KISAH PERTOBATAN REO PANGGABEAN AKIBAT TERSENTUH KOTBAH SEORANG PENDETA

Kesaksian6488 Views
Pdt. Reo Panggabean

VICTORIOUSNEWS.COM-Pria bernama lengkap Reo Benyamin Panggabean ini kelahiran 16 Juni 1966.  Ia adalah anak kelima dari lima bersaudara, dari pasangan Muller Panggabean (Ayah) dan Helena Hutabarat (ibu). Reo telah menikah dengan wanita dambaannya bernama Dini Dieny Djandam, asal Kalimantan Tengah dan dikaruniai dua orang putra, masing-masing; Zefanya Kaleluni Panggabean (Zefa) dan Nehemia Janrah Panggabean (Nemi).

Kesaksian Reo, berawal saat hadir dalam Ibadah Raya GBI REM di Atrium Senen (1998). Kala itu, ada seorang hamba Tuhan yang berkhotbah dan mengatakan satu kalimat  ‘bayarlah nazarmu’ .  Kalimat itulah yang tergiang dalam telinga Reo dan menjadi “titik balik” dari seluruh kehidupan yang selama itu sudah dijalankan. “Sewaktu Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya sesekali suka datang dalam ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Istora Senayan (Jakarta Selatan). Kegiatan tersebut membuat diri saya berkomitmen ingin menjadi seorang pendeta. Alasannya waktu itu sederhana (karena masih remaja yang emosinya belum stabil), enak ya jadi pendeta, bisa ngomong di depan banyak orang, bisa marahin orang untuk bilang ‘bertobatlah’ dan lain sebagainya hahahaha,” katanya sembari tertawa.

“Kalau bertobat yang namanya merasakan jamahan Tuhan adalah saat saya ikut satu acara retreat remaja di Jogjakarta. Di situlah sesungguhnya cinta mula-mula saya. Dengan cinta itulah, saya bahkan berkata kepada ibu saya kalau saya mau jadi pendeta. Mendengar hal itu, ibu saya tertawa. Saat ini, ibu saya pasti menyadari bahwa tertawanya seperti Sara tertawa waktu dikatakan akan mengandung hahahaha,” urainya kembali disambung tawa.

Bagaimana liku-liku yang akhirnya menghantarkan pada pelayanan yang full time? “Pelayanan diri saya bukan hanya sepenuh waktu, tapi juga sepenuh hati. Kesungguhan itu saya wujudkan dengan membangun ‘Oikumene Ministry Jakarta’ yang diawali saat menempuh pendidikan teologia di STT Ekklesia Jakarta (Sinode GSJA) di Gedung Kenanga pada tahun 2003 pasca pernikahan dengan Dini Dieny Djandam yang dilakukan pada 03.03.03 (3 Maret 2003) di GKI Kwitang (Jakarta Pusat),” urainya.

“Sejak menempuh pendidikkan di STT, saya berjanji akan bayar harga di dalam pelayanan yang saya jalani. Pikir saya, berapapun harga yang akan saya keluarkan dalam pelayanan tidak akan pernah dapat membayar apa yang sudah Tuhan Yesus lakukan untuk membayar lunas dosa saya,” tandasnya.

Oikumene Ministry Jakarta menjadi wadah bagi siapa saja dan bagi gereja mana saja yang mau bergabung. Yang pasti siapa saja yang mau bergabung mempunyai hati melayani (misi) dan berani bayar untuk semua keperluannya. “Puji Tuhan Yesus hingga saat ini kami telah melakukan beberapa pelayanan ke beberapa daerah di Indonesia dan luar negeri. Saya menikmati pelayanan ini semua karena, sahabat-sahabat yang mau bergabung mempunyai hati yang sama walaupun mereka berasal dari gereja atau denominasi yang berbeda. Coba bayangin, orang Katolik dan Protestan yang ibadahnya penuh dengan ketenangan bergabung dengan orang Karismatik atau Pantekosta apa jadinya? Mungkin di tempat lain susah, atau mungkin satu gereja dengan gereja yang lain tidak membuka diri. Lihat waktu mereka ada di Oikumene Ministry Jakarta (singkat OMJ) mereka bisa melayani bersama dan punya tujuan yang sama. Haleluya!” kata Reo antusias.

