Marak Kasus Bunuh Diri Di Kalangan Remaja NTT, Mahasiswa Lulusan Terbaik Dari NTT Angkat Bicara

KUPANG,NTT-Victoriousnews.com,-Maraknya kasus bunuh diri belakangan ini terus menjadi fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan pemuda, secara khusus di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Pada umumnya, definisi “bunuh diri” adalah tindakan putus asa yang dilakukan seseorang yang tidak lagi memiliki keinginan untuk hidup lagi. Bunuh diri (Suicide) adalah peristiwa kematian yang memiliki sebab akibat dan hanya bisa diidentifikasi menurut kasus itu sendiri.

Tahun 2023 secara keseluruhan tercatat sekitar 1.200 kasus, sedangkan untuk wilayah NTT periode 2018 -2021 merujuk data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 303 kasus. Di tahun 2023 hingga Desember terdata 10 sampai 11 kasus terjadi di kota kupang dan rata-rata korban dari kalangan usia remaja. “Inilah perhatian yang serius bagi seluruh elemen baik gereja, pemerintah dan pemangku adat, apalagi kasus yang viral belakangan ini  mulai tarik-menarik dengan masalah mahar/beli” Ujar mahasiswa lulusan terbaik asal NTT, Rio Rocky Hermanus, S. Fil

Lanjut Rocky, bunuh diri perlu direspon secara serius oleh pemerintah dan sinergitas dengan gereja, melihat beberapa peristiwa belakangan ini menjadi catatan evaluasi.  Perubahan paradigma menjadi substansi yang penting bahwa bunuh diri bukan kehendak bebas.

“Bunuh diri bukanlah kehendak bebas namun memiliki faktor yang menjadi kompleksitas atas tindakan yang diambil. Berangkat dari penyebab bunuh diri adalah hilangnya kehormatan dan menimbulkan rasa malu, tentu pada saat inilah seseorang memilih untuk mengakhiri hidup. Jelasnya bunuh diri dilatarbelakangi oleh faktor penyebab, selain rasa malu. Penyebab lain dari bunuh diri ialah seperti hilangnya kendali atau sistem kontrol dalam kehidupan, respon negatif dari lingkungan sosial, kegagalan, depresi, rusaknya citra diri, malu yang menekan, kehilangan, frustasi, dan salah satu yang menyebabkan tindakan bunuh diri adalah trauma yang berkepanjangan.” ungkap Rio Rocky Hermanus, S.Fil

Menurut Rocky, solusinya mungkin kita membutuhkan psikiater, konselor di setiap puskemas dan titik-titik sentral sebagai upaya menyahabati mereka yang rapuh tanpa mendeskripsikan mereka yang berada dalam titik kerapuhan. “Untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan sinergitas bersama, bukan mendiskriminasi mereka yang rapuh,” pungkas Rocky.***

Related posts