VICTORIOUSNEWS.COM,-Nama lengkapnya Andy Flores Noya. Ia adalah seorang wartawan dan presenter terkenal acara Kick Andy—sebuah acara yang edukatif karena memberikan banyak inspirasi kepada para penontonnya. Andy lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 November 1960. Andy F. Noya selama ini lebih dikenal sebagai wartawan cetak. Lebih dari lima belas tahun dia bergumul dengan dunia jurnalistik untuk media cetak.
Pertama kali terjun sebagai reporter ketika pada 1985 Andy membantu majalah Tempo untuk penerbitan buku Apa dan Siapa Orang Indonesia. Kala itu pemuda berdarah Ambon, Jawa, dan Belanda ini masih kuliah di Sekolah Tinggi Publisitik (STP) Jakarta.
Karir Andy, demikian sapaannya, terbilang mulus dan sukses dalam bidang jurnalistik dan menjadi seorang wartawan yang handal. Bahkan pada tahun 2000, ia pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi Metro TV selama 3 tahun dan juga merangkap menjadi pemimpin redaksi di surat kabar Media Indonesia.
Namun meski pintar dalam dunia jurnalistik, Andy ternyata sempat goyah dalam imannya kepada Tuhan. Andy terlahir sebagai orang Kristen sejak kecil. “Saya anak Tuhan sejak lahir. Orangtua saya Kristen. Saya lahir dari keluarga miskin. Ibu saya tukang jahit. Ayah saya tukang membetulkan mesin Tik. Tapi saya yakin Tuhan mempunyai rencana yang indah dalam hidup saya. Dan ketika saya berada di sini pun saya yakin Tuhan mempunyai rencana. Karena jujur saja, saya bersama istri dalam perjalanan liburan menuju Yogya. Kami juga singgah-singgah di beberapa kota. Ketika sampai di Solo, saya bilang kepada istri, kita harus natalan di Solo dan mencari gereja. Hari ini saya bisa beribadah di gereja ini karena lewat di Solo,” ujar Andy ketika menyampaikan kesaksiannya di sebuah gereja di Solo.
Andy mengaku, perjalanan keimanannya kepada Tuhan sempat goyah. Ketika dirinya masih remaja, kerap melihat prinsip-prinsip yang tidak cocok diajarkan di gereja. “Kebetulan saya bertetangga dengan berapa jemaat, saya melihat mereka kasar dengan istrinya. Bahkan saya menyaksikan sendiri mereka kerap memukul istrinya. Mulai dari situ saya bilang percuma bilang tentang kasih tetapi dalam perilaku sehari-hari tidak ada kasih. Dan saat itu saya mulai tidak percaya terhadap gereja untuk jangka waku yang lama,” tukas Andy.
Pertolongan Tuhan bagi Andy juga terjadi ketika kakak perempuannya divonis dokter menderita kanker payudara stadium 4. “Suatu hari kakak saya minta diantar ke dokter spesialis kanker. Sudah lama dia menahan diri dan sebenarnya tahu kalau kena kanker. Dia pikir kalau disampaikan ke saya, kebetulan saya anak bungsu dari lima bersaudara dan selama ini saya menanggung seluruh keluarga saya yang gajinya sebagai wartawan. Kakak saya divonis dokter kanker payudara stadium 4. Kakak saya menangis. Saya bilang kita harus berobat ke rumah sakit dan berusaha. Akhirnya kami ke rumah sakit Dharmais dan dokter bilang kedua payudaranya harus dipotong, itulah jalan satu-satunya setelah itu harus dikemo sebagai usaha terakhir. Begitu lihat biayanya saya hampir pingsan. Karena hari ini gaji saya tidak cukup, bahkan saya sampai bingung harus pinjam siapa untuk menutupi biaya ini,” cerita Andy.
Malam itu ia sangat gelisah. Tidak bisa tidur. Pikirannya bekerja ekstra keras. Dari mana harus bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya pengobatan? Sampai jam tiga dini hari otaknya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi. “Jumlah biayanya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus menghidupi keluarga dengan tiga anak. Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup tanpa suami. Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat bertahan menghadapi kehidupan yang berat.
Pagi dini hari itu, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. “Tuhan, sebagai manusia, akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini.” Setelah itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental. Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan yakin Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak cukup kuat sehingga masih saja gundah. Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan terpaksa menelepon saya karena “keadaan darurat”. Pembicara yang seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat menggantikannya.
Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara workshop itu sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi, katanya, para peserta puas. Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara lagi untuk acara-acara mereka yang lain. Sebelum meninggalkan tempat workshop, teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara. Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya berniat menyelamatkan sahabat saya itu. Tapi sahabat saya memohon agar saya mau menerimanya. Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu. Malam hari baru saya berani membuka amplop tersebut. Betapa terkejutnya saya melihat angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen pun. Sama persis!
Mata saya berkaca-kaca. TUHAN, Engkau memang luar biasa. Engkau Maha Besar. Dengan cara-MU, Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib! Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit. Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan. Tidak cukup sampai di situ. Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam menengok kakak di rumah sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya. Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit, Surya Paloh memutuskan menanggung semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun, akan dia tanggung. TUHAN Maha Besar!,” papar Andy mengakhiri kesaksiannya. margianto/victorious edisi 866