KEDIRI, Victoriousnews.com-Kediri, adalah salah satu kota di Jawa Timur yang dikenal sebagai pusat industri gula dan rokok, juga dijuluki sebagai “kota kretek” dan “kota sejarah”. Deretan candi dan situs bersejarah tersebar di berbagai penjuru kota, menjadikan Kediri tak hanya sarat nilai historis, tetapi juga kaya akan budaya. Ikon terkenalnya, Monumen Simpang Lima Gumul, menjadi landmark yang mewakili semangat kota ini. Namun, pesona Kediri tidak berhenti di sana.
Salah satu destinasi yang turut memperkaya keindahan Kediri adalah Gua Maria Puhsarang, sebuah tempat wisata religi yang terletak di Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Destinasi ini menjadi salah satu tujuan spiritual utama bagi umat Kristiani, khususnya umat Katolik.
Gua Maria Puhsarang sering kali disebut juga Gua Maria Lourdes, karena desainnya yang menyerupai Sanctuary of Lourdes di Prancis. Tempat ini biasa dikunjungi umat Kristiani, khususnya Katolik untuk berdoa, terutama saat perayaan hari-hari besar keagamaan seperti Hari Kenaikan Yesus Kristus.
Sejarah Gua Maria Puhsarang mencatat beberapa kali renovasi, dengan pembaruan besar terjadi pada tahun 1997. Renovasi ini mendapat dukungan dari PT Gudang Garam Kediri dan rampung pada tahun 2020. Kini, gua tersebut berdiri megah dengan arsitektur bergaya Majapahit yang dipadukan dengan elemen khas arsitektur dari berbagai tempat. Desain ini tak lepas dari peran Romo Jan Wolters CM yang dikenal sangat mencintai kebudayaan Jawa.
Di dalam gua, berdiri patung Bunda Maria setinggi sekitar 4 meter yang menjadi pusat perhatian sekaligus tempat berdoa umat.
Suasana di sekitarnya sangat asri dan sejuk, dengan pepohonan rindang yang menambah kenyamanan. Banyak pengunjung yang memilih untuk duduk bersila di depan patung tersebut dalam keheningan dan khusyuk berdoa.
Selain sebagai tempat ibadah, Gua Maria Puhsarang juga menjadi lokasi wisata yang cocok untuk healing. Letaknya yang hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Kediri menjadikannya destinasi yang mudah dijangkau, baik untuk umat Katolik maupun wisatawan yang ingin menikmati ketenangan alam dan spiritualitas yang mendalam.
Dengan perpaduan nilai religi, sejarah, budaya, dan keindahan alam, Gua Maria Puhsarang menjadi bukti bahwa Kediri tidak hanya menarik dari sisi industri dan sejarah, tetapi juga sebagai tempat refleksi jiwa yang mempesona.
Pesona Air Suci Gua Maria Lourdes Puhsarang, Aliran Berkat dari Kedalaman Iman
Di balik keheningan dan kekhusyukan Gua Maria Lourdes Puhsarang, tersimpan satu lagi daya tarik yang tak kalah mempesona—air suci yang diyakini membawa berkah dan manfaat. Terletak tidak jauh dari gua utama, keberadaan air suci ini menambah kedalaman spiritual bagi siapa pun yang datang berziarah maupun sekadar mencari ketenangan batin.
Air suci ini mengalir dari 12 pancuran yang melekat pada dinding gua. Enam di antaranya menggunakan keran biasa, sementara enam lainnya menggunakan teknologi sensor tangan, menciptakan harmoni antara kearifan lama dan kemajuan masa kini. Jumlah pancuran ini bukan tanpa makna—dua belas merupakan simbol dari dua belas rasul, para murid Yesus yang menjadi tonggak awal penyebaran ajaran kasih.
