Ir.Arief Harsono, SH,MM Dikenal Aktif Menangani Persediaan Oksigen Di Masa Pandemi Covid-19
Selama pandemi Covid-19, nama Arief Harsono dikenal sebagai pengusaha yang berhasil menangani persediaan oksigen yang dikirim ke berbagai Rumah Sakit. Sampai ia mempunyai satgas khusus yang selalu siap setiap ada permintaan menyediakan oksigen di seluruh Indonesia. Di mana saja kapan saja.
Dahlan Iskan, pengusaha yang dekat dengannya belum lama ini menulis tentang kiprahnya. Menurut Dahlan, Arief Harsono (Pemilik PT Samator/Samarinda Toraja) di bidang oksigen putra Indonesia juga boleh dibanggakan. Berkat kegigihannya kita sudah mandiri di bidang oksigen. Sudah menjadi raja di negeri sendiri. Beberapa perusahaan asing justru kalah: tidak mampu bersaing dengan oksigen Samator. Bahkan ada perusahaan asing yang memilih tutup. Tentu ada yang masih bertahan tapi tidak bisa besar: dari Amerika, Prancis, dan Italia. Sekarang ini Samator punya 48 pabrik oksigen di seluruh Indonesia. Termasuk di daerah yang secara komersial tidak menguntungkan, seperti Lombok. Kemampuan produksinya mencapai 800 juta ton/tahun. Masih akan naik lagi kalau pabrik barunya di Surabaya beroperasi dua bulan lagi. “Saya tidak perlu lagi mengupas siapa putra Toli-toli, Sulteng ini. Bahkan belakangan Samator membangun tangki-tangki penampung oksigen di rumah-rumah sakit. Oksigen tinggal dikirim dalam bentuk cair, dari pabrik ke tangki-tangki di RS itu. Itulah sebabnya tidak sampai terjadi ”drama” tabung oksigen seperti di India,” ujar Pimpinan Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan dalam tulisannya yang dikutip cnnindonesia.com.
Dahlan juga menuliskan tentang perjalanan Arief sebelum sukses sebagai pengusaha gas terbesar di Indonesia. Berikut tulisannya selengkapnya.
Ketika berhasil membangun hotel Novotel yang baru, salah satu lounge di lantai 5-nya diberi nama “Damsole”. Nama itu melekat lekat di benak pemilik Novotel baru di Surabaya itu: Arief Harsono. Itulah nama kapal kayu yang akan selalu ia ingat. Kapalnya kecil. Hanya 5 ton. Di kapal itulah ia hampir mati: jatuh ke laut. Saat itu Arief baru berumur 18 tahun. Itulah untuk kali pertama ia berbisnis: kopra. Ia mencari kopra sampai ke pulau Una Una. Itulah pulau bundar di tengah laut antara Poso dan Gorontalo. Yang dipenuhi pohon kelapa.
Arief terjatuh dari kapal itu. Untung juru mesin kapal itu melihat. Arief sudah timbul tenggelam jauh di belakang kapal. Damsole pun memutar balik. Setengah jam kemudian Arief sudah kembali ke kapal. Dengan seluruh badan menggigil. Sebagian karena ketakutan. Arief selamat. Nama Damsole itu diambil dari nama kampung di pinggir pantai Poso: Damsol. Arief mengabadikan nama itu seumur hidupnya. Executive Lounge di hotel itu juga ia beri nama Una Una. Dari situlah Arief mendapatkan uang pertama dalam hidupnya. Sekaligus dalam jumlah yang sangat besar. Itulah pulau yang hanya bisa diraih dari Poso selama enam jam –dengan Damsole.
Masih ada satu nama lagi yang juga ia abadikan: Parigi. Kafe di hotel itu diberi nama Parigie: berasal dari kata Parigi, sebuah kota kecil dekat Poso. Arief Harsono sendiri lahir di kota kecil di Sulteng: Toli Toli. Yakni di rumah panggung di tengah-tengah kebun kelapa. Tidak ada rumah sakit bersalin di Toli-Toli kala itu. Arief adalah anak pertama. Tiga adiknya juga lahir di Toli-Toli. Tapi yang nomor dua lahir dengan jantung tidak sempurna. Setiap kali menangis badannya biru. Ketika sudah mulai bisa berjalan ia selalu terjatuh –di langkah ketiga atau keempat. Lalu badannya membiru.
