Tindakan Sepihak Kapolres Tana Toraja di Kawasan Patung Yesus: Pemuda Katolik Minta Kapolda Sulsel Copot Kapolres!

Tana Toraja, Victoriousnews.com,— Deru keprihatinan menggema dari jantung Sulawesi Selatan. Masyarakat Tana Toraja  diguncang oleh tindakan kontroversial yang dilakukan oleh Kapolres Tana Toraja. Bukan karena penegakan hukum, melainkan karena tindakannya yang melampaui batas—secara simbolis dan sosial. Kapolres memimpin langsung peletakan batu pertama pembangunan sebuah musholla di kawasan wisata religi Patung Yesus Buntu Burake—tanpa pelibatan masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, maupun pemerintah setempat.

Langkah ini bukan hanya gegabah. Ia mencederai ruang sakral umat Kristiani, mengabaikan prinsip musyawarah, dan menafikan etika sosial yang selama ini menjadi penyangga harmoni Toraja.  “Ini bukan soal agama. Ini soal etika, prosedur, dan penghormatan terhadap kearifan lokal,” ujar Alvian, Wakil Ketua Bidang Advokasi Hukum & HAM Pemuda Katolik Komisariat Cabang Tana Toraja.

Dalam negara hukum, pendirian rumah ibadah diatur secara jelas oleh peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Harus ada izin, dukungan masyarakat, dan pertimbangan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Ironis, aparat yang seharusnya menjaga hukum justru mengabaikannya.

Yang lebih menyakitkan, keputusan sepihak ini diambil hanya beberapa hari setelah pertemuan musyawarah antar elemen masyarakat yang justru menyepakati pembongkaran bangunan tersebut. Kesepakatan itu diabaikan. Aspirasi masyarakat dikhianati. Dialog yang dibangun luluh lantak di bawah kuasa satu tangan.

Apakah simbol kerukunan bisa dibangun dengan tindakan yang memecah belah?Kapolres tak hanya melampaui kewenangan institusional, ia juga mengintervensi ruang iman yang bukan miliknya. Ini adalah bentuk arogansi kekuasaan. Ia merusak warisan leluhur Toraja—warisan harmoni yang diwariskan melalui tongkonan, melalui adat yang merangkul perbedaan, bukan memaksakan kehendak.

Masyarakat Toraja hidup dalam keberagaman yang tumbuh dari bawah. Kerukunan bukan dikhotbahkan, tetapi diwarisi, dirawat, dan disepakati. Ketika aparat negara bertindak sepihak tanpa dialog, maka yang terancam bukan hanya ketenangan sosial, tapi juga kewibawaan negara.

Pemuda Katolik mendesak Kapolri dan Polda Sulawesi Selatan untuk mencopot Kapolres Tana Toraja demi memulihkan kepercayaan publik. Negara tidak boleh diam atas tindakan yang membahayakan tenun sosial kita.

 “Kerukunan tidak lahir dari simbol. Ia tumbuh dari pengertian, saling menghormati, dan keterbukaan. Jika aparat justru menjadi sumber kegaduhan, maka yang rusak bukan hanya tatanan sosial, tapi juga marwah negara,” tegas Alvian.

Hari ini, suara dari Toraja bukanlah suara kemarahan. Ia adalah jeritan nurani. Sebuah seruan agar negara kembali ke jalan kebijaksanaan. Bahwa dalam keberagaman, dialog adalah fondasi; dan dalam perbedaan, hormat adalah jembatan.

Sampai berita ini diturunkan Kapolres Tana Toraja Budi Hermawan belum memberikan keterangan resmi terkait persoalan ini. ***SM

Related posts