Diskusi Bersama Mahasiswa/i  GMIT Bahas Tema “Melihat Dan Memahami  GMIT Diaspora”

MAKASSAR,Victoriousnews.com,-Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah salah satu anggota Persekutuan Gereja gereja di Indonesia (PGI) yang memiliki basis wilayah pelayanan seputar Nusa Tenggara Timur (NTT). Tetapi seiring berjalannya waktu, penyebaran jemaat GMIT di luar wilayah NTT  setiap tahun mengalami lonjakan cukup  tinggi.

Beberapa indikator yang menjadi penyebab utama adalah faktor pekerjaan, ekonomi dan pendidikan. Sehingga penyebaran jemaat disebut dengan istilah  “Diaspora” atau orang-orang yang di luar daerah teritorinya.

Menyoroti hal itu, generasi muda  GMIT yang studi di STFT INTIM Makassar, menggelar diskusi bersama dengan tema “Melihat & Memahami Fenomena GMIT Diaspora Dengan Perspektif Fenomenologi Edmund Huserl” di Kapel STFT INTIM Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, (30/1/25).

Diskusi ini dipandu oleh Arsin Repi Bani sebagai moderator, dan menghadirkan seorang pembicara Semsigus Pelang, S.Fil.

“Saya selalu menjadi pemateri tetapi pernah pelayanan selama 6 bulan di Kalimantan Selatan.  Ada salah satu gereja berjumlah 150an KK yang notabenenya jemaatnya adalah anggota GMIT. Sayangnya mereka bukan bergerak di GMIT, tetapi diakomodir salah satu gereja suku,” tegas Semsigus.

Lanjut Semsigus, melihat fenomena GMIT Diaspora menjadi isu yang krusial untuk dibahas dalam kulomunitas mahasiswa. “Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak bagi dia, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan dari realitas. Realitas itu tampak bagi kita.  Fenomena harus dimengerti dari bagaimana Fenomenologi Husserl selalu melihat sejarah sebagai hal penting dalam kesadaran dan kenyataan atau dengan kata lain fenomena selalu bergantung pada sejarah. Konsep inilah yang akan menjadi pisau bedah bagi fenomena GMIT diaspora (di perantauan),” ujar Semsigus.

Menurut Semsigus, terdapat dua ambigu untuk menjawab persoalan ini. Pertama, apakah GMIT harus meninggalkan perjanjian keesaan gereja yang telah ditandatangani pada tahun 1927 bersama anggota GPI atau de Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie (Indische Kerk) ataukah melihat perjanjian tersebut sebagia suatu kekuatan. Kedua, GMIT melihat perjanjian keesaan gereja sebagai peluang.

  “Anggota GPI yang tersebar di seluruh teritori Indonesia perlu membangun penguatan perjanjian agar setiap gereja-gereja yang berada di wilayah perantauan Warga GMIT perlu mendirikan gereja yang mudah dijangkau oleh jemaat GMIT. Hal ini sejalan dengan pandangan Husserl bahwa sejarah memaikan peran yg paling penting dalam melihat fenomena,” tandasnya.

Semua anggota PMU GMIT menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap isu ini. Namun, karena keterbatasan waktu maka kesempatan hanya diberikan kepada 11 orang penanya saja. Pemateri kemudian menutup presentasinya dengan ungkapan “zuruck zu den sachen selbst” yang artinya “kembalilah pada benda-benda sendiri”

“Diskusi ini menjadi pemantik untuk pengembangan kapasitas lembaga dalam hal memberi sebuah perhatian pada saudara/i di perantauan,” pungkas Semsigus Pelang.

Koordinator PMU GMIT Sdr. Abraham atalo, mengatakan, bahwa, diskusi-diskusi tematik menjadi pemantik untuk berkontribusi dalam bentuk gagasan  bagi kemajuan Lembaga Sinode. “Harapan dari diskusi ini akan terus berlanjut sehingga menjadi perhatian bersama. Maka, diskusi yang dimulai dari PMU GMIT PM STFT INTIM Makassar menjadi pintu masuk untuk semua mahasiswa GMIT Diaspora,” tegas Abraham Atalo. **RR

Related posts