Banyak pengunjung yang rela menempuh perjalanan jauh demi mencicipi air ini. Ada yang meminumnya langsung di tempat, ada pula yang membawanya pulang dalam botol-botol atau jeriken untuk dibagikan kepada keluarga dan sahabat. Mereka percaya, seteguk air dari Gua Maria Lourdes dapat menjadi penguat harapan, penyejuk jiwa, bahkan penyembuh ragawi.
Lebih dari sekadar tradisi, pancuran air suci ini menjadi saksi bisu betapa dalamnya iman yang hidup di antara rindangnya pepohonan dan damainya suasana Puhsarang. Di tengah derasnya arus dunia modern, tempat ini tetap setia menjadi pelabuhan hati—tempat di mana doa, harapan, dan cinta bertemu dalam aliran yang jernih dan penuh berkat.
Dengan segala keunikan dan makna yang dikandungnya, Gua Maria Lourdes Puhsarang bukan hanya destinasi wisata religi, tetapi juga ruang spiritual yang menghadirkan kedamaian, menumbuhkan harapan, dan menyatukan banyak hati dalam keyakinan yang sama: bahwa Tuhan hadir dalam setiap tetes air dan dalam setiap langkah iman.
Jalan Salib Bukit Golgota: Menapaki Jejak Cinta Ilahi
Di antara sunyi dan syahdunya kompleks Gua Maria Puhsarang, terselip satu tempat yang memanggil hati dengan kelembutan yang dalam: Jalan Salib Bukit Golgota. Di sinilah para peziarah diajak menapaki kembali jejak cinta dan pengorbanan Yesus melalui 14 perhentian yang penuh makna—dari saat Ia dijatuhi hukuman mati, memikul salib, jatuh berkali-kali, hingga akhirnya dimakamkan.
Setiap perhentian dihiasi patung-patung berukuran besar berwarna keemasan, yang menggambarkan dengan jelas momen-momen penting dalam kisah sengsara Sang Penebus. Patung-patung ini bukan sekadar karya seni; mereka adalah saksi bisu betapa dalamnya cinta yang tercurah dari Salib. Keindahan visual berpadu dengan kekuatan batin, mengajak setiap peziarah masuk dalam renungan yang hening namun penuh getar.
Jalan setapak di Bukit Golgota ini tak rata—berundak, menanjak, dan terkadang licin. Tapi justru itulah yang membuatnya begitu nyata. Kontur jalan yang meniru Via Dolorosa, jalan penderitaan Yesus di Yerusalem, mengingatkan bahwa iman sejati sering kali ditempa lewat langkah-langkah berat dan air mata pengharapan.
Meski telah berdiri belasan tahun, keindahan dan keteduhan tempat ini tetap terjaga. Patung-patung tampak terawat, seolah terus diselimuti kasih dari mereka yang datang berdoa. Di beberapa titik, tersedia tempat khusus untuk menyalakan lilin-lilin doa—tanda kecil dari niat besar dalam hati. Jika tak membawa lilin sendiri, tak perlu risau. Di kios benda rohani tersedia berbagai pilihan lilin, mulai dari harga Rp10.000 yang bisa dibeli untuk menemani langkah rohani Anda.
Jalan Salib Bukit Golgota bukan sekadar tempat ziarah. Ia adalah undangan untuk diam, merenung, dan kembali pada cinta yang menyelamatkan. Di sinilah, banyak hati bersimpuh dan jiwa disegarkan oleh harapan baru yang lahir dari luka yang telah ditebus.
Puhsarang tak hanya menyambut dengan keindahan alamnya, tapi juga dengan pelukan spiritual yang dalam. Di tengah dunia yang bergerak cepat, Bukit Golgota mengajarkan kita untuk sejenak berhenti—dan mendengarkan bisikan kasih dari salib yang sunyi namun penuh kuasa.
Columbarium dan Moselium Puhsarang: Jejak Doa yang Tetap Hidup dalam Keheningan
Gua Maria Puhsarang bukan hanya tempat untuk berdoa dan merenung, tapi juga menjadi ruang suci untuk mengenang mereka yang telah berpulang. Di sisi lain dari kompleks yang hening ini, terdapat dua tempat yang begitu penuh makna: Columbarium dan Moselium. Keduanya berdiri berdampingan di deretan kios rohani, sebelum peziarah melangkah masuk ke area utama gua.
