Resensi Buku Karya Emanuel Dapa Loka: Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi

Buku setebal 214 halaman berjudul “Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi” ini ditulis oleh Emanuel Dapaloka, wartawan senior alumni Akademi Komunikasi Yogyakarta, Jurusan Jurnalistik. Buku ini terdiri dari 9 Bab dan diterbitkan pertamakali dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Altheras Publishing. Melalui buku ini, diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pembaca, khususnya kaum milenial zaman now agar terbeban menjadi garda terdepan dalam pencegahan tindak pidana korupsi.

Menurut Emanuel, buku ini berisi kumpulan tulisannya yang telah tersebar di beberapa media. Bukan reportase, tapi merupakan permenungan pribadi atau soliloqui atas berbagai hal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yang kadang mendatangkan keprihatinan, perasaan jengah, marah, sedih, cemas, namun ada juga yang menyulut kegembiraan dan harapan. “Yang paling memprihatinkan adalah berbiaknya perilaku korup, maling, rakus, fitnah, jegal-menjegal di tengah-tengah para elit dan kaum terpelajar. Diantara mereka terasa kuat prinsip: senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Sesungguhnya, inilah tipe manusia pengkhianat kelas dewa, Namun, hebatnya, orang semacam ini panda mengolah kata-kata untuk memanipulasi fakta atau setidaknya mengaburkan daya kritis orang, lalu tetap memujanya sebagai orang paling baik nan suci sedunia,” tukas Eman yang juga mantan Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI) periode 2008 s/d 2010.

Pertanyaannya yang mengemuka di benak pembaca, adalah mengapa judulnya ‘Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi’? Pertama, judul tersebut saya ambil dari salah satu tulisan dalam buku ini. Dan tulisan tersebut tentang korupsi. Dan patut segera dicatat bahwa melalui tulisan-tulisan pada bab korupsi saya tidak sedang mengupas ikhwal korupsi dari sudut hukum. Tulisan tersebut sekedar entakan-entakan kecil dari sisi moral untuk mengingatkan kita bahwa perilaku korup adalah tindakan keji yang bisa membunuh manusia, melumpuhkan nurani, daya nalar dan membangkrutkan negara. Kedua, perilaku korup sudah sampai pada stadium parah. Bahkan merwka yang ditangkap lalu divonis, karwena apes saja. Banyak pelaku lain yang masih selamat karena lincah bermain-main di atas gelombang korupsi. Tapi yakinlah, ibarat tupai yang sangat pandai melompat kesana kemari, suatu saat bisa jatuh juga. Atau kalaupun para koruptor itu tidak tertangkap di dunia ini, di dunia lain yang jaraknya hanya seutas nafas manusia itu, mereka pasti akan mendapatkan bayaran yang setimpal. Mengapa? Karena mereka menari-nari di atas penderitaan rakyat yang sepanjang tahun berjuang habis-habisan bahkan menyabung nyawa,” tandas suami dari Suryani Gultom & Ayah dari Theresia Loise Dapaloka yang juga sukses merilis 9 judul buku sebelumnya, yakni: In Providentia Dei, Narasi Rahmat Allah, Orang-Orang Hebat; Dari Mata Kaki ke Mata Hati; Ikhlas Adalah Kekuatanku; Entrepreneurship Seorang Purnawirawan; For The Glory of God; Menyeberangi Ngarai Berbagi Kasih; Iman Mereka Hidup.

Peluncuran Buku di kantor Majalah Narwastu, Selasa, 25/8/2020 Siang. Ki-ka: Jonro Munthe (Pemimpin UmumMajalah Narwastu-Pembina Perwamki), Pdt. Sapta Siagian (Kabid Rohani Perwamki), Agus Panjaitan (Sekum Perwamki), Roy Agusta (Pemred Chronos Daily.com ), Stevano Margianto (Ketum Perwamki), Emanuel Dapaloka (Pembina Perwamki/Penulis Buku Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi) & David Pasaribu (Pengurus Perwamki DKI Jakarta)

Pada bab pertama, penulis mengentak kesadaran tentang nistanya korupsi dan sang koruptor. Pada bab pertamalah tulisan berjudul Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi tersua bersama empat buah artikel lain yang juga berbicara tentang korupsi: Imajinasi adalah Sayap, Agar Manusia Tidak jadi Kera, Habitus Non Facit Monachum dan Hidupkan Imajinasimu.

Seperti dikatakan Yustinus Prastowo dalam kata pengantarnya, melalui buku ini, penulis tidak sedang menguliti korupsi dan bagaimana mengatasinya. “Emanuel membidik korupsi bukan sebagai persoalan hukum atau birokrasi, melainkan persoalan moral,” tulis Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu.

Yustinus pun menjabarkan kata “moral” di negeri ini yang telah terlanjur menjadi istilah klise. Kata Yustinus, kata moral itu terlalu sering dikhotbahkan secara mubazir sampai kita bosan mendengarnya, bahkan muak. “Dalam buku ini Emanuel memang banyak menulis tentang moral, tetapi bukan dengan gaya kotbah melainkan kisah. Tanpa terlalu banyak konsep, kisah dan kesaksian punya daya lebih kuat daripada kotbah sama seperti teladan punya daya lebih kuat untuk menggerakkan orang daripada nasihat-nasihat yang nyaris tak mungkin disanggah,” papar Yustinus yang juga pendiri dan Ketua FoRGES (Forum Gaudium et Spes). Bagi Anda yang ingin mendapatkan buku ini silakan menghubungi No HP. 0812.1347.1015. SM