Victoriousnews.com,-Gereja Kristen Jakarta (GKJ) dikenal dengan “Gereja Tionghoa”.Karena mayoritas jemaatnya adalah keturunan Tiongkok, khususnya suku Hakka yang bermigrasi ke sejumlah daerah di Indonesia sejak tahun 1940. Komunitas Hakka ini banyak tersebar di beberapa kota, yakni: Medan, Bangka Belitung, Pontianak, dan Jakarta.
Menurut Ketua Sinode Gereja Kristen Jakarta (GKJ), Djana Yusuf, berdasarkan data sampai saat ini, orang Tionghoa suku Hakka berjumlah hampir 100 juta yang tersebar di berbagai belahan dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri, komunitas Hakka ini sudah ada sekitar tahun 1950-1960. Mereka kemudian banyak yang merantau dan menetap di Jakarta sampai sekarang, hingga akhirnya merintis cikal bakal berdirinya GKJ. “Latar belakang berdirinya GKJ dirintis oleh sesepuh komunitas Hakka, melalui kebaktian rumahtangga kecil dari rumah ke rumah. Kebaktian diadakan di rumah sederhana di sebuah gang sempit di kawasan Gudang Arang, Jembatan Lima, Jakarta Barat . Awalnya hanya awalnya diikuti 1-2 keluarga yang cinta Tuhan,” ujar Djana Yusuf ketika dijumpai di ruang kerjanya di kawasan Jelambar beberapa waktu lalu.
Lewat Kisah 3 Cangkir Teh, Mujizat Gedung GKJ Terbangun Dengan Mengandalkan Tuhan!
Melalui Persekutuan di rumah atau “Gereja Rumah” yang dibangun dengan suasana kekeluargaan sesama perantau Hakka, perlahan tapi pasti, jumlah jemaat semakin bertumbuh dan bertambah banyak. Mulai saat itulah, terbersit keinginan dari komunitas Hakka untuk membangun gedung gereja agar dapat menampung jemaat dan beribadah bersama-sama setiap hari minggu. “Keinginan untuk membangun gereja itu begitu kuat. Suatu ketika para pendiri, berkunjung ke rumah seorang anak Tuhan yang kaya dan diberkati Tuhan. Saat itu, mereka membawa proposal untuk diberikan kepada orang kaya itu, dengan harapan mendapatkan bantuan dana untuk membangun gereja. Sesampainya di rumah orang kaya itu, para pendiri disambut oleh asisten rumah tangga dan diminta menunggu serta disuguhi minuman teh panas. Namun setelah menunggu berjam-jam, hingga habis 3 cangkir teh sang tuan rumah tak berkenan menemui mereka. Hingga akhirnya para pendiri memutuskan untuk pulang. Lalu dengan hati remuk dan sedih, para pendiri menceritakan kisah 3 cangkir teh tanpa hasil kepada pantia pembangungan gedung yang telah menunggu. Ternyata membangun Gereja tidak bisa bergantung kepada orang kaya melainkan harus bergantung, bersandar dan berharap kepada Tuhan,” tukas Ketua Sinode GKJ yang juga Direktur PT Dinamitra Mega Solusi yang bergerak di bidang konsultan manajemen.
Lanjut Djana, kisah “3 cangkir teh” itu pelajaran berharga yang sangat pahit bagi para pendiri GKJ pada saat itu. Namun, lewat kisah itulah, para pendiri mengajak seluruh jemaat untuk berdoa, bersandar dan meminta kepada Tuhan. “Mulai saat itu para pendiri memutuskan untuk tidak meminta-minta kepada manusia. Tetapi GKJ dibangun lewat doa yang berserah penuh kepada Tuhan. Segala keperluan pembangunan gedung dengan cara swadaya dari jemaat GKJ. Semua persembahan yang dikumpulkan dari swadaya jemaat untuk Tuhan. Makanya, GKJ memiliki semboyan, Swadaya, Swatantra dan Swasembada,” papar Djana menceritakan mujizat pembangunan Gedung GKJ yang terletak di Jl. Kartini 5 No 16 C, Pasar Baru-Jakarta Pusat.
Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan jemaat GKJ Kartini semakin pesat dan berkembang. Kemudian para petinggi GKJ memutuskan untuk membuka beberapa cabang gereja, yakni; di Bandengan, Jl. Tambora Jembatan 5, Sunter, Muara Karang, serta di Ampera. “Karena pertumbuhan jemaat makin berkembang, dan telah dibuka gereja cabang, maka Gereja di Jl. Kartini 5 No 16 C tidak disebut lagi sebagai Gereja lokal tetapi menjadi Gereja pusat. Kemudian, pada tahun 1965 dicatatkan sebagai Yayasan Gereja Kristen Jakarta. Melalui pertimbangan kebutuhan dan lain sebagainya maka dibentuklah Sinode pada tahun 1975. Hal itu dilakukan, karena ada aturan bahwa Gereja tidak boleh di bawah Yayasan,” tandas Djana
Sebagai ketua sinode, Djana menegaskan bahwa GKJ tetap konsisten mempertahankan nama gerejanya sampai saat ini. Bahkan belum terpikir untuk mengganti nama gereja, walaupun sudah banyak jemaat yang pindah kawasan pinggiran Jakarta seperti Cibinong, Cikarang, Tangerang dan sebagainya. “Ya sampai saat ini kita masih mempertahankan nama GKJ seperti cikal bakal pendiriannya di Jakarta. Meskipun ada perkembangan Wilayah di luar Jakarta, jemaat yang pindah ke Cibinong, Tangerang ataupun Cikarang. Mau tidak mau kita harus membuka pos dan juga mendewasakan pos–pos yang ada di Jabodetabek. Kalau di Tangerang kami memiliki 4 Gereja cabang, Cibinong 1 Gereja cabang, dan di Cikarang 1 Gereja cabang,” ungkap Djana sembari menambahkan bahwa hanya di Jakarta Selatan saja yang belum memiliki cabang.
Lanjut Djana, dalam AD/ART juga diatur batasan usia ketua sinode saat menjabat adalah 65 tahun. “Ini adalah periode terakhir saya sebagai ketua sinode GKJ. Pasalnya, ada aturan di GKJ usia maksimum pada saat dipilih umur 65 tahun. Saya harus pensiun diakhir masa jabatan karena usia,” kata Djana yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Misi HAKA Indonesia.
Djana juga menjelaskan, bahwa GKJ memiliki program misi yang bekerjasama dengan interdenominasi gereja di berbagai daerah di Indonesia. Program misi tersebut, adalah penjangkauan jiwa-jiwa untuk dimenangkan kepada Tuhan. “Misalnya, kita buat acara KKR di sebuah daerah di Indonesia. Kemudian kita bekerjasama dengan gereja-gereja lokal yang memiliki visi sama dalam pelayanan misi. Dan kita tidak akan membuka cabang gereja baru setelah acara tersebut. Dan semua jiwa itu kita serahkan saja kepada Tuhan, dan memberikan kebebasan jemaat untuk memilih gereja yang disukai, tanpa harus dipaksa menjadi jemaat GKJ. Pelayanan kami tulus untuk memenangkan jiwa,” pungkas Djana yang terpilih Ketua Sinode 2010 – 2014 dan 2014 – 2018 serta terpilih lagi di tahun 2022 – 2026. SM