Itulah yang membuat keluarga ini pindah ke Surabaya. Mencari dokter. Mereka naik kapal. Arief dan adik yang masih bayi ditinggal di Toli-Toli. Dirawat nenek mereka. Bisnis kopra keluarga ini lantas dikendalikan dari Surabaya. Arief pun akhirnya dibawa ke Surabaya –bersama bayi yang sudah lebih besar itu. Di Surabaya Arief sekolah di SD Negeri Kapasari. Ketika masuk SMP Arief memilih SMP swasta (Petra) agar bisa masuk sore. Di pagi hari Arief diminta membantu bapaknya di gudang kopra. Demikian juga waktu SMA. Ia pilih SMA Petra –karena bisa masuk sore. Waktu tamat SMA itulah Arief dihadapkan pada pilihan dari ayahnya: mau kerja atau mau kuliah. Arief pilih kerja. Kenapa? “Karena pilihan “kerja”‘ diucapkan ayah yang pertama. Maka saya jawab pilih kerja,” ujar Arief. “Saya tahu maksud ayah mengapa kata kerja’ diucapkan sebelum kata ‘kuliah’,” tambahnya. “Dan lagi kuliah kan masih bisa nanti-nanti,” katanya.
Sang ayah lantas mengirim anak umur 18 tahun itu ke Poso. Di sana Arief diminta belajar kopra kepada teman dagangnya: Haji Rauf Lasahido. Setelah tujuh hari naik kapal –lewat Makassar, Kendari, Buton, dan Luwu –Arief tiba di Poso. Ia menempati satu kamar di rumah Haji Rauf yang besar.Haji Rauf adalah pemilik kebun kelapa terbesar di Sulteng. Seingat Arief, sekitar 2/3 kebun kelapa di sana adalah milik Haji Rauf.
Sulteng memang pusat kopra di Indonesia. Dari sini pula orang seperti Eka Tjipta Widjaya –sebelum menjadi konglomerat– mendapat dagangan kopranya.Selama ”magang” di Haji Rauf, Arief bisa mengumpulkan 2.000 ton kopra. Harga di sana Rp 18/kg, tapi Arief ingin menyikat habis seluruh kopra yang ada. Ia memberi harga lebih menarik: Rp 22/kg. Semua kopra pun lari ke Arief.
Kopra itu ia jual ke ayah di Surabaya dengan harga Rp 32/kg. Sang ayah setuju –tanpa tahu berapa anaknya membeli dari petani. Sang ayah lalu kirim L/C lokal. Tapi L/C itu tidak bisa diuangkan. Padahal petani menunggu di pulau Una Una.
Untung Arief bisa dansa. Misalnya cha-cha. Ia belajar dansa waktu di SMA. Kemampuan dansa itulah yang membuat Arief bisa mencairkan uang di L/C –lewat bank yang pimpinannya minta diajari dansa.
Padahal Arief sudah pusing akibat bank penerima L/C tidak bisa mencairkannya. Uang berkarung-karung itu dia bawa ke Una Una. Lunas. Kopra pun masuk gudang di Poso. Kunci gudang ia serahkan ke bank yang mencairkan L/C tersebut.
Arief pun mencarter kapal. Ia ikut naik kapal itu –mengawal sendiri kopra 2.000 ton menuju Surabaya. Arief untung Rp 10/kg. Ia bisa langsung membeli mobil sedan baru: Peugeot 504. Sang ayah kaget anak umur 18 tahun ini beli mobil baru. “Kamu ambil untung ya” tegur sang ayah. “Ya iyalah Pa. Kan harus untung,” jawabnya.
Sang ayah tidak mempersoalkan lebih lanjut. Mungkin justru bangga di dalam dada. Setelah membeli mobil pun Arief masih punya kelebihan laba. Itu untuk modal membeli kopra lagi. Ia pun kembali ke Poso. Naik kapal lagi enam jam ke Una Una. Kembali dari Una Una yang kedua inilah Arif jatuh ke laut. Ia trauma. Itulah dagang kopra terakhir baginya. Kebetulan ia menemukan bisnis baru. Di umur 19 tahun. Yakni ketika Arief ke tempat temannya di Samarinda. Teman itu punya bengkel mobil. Di dekatnya ada orang ngelas. Arief merasa aneh kok ngelas tidak pakai karbit. “Orang asing tidak suka bau karbit,” jawab tukang las itu. Itulah untuk kali pertama Arief melihat ada orang ngelas tidak pakai karbit. Arif tertarik dengan pengetahuan baru itu. Ia banyak bertanya kepada tukang las itu. Termasuk dari mana mendapat gas untuk ngelas itu. “Ini barang impor,” ujar tukang las itu.
Arief pun langsung melihat peluang: bikin bahan las itu di dalam negeri. Ia sudah punya modal. Tapi tidak cukup. Ia ajak tiga teman sebayanya untuk kumpul-kumpul modal. Tidak juga cukup. Mereka sepakat mencari kredit bank. Ayah Arief merestui tapi tidak mau gabung. Arief harus tanggung sendiri risiko masuk ke dunia industri. Sang ayah akan terus di sektor perdagangan.