Ditambahkan, sudah saatnya gereja-gereja membuktikan dirinya bahwa mereka benar-benar satu tubuh. Jangan hanya slogan saja! Dengan sedikit senyum dan membagi lesung pipinya. “Jika berbicara kepemimpinan, saya ingat seperti sudah melekat. Sedari kecil, saya selalu dapat mempengaruhi orang bahkan membawa orang ke arah yang saya mau. Bukan itu saja. Terkadang dalam kumpulan ketika harus ambil keputusan akhir tidak sedikit keputusan saya yang menentukan. Ada satu peristiwa yang saya tidak mungkin bisa terlupakan adalah saat saya memimpin adik-adik di STIE Perbanas saat gerakan reformasi penurunan Soeharto Soeharto (8 Juni 1921–27 Januari 2008, Presiden Indonesia kedua periode 12 Maret 1967–21 Mei 1998) pada Mei 1998. Padahal, saat itu, saya sudah menjadi alumni. Sebelum kuliah teologia, saya berkuliah di STIE Perbanas (1985) dan lulus sebagai Sarjana Ekonomi,” ujarnya.

“Selama kuliah, saya merasakan sangat memilik pengaruh di dalam pergaulan. Bahkan, saya bisa bergaul dengan senior yang lima atau enam tahun di atas saya begitupun sebaliknya. Saya begitu berpengaruh kepada adik tingkat saya. Terbukti, dengan kepercayaan mereka meminta saya memimpin rombongan menuju gedung MPR/DPR. Peristiwa 1998 juga kunci bagi kehidupan saya. Setelah Pak Harto lengser saya dihianati oleh adik-adik saya yang menurut saya mereka meninggalkan saya karena kepentingan yang berbeda. Ya, perjuangan yang berbeda. Bagi saya, saat Pak Harto turun ya selesai. Tapi, bagi banyak orang inilah kesempatan meniti karier di bidang politik dengan cara apapun,” katanya.

“Saya ingat waktu itu, di tengah kesendirian, saya mulai berdoa. Menurut saya, berdoanya sangat konyol. Saya minta Tuhan kasih jalan agar saya tidak habis dan menunjukkan kepada mereka bahwa saya benar. Dengan cara yang menurut saya aneh, saya mulai berkenalan dengan orang-orang yang sebelumnya tidak terpikir akan kenal dengan mereka. Dalam kampanye pemilu paska lengsernya Pak Harto, saya menemani Dr (HC) Hj Megawati Soekarnoputri  (Presiden ke-5 Indonesia periode 23 Juli 2001–20 Oktober 2004, Wakil Presiden Indonesia ke-8 periode 20 Oktober 1999–23 Juli 2001, dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sejak 1999) di Jambi. Kalau mas bisa dapat dokumentasi dari televisi atau media-media cetak mana saja pasti ada wajah saya. Saya puas dan sangat puas. Meski bukan anggota partai dan tanpa kepentingan politik apapun saya mengerjakan tugas ini dan menunjukkan kepada siapapun bahwa saya belum habis hahahaha… banyak loh yang mau minta kerjaan apa aja saat mereka melihat saya bareng ibu Mega dan Alm Dr (HC) H Muhammad Taufiq Kiemas (31 Desember 1942–8 Juni 2013, Ketua Majelis Permusyawaratan ke-13 periode 1 Oktober 2009–8 Juni 2013) berada di Jambi. Apa lagi para pemborong hahahaha.  Setelah ibu Mega jadi presiden, saya cabut. Saya senang aaja kalau bisa kasih tahu sama para ‘bajing loncat politik’ bahwa Tuhan bela saya dan semakin tegas bahwa saya harus tinggalkan semua ini untuk balik sama panggilan yang akhirnya tergenapi dalam satu ibadah yang sudah saya sebut di atas,” jelasnya.

“Kini, pekerjaan saya hanya pelayanan saja. Khotbah hari Minggu, khotbah di kantor, kampus, dan dimana saja. Terbukti, Tuhan Yesus luar biasa memelihara saya tatkala saya sungguh-sungguh mau melayani Dia. Begini saja sobat Victorious, kalau diceritain semua tidak akan ada habisnya. Jadi, pembaca bisa melihat sepak terjang saya di facebook atau instagram di Reo B. Panggabean,” ucap Pdt Reo.

Saat ini, ‘Penre’ singkatan dari Pendeta Reo, begitu biasa disapa oleh para ibu atau oma yang aktif di Persekutuan Doa Regatta (PDR). PDR dibangun oleh Pdt Oke Supit SH MH MBA (71 tahun, kelahiran 10 Oktober 1944) dan Rae Sita Supit (1 Juni 1945-20 Mei 2015) serta Ibu Minarni. Ketiga nama disebut merupakan warga Aparteman Regatta, Pantai Mutiara (Pluit, Jakarta Utara).  margianto/tabloid victorious edisi 842