Victoriousnews.com— Dunia berduka. Langit seolah ikut menunduk. Dalam keheningan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan rasa kehilangan yang amat dalam atas wafatnya Sri Paus Fransiskus, SJ, pada 21 April 2025.
Paus ke-266 dalam sejarah Gereja Katolik ini bukan hanya seorang pemimpin tertinggi. Ia adalah jiwa agung yang memeluk dunia dengan kasih Yesus yang menderita. Baginya, kemanusiaan adalah altar suci tempat ia mempersembahkan hidupnya, dan dunia—dengan segala luka dan ketidakadilannya—adalah ladang tempat kasihnya tumbuh tanpa pamrih.
“Jorge Mario Bergoglio, anak Argentina yang sederhana itu, bukan hanya milik Gereja Katolik,” tulis PGI dalam pernyataan resmi yang ditandatangani oleh Pdt. Jacklevyn F. Manuputty dan Pdt. Darwin Darmawan. “Ia adalah suara kenabian di tengah dunia yang letih oleh kebisingan politik identitas, agama yang kehilangan cinta, dan ekonomi yang menyingkirkan.”
Gembala yang Menangis Bersama Umatnya
Paus Fransiskus adalah gembala yang menolak tahta tinggi dan memilih jalan sunyi Yesus—ia tidak tinggal di istana, tapi di tengah derita. Ia tidak menjulang dari mimbar, tapi duduk bersama yang tertindas. Ia menolak menjadi pangeran gerejawi; ia memilih menjadi sahabat bagi para migran, pelindung bagi bumi yang merintih, dan suara damai bagi negeri-negeri yang rawan—termasuk Indonesia, yang pernah ia puji sebagai cermin kerukunan dunia.
“Ia melihat Indonesia bukan sekadar negara, tapi harapan,” tulis PGI. “Dalam diplomasi diamnya, ia ajarkan bahwa damai tak selalu berarti senyap, tapi hadirnya keadilan. Ia tahu, iman tak seharusnya menjauhkan, tapi bisa memeluk yang berbeda tanpa kehilangan kebenaran.”
Ayah Dunia Telah Pulang
PGI menggambarkan kepergian Paus Fransiskus sebagai kehilangan seorang ayah dunia, seorang figur spiritual yang telah melintasi batas-batas iman karena cinta yang ia pancarkan berasal dari sumber yang melampaui doktrin: kasih Kristus yang hidup.
“Dunia tidak hanya kehilangan seorang Paus,” tulis mereka, “tapi kehilangan denyut kelembutan Ilahi yang selama ini berdetak melalui tubuh yang renta namun penuh semangat itu. Ia adalah imam besar bukan karena jabatan, tapi karena hatinya yang menangis bersama, berharap bersama, mencintai tanpa syarat.”
Paus Fransiskus bukan simbol kejayaan institusi; ia adalah nyala kecil yang membakar harapan di dapur rakyat, lorong pengungsi, dan tanah-tanah yang dilupakan dunia.
Kenangan yang Menghidupkan
“Ia bukan sekadar pernah menginjakkan kaki di negeri ini, tapi hatinya telah lama tinggal bersama kami,” lanjut pernyataan PGI. “Dalam doa dan ensiklik, dalam tawa kecil dan peluk sunyi, ia menapakkan kasih di tanah ini. Kami merasa kehilangan, bukan karena ia jauh, tapi karena ia telah menjadi bagian dari kita.”
PGI pun menyampaikan doa dan belasungkawa yang paling dalam kepada seluruh umat Katolik, di Indonesia dan di seluruh dunia. “Kami berdoa agar warisan kasih, iman, dan pengharapan yang ia tinggalkan terus hidup, bukan sebagai peninggalan, tapi sebagai gerakan. Fratelli Tutti—kita semua bersaudara. Duka ini adalah duka bersama. Namun dari duka yang dalam, semoga bangkitlah cinta yang lebih mendalam.”
Pemimpin yang Tak Silau Fasilitas
Mantan Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, juga menyampaikan rasa kehilangan yang mendalam.
“Beliau telah mengajarkan kepada kita bahwa kemanusiaan dan persaudaraan adalah panggilan yang lebih tinggi dari sekadar kepercayaan,” ujar Gomar. “Ia mengajarkan bahwa hidup tidak perlu dibelenggu oleh ornamen dunia. Jabatan baginya adalah pelayanan. Ia tak silau oleh fasilitas. Ia hidup dengan sederhana, memimpin dengan hati, dan meninggalkan jejak yang abadi dalam sejarah manusia.” SM