta, serta kerugian immateriil yang tak ternilai. John juga menyayangkan putusan hakim yang dianggap tidak mencerminkan keadilan, terutama karena pemalsuan dokumen putusan MA merupakan inti dari kasus ini. “Saya sudah tahu uang saya tidak akan kembali. Yang saya perjuangkan adalah marwah Mahkamah Agung yang telah dicoreng oleh terdakwa dengan membuat putusan palsu,” kata John Palinggi dengan nada kecewa.
Hakim Dinilai Tak Sejalan dengan Upaya Penegakan Hukum
John Palinggi menambahkan bahwa putusan ini bertentangan dengan upaya pemerintah, terutama Presiden Prabowo Subianto, dalam menegakkan hukum di Indonesia. “Presiden sedang berjuang menegakkan hukum, tetapi ada oknum-oknum di pengadilan yang justru melemahkan upaya tersebut. Bagaimana bisa pemalsuan putusan MA, yang merupakan masalah besar, tidak dipertimbangkan secara serius oleh hakim?” ungkapnya dengan nada geram.
Kekecewaan juga muncul karena terdakwa, yang berprofesi sebagai akademisi dan pernah menjadi Ketua Badan Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur (STT Intim) di Makassar, justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sebagai seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, seharusnya Marthen Napang memahami konsekuensi hukum dari perbuatannya.
Baik pihak terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum telah menyatakan akan mengajukan banding atas putusan ini. Kasus ini pun berpotensi berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi, sementara publik dan praktisi hukum terus menyoroti kejanggalan dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyingkap bagaimana sistem peradilan masih menghadapi tantangan dalam menegakkan keadilan. Jika putusan ini tidak dikaji ulang, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan bisa semakin tergerus. SM