Columbarium, dengan dinding-dinding bersekat kecil seperti bejana, menjadi tempat penyimpanan abu jenazah yang telah dikremasi. Setiap sekat tak sekadar ruang, tapi simbol cinta yang tak pudar. Di dalamnya, tampak lilin-lilin kecil menyala lembut, patung Bunda Maria, dan salib yang berdiri setia. Ini bukan hanya tempat persemayaman, melainkan juga saksi dari penghormatan terakhir, pengingat bahwa kasih tidak berhenti di batas kematian.
Menurut ajaran Katolik, abu jenazah tetap harus diperlakukan dengan hormat. Karena itu, Puhsarang menyediakan columbarium sebagai bentuk kasih dan penghargaan. Banyak peziarah yang, dengan diam dan doa, melayangkan harapan dan penghiburan bagi jiwa-jiwa yang telah pergi. Dalam sunyi, mereka percaya bahwa doa mampu menembus batas waktu dan ruang, menyentuh hati mereka yang telah berada di keabadian.
Tepat di hadapannya, berdiri Moselium, tempat peristirahatan terakhir bagi para uskup dan pastor yang telah mendedikasikan hidupnya bagi umat di Keuskupan Surabaya. Tidak seperti makam biasa, moselium menyimpan jenazah di dalam ruang bertingkat—simbol dari martabat dan pelayanan yang agung. Salah satu tokoh besar yang kini bersemayam di sini adalah Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Uskup Surabaya yang berpulang pada 10 Agustus 2023. Sosok yang dikenal bijaksana ini kini beristirahat di antara mereka yang telah lebih dulu mengabdi dalam kasih dan pengorbanan.
Mengunjungi columbarium dan moselium di Puhsarang bukan hanya soal mengenang mereka yang telah tiada. Ini adalah perjalanan batin untuk merenungkan arti hidup, kematian, dan harapan akan kehidupan kekal. Dalam tiap lilin yang menyala, dalam tiap doa yang terucap pelan, terasa bisikan lembut: bahwa kasih tak akan pernah mati.
Di Puhsarang, keheningan adalah bahasa cinta yang terdalam. Dan dalam setiap sudutnya, kita belajar bahwa kematian bukanlah akhir—melainkan awal dari kehidupan yang lebih abadi.
Pondok Rosario Nazareth: Jejak Doa yang Terpintal dalam Keheningan Puhsarang
Di tengah damainya udara Puhsarang, tak jauh dari Gua Maria utama, terdapat sebuah tempat yang mengundang jiwa untuk tenggelam dalam keheningan doa: Pondok Rosario Nazareth. Tempat ini menjadi oase rohani bagi umat Katolik yang ingin berdevosi rosario dengan lebih khusyuk dan tenang.
Pondok Rosario Nazareth terdiri dari empat pondok kecil, masing-masing mewakili peristiwa Rosario: Peristiwa Gembira, Peristiwa Sedih, Peristiwa Mulia, dan Peristiwa Cahaya (Terang). Di dalam setiap pondok, tersedia lima mozaik yang indah—karya seni yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga menuntun hati untuk merenungkan misteri kehidupan Yesus dan Maria secara mendalam.
Ketika pagi menjelang atau siang menghangat, mozaik-mozaik itu bersinar memantulkan cahaya matahari, menghadirkan nuansa keemasan yang lembut, seolah menyelimuti setiap doa yang terucap dengan hangatnya kasih ilahi. Di sinilah, banyak hati bersatu dalam lantunan Ave Maria yang tenang, berulang, dan menyembuhkan.
