Mantan Anggota DPR-RI, Jacobus “Kobu” Mayong Padang Sebut Demokrasi Indonesia Saat Ini Berada Di Titik Nol

Nasional, News353 Views

Victoriousnews.com,-Nama lengkapnya adalah Jacobus Kamarlo Mayong Padang. Tapi ia kerap disapa Bung Kobu. Pria kelahiran Sillanan-Tana Toraja, 01 Oktober 1955 ini dikenal sebagai sosok politisi sederhana, berintegritas dan sangat peduli dengan kaum termarjinalkan. Lebih tepatnya, Bung Kobu layak mendapat julukan sebagai “Marhenis Sejati”. Karena ajaran Marhaen  yang dikembangkan Presiden Bung Karno terus  melekat dalam dirinya. Terbukti ketika menjadi anggota DPRD kota Makassar hingga DPR RI, Bung Kobu  selalu konsisten memperjuangkan aspirasi kaum proletar atau wong cilik, seperti keberpihakannya terhadap petani, nelayan, buruh, serta masyarakat miskin yang sulit memperjuangkan nasibnya.

Bung Kobu, ketika dijumpai di sebuah Mal Di Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

“Ajaran Marhaen itu esensinya adalah untuk memperbaiki kehidupan rakyat jelata. Pada saat Bung Karno bertemu dengan Marhaen,  beliau tidak tahan dengan nasib Marhaen. Makanya dengan emosional Bung Karno saat itu mengatakan, Indonesia harus merdeka. Disitulah Bung Karno menjadikan Marhaen sebagai sebuah inspirasi untuk memperjuangkan kaum lemah. Cara memperbaiki kehidupan mereka, maka Indonesia harus merdeka. Dalam perjalanan selanjutnya, kalau baca buku berjudul ‘Di bawah Bendera Revolusi’, Bung Karno mengingatkan lagi, hati-hati jangan sampai Marhaen jadi pengupas nangka, kena getahnya tetapi tidak nikmati nangkanya. Sesudah itu, Bung Karno ingatkan lagi, di ujung jembatan emas, jalan akan terbagi dua. Jalan satu kepada keselamatan Marhaen. Yang satunya lagi jalan kepada penderitaan Marhaen,” ujar suami dari Emmy Rerung Rante ini ketika ditemui di sebuah restoran di kawasan Mal Atrium beberapa waktu lalu.

Bung Kobu menilai, saat ini pemerintah Indonesia memberikan jalan kepada penderitaan kaum Marhaen. Bayangkan saja, masyarakat yang terdampak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur hanya diberikan sertifikat hak pakai rumahnya selama 10 tahun. Sedangkan kaum pemodal diberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun. “Ini kan ironis sekali. Masyarakat di sekitar IKN hanya diberi sertifikat hak pakai di tanahnya sendiri selama 10 tahun. Sementara pemodal diberi HGU selama 190 tahun. Kalau di era kolonial Belanda dulu memberikan 75 tahun. Itu Belanda lho, yang kita katakan penjajah. Berarti kalau dikasih 190 tahun, pemerintahan sekarang  lebih dari Kolonial dong. Jadi janganlah mencacimaki kolonial itu,” kritik salah satu putra terbaik Masyarakat Toraja yang pernah menjabat Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan 1999-2004 & Sekretaris Fraksi PDI Pejuangan di DPR RI 2004-2009.

Demokrasi Indonesia Berada Di Titik Nol

Sebagai seorang mantan politisi, Kobu merasa prihatin dengan demokrasi Indonesia saat ini yang sedang carut marut. Menurutnya, saat ini pemerintah serta para politisi tidak konsisten dalam merawat demokrasi yang telah diperjuangkan melalui reformasi pasca orde baru lengser. Bayangkan saja, saat ini banyak sekali UU yang diutak-atik, mulai dari MK, MA, KPU demi melanggengkan kekuasaan. Ditambah lagi pelemahan UU KPK.  Lalu rakyat mau mengadu kemana? Sementara DPR pun cenderung pragmatis.  “Demokrasi Indonesia saat ini berada di titik nol.  Kita mulai lagi dengan kelompok-kelompok kecil, yang bergerak seperti arus sungai dan suatu saat bertemu di sebuah titik besar. Ingat, di era pemerintahan Soeharto begitu kuat, dulu banyak orang yang bilang tidak mungkin untuk menjatuhkannya. Pada saat itu, saya ikut mendirikan SBSI bersama Bung Mochtar Pakpahan. Banyak orang mencela, tidak mungkin bisa Soeharto jatuh. Tapi faktanya, reformasi itu terjadi tahun 98. Semua itu terjadi karena ada kelompok-kelompok kerjakan, lama-lama semakin membesar. Walaupun ada tokoh-tokoh yang menunggu di tikungan, seperti Amien Rais, tapi akhirnya dan terjadilah kejatuhan rezim orde baru itu,”  tandas Bung Kobu yang selalu berpenampilan sederhana.

