Ketum PGI, Pdt. Gomar Gultom Sampaikan Pesan Damai Dalam Perayaan Harmony Week di Gedung MPR

Nasional, News350 Views

Jakarta,Victoriousnews.com,- Perayaan “Harmony Week” yang berlangsung di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, tampak dihadiri oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo, para wakil ketua MPR, para perwakilan negara sahabat, Ketua Kehormatan dan Presidium IRC , serta sejumlah Pimpinan lintas Agama.
Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum Persekutuan Gereja gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Gomar Gultom, menyampaikan pesan damai di hadapan para hadirin Harmony Week. “Salam Persaudaraan dari gereja-gereja dalam lingkungan PGI. Dokumen Persaudaraan yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam El Tayeb, 4 tahun lalu, mestinya menohok kita semua, di tengah dunia yang telah begitu dalam digerogoti oleh budaya kekerasan. Hampir tidak ada hari berlalu tanpa kita mengumbar hawa nafsu. Geopolitik dunia kini membawa kita pada krisis pangan dan enerji dan kegalauan global yang berkepanjangan. Ini semua bersumber dari kerakusan, ketika setiap orang maupun kelompok berlomba menguasai sumber-sumber yang ada, dan bila perlu menegasikan keberadaan orang dan kelompok yang lain. Inilah sumber kemelut dunia ini,” ujar Ketum PGI, Pdt. Gomar Gultom dalam pesan tertulisnya.
Pdt. Gultom kemudian mengutip pernyataan, Joseph G Stiglitz, peraih Nobel bidang ekonomi pernah berkata, kita ini sedang hidup di dekade kerakusan. Segala bentuk kenikmatan dunia begitu menggoda kita dalam keseharian kita. Disadari atau tidak, kita ini selalu berlaku “Untukku!”, “Untukku!”, dan tidak pernah mampu berkata “Cukup!” (Amsal 30:15). “Mahatma Gandhi pernah berkata: “dunia ini menyediakan sumber yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak pernah cukup untuk memenuhi kerakusan setiap orang.
Ternyata Kerakusan ini tidak hanya berlangsung di bidang ekonomi ataupun politik, juga merangsek ke dalam kehidupan beragama. Lihat saja, betapa banyak peristiwa kekerasan dan penganiyaan yang berlangsung di dunia ini mengatasnamakan agama. Padahal, kita semua tahu, agama tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Lalu, dari mana praktik kekerasan dan penganiyaan tersebut muncul? Banyak faktor, namun factor paling dominan adalah adanya dogmatisme agama yang kemudian melahirkan klaim kebenaran satu-satunya.
Jika dogmatism dan klaim kebenaran satu-satunya di biarkan, sungguh bahaya. Orang sering menganggap dirinya paling benar dan mengetahui segala hal sehingga orang lain yang berbeda dengannya dianggap sudah pasti salah dan menyimpang. Dan orang lain itu juga sudah pantas disingkirkan, bahkan dengan cara yang paling kejam. Inilah yang menjadikan keseharian kita begitu banal: ingin meraup sebanyak mungkin untuk diri sendiri atau untuk kelompok, partai maupun agamanya sendiri.
Inilah yang menjadikan kita semakin jauh dari persaudaraan, perdamaian dan kemanusiaan.
Kita ini kini seolah sedang menghidupi peradaban yang mengarus-utamakan jumlah penganut, peradaban yang mengedepankan harta, kekuatan dan tahta, peradaban yang memenangkan yang bersuara keras. Sebuah peradaban yang makin menjauhkan kita dari persaudaraan dan kemanusiaan, dan malah melahirkan kebencian dan balas dendam.
Inilah buah keserakahan itu. Bahkan oleh keserakahan itu, kita pun merelakan agama dijadikan kendaraan untuk tujuan kepentingan ekonomi maupun politik. Politik identitas yang sejatinya untuk memperjaungkan keadilan dan nasib mereka yang terpinggirkan, malah dibelokkan untuk meminggirkan mereka yang tidak sehaluan.
Di sini pentingnya peran para pimpinan umat untuk mencerdaskan umat dalam beragama, untuk tidak terjebak pada simbol-simbol agama semata, tetapi menukik pada intisari agama, yakni cinta, persaudaraan dan kemanusiaan.
Sayangnya pendekatan keagamaan kita sekarang ini banyak yang dijebak oleh dogmatisme beragama. Beragama secara dogmatis sedemikian akan memisahkan kita satu sama lain, sebaliknya, beragama secara substansial justru makin mengeratkan kita satu sama lain, oleh ikatan cinta dan kemanusiaan.
Tetapi kita tidak bisa sampai di sana selama keserakahan menggurita dalam kehidupan beragama kita. Dalam perspektif Kristen, saya mengajak kita semua menghidupi ajakan Kristus dalam Doa Bapa Kami: “Berikanlah kami makanan kami yang secukupnya”, serta ajakan untuk selalu berbagi dan untuk selalu berlaku adil.
“Sebab perdamaian bukanlah sekedar ketiadaan perang, tetapi perdamaian sejati hanya akan mewujud jika keadilan ditegakkan, dan semua orang mampu untuk berkata: “Cukup” serta selalu berjuang untuk keadilan,” papar Pdt. Gultom. SM