Perjalanan hidupnya sedari bocah kerap diwarnai dengan badai persoalan. Sejak berumur setahun, I Ketut Darsana harus rela kehilangan ayahnya yang dianiaya oleh sekelompok massa tak dikenal sampai meninggal. Penderitaannya semakin bertambah, ketika sang Ibu pun meninggalkan dirinya lantaran “dipaksa” menikah dengan salah seorang Pria yang menghabisi nyawa ayahnya. Darsana kecil sontak menjadi anak terlantar, kemudian dirawat oleh sang Paman. “Aku lahir di sebuah desa di Singaraja, Bali. Karena gejolak politik tahun 1965, ayahku dengan 4 saudara laki-lakinya dibunuh oleh sekelompok massa. Waktu itu, usiaku belum genap 1 tahun. Setelah ayahku meninggal, Ibuku harus menikah dengan salah seorang massa pembunuh ayahku. Hidup dibawah tekanan, maka ibuku menikah dan meninggalkan aku sebagai balita yang malang. Kemudian aku dirawat oleh paman. Yang kuingat saat itu, pamanku ini seorang yang tidak memiliki hati Bapa, senang berjudi dan main perempuan serta pemalas. Jadi sejak kecil aku harus hidup dari hari kehari dalam penderitaan. Membantu paman mencari nafkah, kerja apa saja untuk bertahan hidup. Kelaparan, penderitaan, kekerasan fisik dan hinaan akrab dengan aku,” kenang Pria kelahiran Singaraja, 3 Oktober 1964.
Lantaran sejak bayi sudah menjadi anak yatim, Darsana pun tak tahu nama dan wajah ayahnya. Darsana hanya ingat nama Ibunya yang bernama Luh Sini. Tahun demi tahun Darsana bertumbuh tanpa pernah menikmati kebahagiaan masa kecil dan kasih sayang dari orang tua, karena dirampas oleh “sejarah kelam” yang memilukan hati. Bermain dengan anak sebaya, menikmati makanan enak, tempat tidur nyaman, dan sebagainya pun tak pernah dirasakan. “Hari ini aku bisa makan, besok belum tentu ada makanan. Kecuali aku sendiri harus bekerja keras menjadi seorang anak pemungut jelai padi di belakang rombongan orang-orang dewasa yang sedang menuai padi di sawah. Bahkan untuk mencapai lokasi panen padi, aku harus berjalan kaki tanpa alas kaki sejauh belasan kilo meter,” tutur Darsana mengisahkan kembali kehidupan masa kecilnya.
Penderitaan demi penderitaan pun terus dialami oleh Darsana. Meskipun sudah lelah bekerja membantu sang paman dalam mencari nafkah, namun perlakuan tak menyenangkan kerap menerpanya. “Aku sering dimarahin, dimaki bahkan dipukuli. Aku harus menerima keadaan itu. Sebab beliau adalah pamanku yang berfungsi sebagai pengganti ayahku. Suatu hari aku tidak tahan dengan semua penderitaan hidup, aku lari ke kuburan ayahku dan menangis di sana. Aku minta agar ayahku membawaku dalam kematiannya. Aku bilang mengapa aku harus lahir? Setelah beberapa waktu berlalu, aku mulai sadar dan tiba-tiba ingin melanjutkan sekolah untuk mengubah nasib. Tetapi bagaimana bisa sekolah? makan saja susah, selama ini sekolah selalu gratis. Kemudian aku berjanji, siapa saja yang bisa menolongku membiayai sekolah aku akan ikut agama orang yang baik hati itu sampai nanti aku tamat dan sudah bekerja, aku akan kembali lagi ke agama leluhurku. Sebelum aku tamat Sekolah Dasar, datanglah seseorang yang baik hati itu menawarkan bantuan untuk melanjutkan sekolahku. Aku pikir, dia adalah utusan Tuhan bagiku sehingga akupun bisa melanjutkan sekolah hingga akhirnya aku bertobat dan menjadi pengikut Kristus ketika duduk di bangku kelas 6 SD,” ungkap suami dari Susy Evawati Tjandra.