Bagi Kobu, meski  Bangsa Indonesia telah merayakan 79 tahun kemerdekaan, tetapi jika masih membuat rakyatnya menderita,  maka sesungguhnya kita belum benar-benar merdeka. “Contohnya seperti saya sebutkan di atas, masyarakat diberi hak pakai 10 tahun, sementara pemodal 190 tahun itu tidak adil. Itu namanya penjajahan. Makanya kita harus kembali mencermati kalimat pertama dalam Pembukaan UUD 45. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan oleh karena itu, penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Jadi dimana ada ketidakadilan, itu namanya penjajahan. Karena penjajahan sesungguhnya, ketidakadilan dan ketidakmanusiawian. Nah karena kolonial Belanda waktu itu berlaku tidak adil, maka kita katakan penjajah. Tapi jangan cuma Belanda yang kita katakan penjajah, sekarang ini juga penjajahan. Dan jelas melanggar sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Singkatnya, penjajahan itu bukan dalam soal esensi pemerintahan. Tetapi dalam soal perlakuan,”ungkap Alumnus Fisipol Universitas Hasanuddin. 

Pemerintah Prabowo-Gibran Tidak Akan Oposisi

Kobu menganalisa, terbentuknya 12 partai politik yang tergabung dalam  Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yakni: Golkar, Gerindra, Denokrat  PAN, PSI, Gelora, Prima, PBB, Plus Nasdem,PKB,  PKS, dan  PPP,  kedepan, tidak akan ada oposisi. Walaupun PDIP menjadi oposisi, tetapi pasti hanya setengah hati. “Karena saya sudah mengamati hal itu. Kenapa setengah hati? Sebagai contoh saja, tahun 2006 ada ribuan rumah warga  di Sidoarjo tenggelam akibat “Lumpur Lapindo”. Kemudian saya usul  agar FPDIP interpelasi. Esok harinya bung Yamin temui saya,  sampaikan pesan Alm bang Taufik Kiemas; ‘Tidak usah  interpelasi, dorong saja penegakan hukum’. Hal yang sulit secara logika politik saat itu..Lalu saya mencari kawan-kawan yang sama sama prihatin untuk mengusulkan interpelasi Lumpur Lapindo termasuk  dari  berbagai fraksi. Diantaranya  bung Azwar Anas, Interpelasi diterima, DPR bentuk tim.Ironisnya justru  kami tidak masuk tim,” ungkap Kobu.

Kemudian, lanjut Kobu, sepulang dari Sidoarjo, tim DPR melapor dalam sidang paripurna. “Sesudah tim membacakan laporannya, Permadi interupsi; ‘kok laporan tim mirip laporan humas Lapindo?.  Permadi lalu berpaling ke saya; ‘parah mas kobu’, lumpurnya banyak masuk Senayan,” ceritanya  sembari menambahkan, bahwa keberpihakan kepada rakyat kecil itu berat sekali. 

 Sekilas tentang Kobu

Selama menduduki jabatan tertentu, Kobu’ tidak pernah memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain.

Alumnus Fisipol Universitas Hasanuddin ini pernah menjadi anggota DPRD Kota Makassar , Anggota DPR RI 1999-2004 dan 2004-2009, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPR RI 2004-2009 dan pernah menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Partai PDI Perjuangan.

Kobu juga pernah berkarir dalam organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan mencicipi indahnya dunia jurnalis di Harian Pedoman Rakyat dan Harian Suara Pembaruan.

Kobu dikenal sosok yang rendah hati, tulus, sederhana dan dicintai oleh orang-orang disekitarnya. Saat masih menjadi anggota DPR banyak orang yang menyebutnya sebagai sebagai salah satu anggota dewan yang bergaya unik.

 Integritas Bung Kobu diakui oleh banyak tokoh termasuk tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Jokowi yang menyebut Kobu adalah sosok yang serius memperjuangkan kepentingan wong cilik. SM