Devi Taurisa dan Perjuangan Panjang Mencari Keadilan: Dugaan Skandal Besar Terungkap

Jakarta, Victoriousnews.com – Setelah delapan tahun berjuang tanpa kejelasan, Devi Taurisa akhirnya menghadiri Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri di Polda Metro Jaya sebagai saksi dalam perkara yang menyeret AKP Kuswadi. Sidang ini berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

Devi mengaku sudah memaafkan pihak-pihak yang terlibat, tetapi menilai AKP Kuswadi sebenarnya tidak memiliki peran besar dalam permasalahan ini. Menurutnya, perwira pertama seperti Kuswadi tidak mungkin memiliki wewenang cukup untuk melakukan tindakan yang dituduhkan. Meski demikian, sidang ini tetap menjadi momentum penting baginya untuk mendapatkan kejelasan atas kasus yang telah menggantung sejak 2017.

Kasus ini bermula ketika Devi melaporkan dugaan pemalsuan tanda tangan, penggelapan, penipuan, dan pencucian uang dengan terlapor Budi Santoso ke Polda Metro Jaya pada 3 April 2017. Namun, alih-alih mendapatkan penyelesaian, ia justru menghadapi berbagai hambatan hukum yang semakin memperumit keadaannya.

Kejanggalan dalam Proses Hukum

Dalam persidangan, Devi menyoroti berbagai kejanggalan dalam proses hukum yang dialaminya. Salah satu hal yang ia pertanyakan adalah mengapa kasusnya yang telah dinyatakan P21—yang berarti berkas perkara sudah lengkap dan siap untuk tahap penyerahan tersangka—justru masih membuka celah bagi tersangka untuk mengajukan praperadilan.

“Seharusnya setelah P21, kasus langsung berlanjut ke penyerahan tersangka. Tapi anehnya, tersangka justru bisa mengajukan praperadilan. Bahkan, dalam sidang praperadilan tersebut, kasus saya dihentikan melalui SP3,” ujar Devi dengan nada kecewa.

Yang lebih mengejutkan, hakim tunggal yang mengabulkan praperadilan, Arlandi Triyogo, ternyata terbukti melanggar kode etik berdasarkan putusan Komisi Yudisial Republik Indonesia. Dalam Petikan Putusan Nomor 0158/L/KY/IX/2019 tertanggal 6 April 2020, hakim tersebut dinyatakan melanggar kode etik oleh majelis yang dipimpin oleh Dr. H. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum.

Namun, meskipun hakim yang memimpin sidang praperadilan terbukti bermasalah, putusannya tetap dijalankan, menyebabkan kasus Devi dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Bagaimana mungkin keputusan seorang hakim yang terbukti melanggar kode etik tetap dianggap sah dan harus dijalankan? Ini jelas tidak adil,” tegas Devi.

Selain itu, Devi juga mengkritik proses praperadilan yang seharusnya hanya menilai aspek legalitas penangkapan tersangka, tetapi justru masuk ke dalam materi pokok perkara. Dalam sidang tersebut, hakim menyatakan bahwa tidak ada pemalsuan tanda tangan, berdasarkan kesaksian seseorang yang memiliki hubungan keluarga dengan Budi Santoso.

“Kesaksian yang digunakan berasal dari menantu Budi Santoso, yang jelas memiliki konflik kepentingan,” tambahnya.

Setelah kasusnya dihentikan, Devi justru menghadapi serangan balik. Ia dituduh mencemarkan nama baik dan bahkan digugat dengan tuntutan ganti rugi yang fantastis, yakni Rp301 miliar untuk kerugian materiil dan Rp1 triliun untuk kerugian immateriil.

“Di Pengadilan Negeri, gugatan itu ditolak. Tapi di Pengadilan Tinggi dan Kasasi, saya justru dinyatakan bersalah dan dihukum membayar Rp500 juta untuk kerugian materiil serta Rp10 miliar untuk immateriil,” jelasnya.

Namun, setelah bertahun-tahun berjuang, Devi akhirnya mendapatkan titik terang. Pada 10 Juli 2023, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya, sehingga gugatan terhadapnya dinyatakan ditolak.

Terungkapnya Dugaan Skandal Besar

Kasus ini ternyata berawal dari dugaan pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh Budi Santoso, yang saat itu menjabat sebagai salah satu direktur PT Batavia Land. Perusahaan ini mengelola bisnis Hotel MaxOne yang berlokasi di Jalan Agus Salim (Sabang), Menteng, Jakarta Pusat. Devi sendiri memiliki 30% saham di perusahaan tersebut.

Budi Santoso diduga memalsukan tanda tangan Devi untuk mengajukan pinjaman kredit sebesar Rp300 miliar ke PT Bank QNB Indonesia Tbk, dengan Hotel MaxOne sebagai jaminan. Masalah ini terungkap ketika Bank QNB berusaha menyita hotel tersebut akibat gagal bayar.

Dugaan penipuan ini semakin rumit ketika diketahui bahwa selain memalsukan tanda tangan Devi, Budi Santoso juga mengalihkan aset Hotel MaxOne ke pihak lain dan mengambil keuntungan Rp500 juta per bulan tanpa sepengetahuan Devi.

Saat ini, kasus ini masih berlanjut di tingkat kasasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan nilai Hotel MaxOne yang diperkirakan mencapai Rp120 miliar.

Publik pun menantikan bagaimana akhir dari kasus ini. Apakah Devi akhirnya akan mendapatkan keadilan setelah delapan tahun berjuang? Mari kita doakan bersama. **

Related posts