Pabrik pun dibangun di Surabaya. Awalnya sulit diterima pasar. Sampai-sampai tiga temannya angkat tangan. Arief diminta mengembalikan modal mereka. Arief cari tambahan kredit jangka pendek. Kebetulan seorang temannya di Gresik minta tolong: agar Arief mau membeli stok garamnya dengan harga murah sekali. Si teman lagi butuh uang. Garam itu akan dilepas dengan harga Rp 4/kg. Arief menggunakan sebagian uang kredit untuk menolong temannya itu. “Tiba-tiba harga garam naik menjadi Rp 90/kg. Kredit jangka pendek saya langsung lunas,” katanya.
Pabrik Gas Samator Menjadi Terbesar di Indonesia
Akhirnya pabrik gas industri Arief berjalan lancar. Sudah 100 persen miliknya sendiri. Pabrik yang semula 2 hektare menjadi 20 hektare. Belum lagi pabriknya yang di banyak kota di Indonesia. Singkatnya Arief menjadi yang terbesar di Indonesia. Merk dagang gasnya “Samator” –singkatan Samarinda-Toraja yang didirikan sejak tahun 1975. Saingan terberatnya saat itu adalah Aneka Gas –milik BUMN. Terutama setelah Aneka Gas dijual ke investor Jerman. Statusnya pun menjadi PMA. Samator harus bersaing dengan perusahaan asing. Tapi Samator menang. Pun akhirnya Aneka Gas ia beli –dari pengusaha Jerman itu.
Setelah mengalahkan Jerman, Arief menghadapi pesaing asing lainnya: Praxair. Dari Amerika. Sekali lagi Samator menang. Praxair sampai mundur dari pasar. Bukan main.
Di tangan Arief, Samator Group telah tumbuh menjadi perusahaan multi triliun rupiah dengan karyawan lebih dari 3.000 orang. Pada tahun 2004, Samator melakukan ekspansi usaha gas industrinya secara agresif dengan melakukan akuisisi atas PT Aneka Gas Industri.
Setelah sukses, Arief ingin mengembalikan Sebagian hasilnya kepada Tuhan. Ia membangun begitu banyak Vihara. Termasuk di kampung halamannya di Toli-Toli. Ia merasa perjalanan bisnisnya begitu baik. Itu pasti berkat dari Tuhan. Dan akhirnya Arief menjadi ketua Persatuan Umat Budha Indonesia. Mereka yang tidak mau bergabung ke Walubi kumpul di sini. Kian lama kian eksis melebihi Walubi.
Setelah menjadi pengusaha gas industri terbesar di Indonesia Arief baru kuliah. Ia lulus S-1 teknik mesin. Lalu lulus S2 bisnis dari Universitas Gadjah Mada. Pun masih kuliah lagi di S2 Sekolah Tinggi Agama Budha Maha Prajna Jakarta. Arief pun masih ingin meraih S-3. Semangat belajarnya itu tidak surut justru ketika grup Samator sudah membiak menjadi 30 perusahaan. Dan ketika Arief sudah selesai membangun gedung-gedung pencakar langit: untuk apartemen dan Hotel Novotel Samator itu. Bisnis, bersekolah, beragama menjadi satu dalam jiwanya.
Arief juga menjadi anggota Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada). Ia memang pernah menjadi mahasiswa Magister Manajemen UGM. Tidak hanya jadi mahasiswa. Ia menjadi mitra UGM untuk membuat kelas MM di luar Jogjakarta. di Jakarta dan pernah buka kelas MM UGM di Surabaya.Karena itulah, ia juga dekat dengan Mantan Rektor UGM Pratikno yang kini menjadi Menteri Sekretaris Negara. Juga dekat dengan Presiden Jokowi sebagai tokoh Budha dan pengusaha. Karena itu, ia beberapa kali membantu memfasilitasi kegiatan Kagama Jatim. Seperti saat Musda Kagama yang dihadiri Ketua Umum Ganjar Pranowo dan Sekum Ari Dwipayana.
Selain menjadi Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia, Arief juga memegang jabatan di sejumlah organisasi. Di antaranya: Ketua Umum Asosiasi Gas Industri Indonesia, Ketua Apindo DPP Jatim, Ketua Umum DPP Walubi, Ketua STAB Maitreyawira, Ketua DPP Majelis PBMI, Ketua Umum Pengurus Pusat LPTGN, dan Wakil Ketum IV PBVSI. SM