KOMUNIKASI YANG SEHAT DALAM KELUARGA KRISTEN

Religi17256 Views

VICTORIOUSNEWS.COM,-Allah menciptakan keluarga (Kej. 1:26-28), sebagai wadah/wahana di dalam mana kita dipanggil untuk lebih memahami dan menghayati apa artinya menjadi “gambar Allah”. Kehidupan keluarga menggambarkan suatu kesatuan yang serasi, sebagaimana Allah Tritunggal yang bersatu dengan harmonis.

Anak-anak adalah hasil persekutuan diri suami-istri. Bukan milik tetapi karunia Tuhan. Kebahagiaan suami-istri tidak diletakkan kepada anak-anak, tetapi kepada Allah yang adalah sumber di mana kita beroleh hidup. Kepada Dia saja kita bergantung, dan untuk Dia kita hidup, bagi-Nya kita tujukan pengabdian kita demi hormat dan kemuliaan-Nya.

Dengan demikian keadaan tidak mampu beroleh anak, patut diterima tanpa sesal, dan tidak perlu mengakibatkan ketidak bahagiaan atau alasan untuk bercerai. Kita harus menyadari bahwa anak-anak kita ada terutama untuk dan demi Allah, bukan untuk dan demi kepentingan kita. Keberhasilan sebuah keluarga menjadi wadah di mana tiap pribadi menyadari panggilannya sebagai citra Allah, sangat ditentukan oleh mutu hubungan suami-istri dan mutu relasi orang tua dengan anak.

Bagaimana membangun komunikasi yang baik? Tak bisa dipungkiri, keluarga masa kini sudah terjebak dalam arus modernisasi dan kecanggihan teknologi. Tak pelak, masing-masing ruang tidur banyak sudah dilengkapi dengan audio visual, komputer, telepon, dsb. Sesungguhnya keluarga yang demikian ini, walaupun memiliki alat hiburan yang lengkap, adalah keluarga yang sepi, karena terdiri dari anggota keluarga yang ‘bisu’, terasing satu dari yang lain. Banyak informasi yang harus mereka dengarkan, dan harus melakukan gerak yang sedemikian cepat, jika tidak mau dibilang ‘ketinggalan zaman’ membuat orang cenderung tidak lagi mengembangkan persahabatan, memberikan waktu pada anggota keluarga yang lain untuk berbincang-bincang, atau berkomunikasi dari hati ke hati.

Semua dilakukan dengan cepat, basa-basi, atau dangkal-dangkal saja. Akibatnya kesadaran diri dalam relasi dengan anggota keluarga yang lain sebagaimana digambarkan di atas, di mana tiap pribadi tumbuh menjadi satu keluarga yang menggambarkan citra Allah, menjadi kabur. Di sinilah keluarga Kristen seharusnya terpanggil untuk menunjukkan kesaksian melalui “Komunikasi isi hati” yang diberi tempat utama dalam menjalin relasi dengan anggota keluarga yang lain. Tiap pribadi bisa merasakan bahwa keluarga berfungsi sebagai oasis di tengah padang gurun, seperti pelabuhan perteduhan dari dunia yang keras dan penuh ancaman. Apa yang menjadi kesedihan satu anggota keluarga, dapat dirasakan oleh semua anggota keluarga dan menjadi pergumulan bersama dalam doa. Begitu pula apa yang menjadi sukacita satu orang menjadi sukacita seluruh keluarga dan menjadi syukur keluarga kepada Tuhan.

Semua terbuka untuk mencari ‘jalan keluar’ dalam terang Firman Tuhan. Sekalipun dibutuhkan kesabaran untuk ‘mendengarkan’ dan tidak ‘menyakiti’ hati pihak lain, mutu hubungan yang demikian inilah yang Tuhan berkenan (Efesus. 6). Paulus menyebutkan relasi suami-istri yang saling mengasihi adalah menggambarkan relasi Kristus dan jemaat-Nya. (Efesus. 5).

Banyak orang tidak dapat melihat, bagaimana besar kasih Allah kepada jemaat-Nya, karena relasi mereka tidak mencerminkan realasi cinta yang saling melindungi dan menghormati. Sebagaimana tatanan yang ditetapkan oleh Tuhan. Bila tiap keluarga menyadari akan panggilan-Nya ini, maka kehidupan rumah tangga Kristen akan menjadi keluarga yang sungguh menyaksikan apa arti dari keluarga bahagia, keluarga yang memiliki persekutuan yang indah, kedamaian, saling memaafkan, sebagaimana Kristus menerima kita. Pengorbanan Kristuslah yang selalu menjadi panutan dan dasar dari segala aksi kita.

Di sinilah perbedaan dengan keluarga pasca modern yang cenderung menampilkan penampilan luar (imej, gambar, kesan) lebih penting dari pada hakikat, jati diri keluarga itu. Penampilan, seperti keindahan yang tampak dari luar lebih diutamakan daripada integritas, moralitas, sosialitas, apalagi spiritualitas keluarga itu.***