Merintis pelayanan & diserbu massa radikal
Seiring bergulirnya waktu, Darsana pun semakin teguh dalam pengenalan akan Juruselamat pribadinya. Hingga suatu saat selepas SMA, ia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan studi teologi di ITKI Petamburan. “Setelah lulus, saya kemudian kembali ke Bali untuk merintis sebuah pelayanan. Tapi ketika saya menggembalakan jemaat, harus menghadapi sekelompok massa radikal yang berunjuk rasa akan meresolusi tempat ibadah. Tepatnya pada bulan Agustus 2011, massa datang ketika saya sedang menyampaikan firman Tuhan. Mereka sudah masuk ke dalam ruangan gereja. Suasana pun mencekam dan membuat jemaat ketakutan dan tertekan. Massa yang datang itu menolak kehadiran gereja dan memerintahkan untuk segera menutup tempat ibadah. Langkah dialog dengan segala cara ternyata tak membuahkan kesepakatan, kecuali menutup dan pindah ke tempat yang baru walaupun sudah mengeluarkan uang untuk sewa tempat selama 5 tahun. Saya merasakan tekanan luar biasa. Karena hal itu sudah terjadi berkali-kali dalam pelayanan saya, hati saya pun mulai tawar dan kecewa. Saya protes, kenapa gereja selalu dihambat di negeri ini? Dalam titik kecewa dan tawar hati itulah, istri dipakai Tuhan untuk menguatkan saya. Istri saya bilang ‘pa…tetap kuat ya. Serahkan semuanya kepada Tuhan. Hanya Tuhan saja kekuatan kita. Mulai saat itulah saya memutuskan untuk mencari Tuhan lewat doa dan puasa. Dalam pergumulan saya yang luar biasa itulah saya dijamah dan dipulihkan Tuhan secara luar biasa. Walaupun massa menutup tempat ibadah, tetapi lewat penyerahan kepada Tuhan, hati saya tetap kuat untuk meneruskan pelayanan penggembalaan dan penginjilan bagi jiwa-jiwa di Pulau kelahiran saya,” ujar ayah dari Gede David Ebenhaezer ini menceritakan pengalaman pahitnya ketika merintis sebuah pelayanan di Bali.
Belajar dari pengalaman memilukan dalam pelayanannya itulah menginspirasi Pria yang kini telah menjadi seorang gembala di sebuah gereja di Denpasar dan Singaraja ini untuk menciptakan beragam lagu rohani. Serangkum lagu buah karyanya pun dikemas dalam album bertajuk ‘Yesus Kekuatanku’. “Kasih Tuhan kepadaku luar biasa indahnya, bukan saja menyelamatkan hidupku, Dia juga telah mati bagi dosa-dosaku, dan memberikanku segala yang baik. Kini aku menjadi seorang hamba Tuhan, Pendeta sebuah gereja, pendiri sebuah yayasan yang sedang membangun Panti Asuhan untuk anak-anak yang malang. Aku melihat diriku dalam diri mereka. Andai saja tidak ada yang mengulurkan tangan, maka aku tidak akan pernah menjadi seperti sekarang ini. Tuhan juga mengaruniakan kepadaku talenta yang lain, sehingga aku juga sebagai pencipta dan penyanyi rohani. Kini albumku ada di seluruh Indonesia. Bukan bermaksud mencari popularitas tetapi aku mau menyampaikan pesan Tuhan melalui rangkaian kata dan nada,” ungkap hamba Tuhan yang kini telah memiliki 2 album rohani, “Yesus Pembelaku dan Yesus Kekuatanku.
Menurut Darsana, dalam perjalanan hidup kita, melayani Tuhan bukan berarti bebas dari airmata, bebas persoalan, tetapi hal itu akan dapat kita atasi ketika kita dekat dengan Tuhan. “Tuhan bukan hanya membela kita, tetapi memberikan kekuatan yang luar biasa,”pungkas hamba Tuhan yang diberi karunia dalam berolah vokal dan menciptakan lagu kepada wartawan di kantor Impact Music, Jakarta Selatan. (sumber: tabloid victorious edisi 691). SM