Tak heran jika bulan Mei dan Oktober, yang dikenal sebagai Bulan Maria dan Bulan Rosario, menjadi waktu paling ramai bagi Pondok Rosario Nazareth. Namun, bahkan di hari-hari biasa, tempat ini tetap menjadi ruang teduh bagi mereka yang ingin menyapa Bunda Maria dalam keheningan.
Selain untuk doa pribadi dan devosi rosario, pondok ini juga kerap digunakan untuk misa kudus dalam skala kecil.
Suasana yang tenang dan sakral membuat setiap perayaan Ekaristi terasa begitu intim dan menyentuh, seolah langit turut bersujud dalam setiap perayaan iman. Pondok Rosario Nazareth bukan sekadar tempat berdoa—ia adalah taman batin, tempat di mana setiap butir rosario menjadi jembatan cinta antara bumi dan surga.
Di Puhsarang, setiap langkah adalah doa. Setiap sudut menyimpan undangan untuk kembali pada kasih yang murni. Dan di Pondok Rosario Nazareth, banyak jiwa menemukan kembali damainya hati yang telah lama hilang dalam hiruk-pikuk dunia.
Gereja Tua Puhsarang: Jejak Iman yang Tetap Berdiri dalam Diam
Di antara rimbunnya pepohonan dan damainya suasana Gua Maria Puhsarang, berdiri sebuah bangunan yang memeluk waktu dengan lembut: Gereja Tua Puhsarang. Dibangun sekitar tahun 1936, gereja ini bukan hanya sekadar tempat beribadah, melainkan saksi hidup awal mula misi kekatolikan di Pulau Jawa.
Meski telah mengalami beberapa kali renovasi, keaslian bentuk gereja tetap terjaga dengan anggun. Kayu-kayu tua dan atap yang khas masih berdiri kokoh, seperti menyimpan bisikan doa dari masa lalu yang belum selesai. Di tengah arus modernisasi, gereja ini tetap sederhana—namun justru di sanalah letak kemuliaannya.
Yang membuat Gereja Tua Puhsarang begitu unik adalah altar luarnya yang menyerupai stupa Borobudur—perpaduan indah antara kebudayaan lokal dan semangat universal iman Katolik. Tak seperti kebanyakan gereja modern dengan atap runcing menjulang, gereja ini justru memiliki atap menyerupai gunung, simbol keagungan alam dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Setiap sudut gereja seperti memanggil untuk diam sejenak dan merenungkan betapa iman telah tumbuh dalam kesederhanaan. Di sinilah, banyak jiwa menemukan kekuatan baru, bukan dari keramaian, melainkan dari keheningan yang bersaksi.
Di sekitar gereja, terdapat pula Gedung Serbaguna Emaus, tempat yang terbuka untuk berbagai kegiatan rohani dan komunitas. Jika kita duduk menghadap altar, akan tampak sebuah relief yang menggambarkan Kota Yerusalem dan Bukit Golgota—relief yang bukan hanya memanjakan mata, tetapi juga menggetarkan hati.
Berdasarkan prasasti yang terpajang, Gedung Emaus diresmikan dan diberkati pada 11 Oktober 1998 oleh Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr., Uskup Surabaya saat itu. Nama “Emaus” sendiri mengingatkan kita pada kisah dua murid yang bertemu Yesus dalam perjalanan mereka—sebuah ajakan untuk menyadari bahwa Tuhan sering hadir dalam langkah-langkah sederhana hidup kita.
Mengunjungi Gereja Tua Puhsarang bukan hanya perjalanan sejarah, tapi ziarah batin. Gereja ini mengajarkan bahwa kemuliaan tidak selalu harus megah, dan bahwa iman sejati justru sering tumbuh dalam kesunyian yang bersahaja. Jika Anda menapakkan kaki ke Puhsarang, jangan lewatkan tempat ini. Duduklah sejenak, hirup udara segar, dan biarkan bangunan tua ini berbicara dalam diam. Mungkin, di tengah sunyinya, Anda akan mendengar sesuatu yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang sedang mencari ketenangan.Anda tertarik ke Puh Sarang? SM