“FILSAFAT INSAN KRISTEN”

News, Opini11001 Views
Ps. Dr. Lenny H.S. Chendralisan

Do something different in your way, inilah hikmat. Hikmat biasanya didapatkan pada insan yang insani dalam tindakannya. Tindakannya didasarkan atas hasil pemikiran filsafat. Insan yang insani merupakan orang-orang yang bijaksana.  Tidak selalau insan Kristen dengan filsafatnya merupakan hal yang jelek dan membosankan, namun memahaminya memberikan kesempatan kepada hikmat dijalankan. Konon hikmat ada pada orang yang tua, dan pengertian pada orang yang lanjut umurnya (Ayub 12:12).

Belajar filsafat Kristen tidak akan lepas dari hikmat yang memacu kita untuk berpikir kritis dan mendalam.  Upaya pemikiran filsafat sendiri tertuju kepada Yesus dan keteladanan-Nya. Sedangkan pola berpikir kekristenan didasarkan pada iman Kristen. Sebab iman adalah dasar dari segala sesuatu (Ibrani 11:1). Seyogianya kita memiliki iman yang dewasa dalam mengelola perilaku kita, dimana dipengaruhi filsafat atau filosofinya, melalui berpikir sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Kebenaran yang otentik adalah di dalam Yesus. Yohanes 14:6; Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.

Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Filsafat inilah yang menjadi kompas atau penunjuk arah untuk berjalam dalam arah yang benar sejalan dengan panggilan insan Kristen. Jika, kita tidak memiliki pemahaman yang benar, kita akan terombang ambing dalam filsafat yang seolah baik untuk dilakukan, ternyata tidak selalu yang terlihat baik adalah kebaikan, tetapi apa yang benar itulah kebenaran (the only one is truth). Tidak selalu yang nisbi (yang terukur) merupakan kepastian, tidak selalu prediksi bahwa sesuatu pasti terjadi kemudian terjadi.

Insan Kristen harus memiliki landasan yang kuat agar tidak meniadakan keberadaan keteladan Yesus, keberadaan Yesus bukanlah yang nisbi, kenisbian akan hilang apabila diperhadapkan dengan keberadaan Yesus.  Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian (Ayub 12:13). Dengan mempelajari filsafat kita diajak untuk berpikir secara kritis, dipacu untuk berpikir dan bertindak kritis yang bertanggungjawab dalam keadaan yang sangat penting, apakah kita berhasil atau gagal.

Filsafat erat kaitannya dengan berpikir. Siapakah yang berpikir ? Insan yang insani. Manusia adalah insan yang berpikir, berarti “ada yang berpikir.” Disini kita setuju bahwa yang berpikir adalah manusia. Apakah semua yang berpikir dapat dikatakan berfilsafat ? Tidak !  Karena tidak selalu bepikir itu berfilsafat. Apakah semua yang berpikir adalah ahli pikir ? Tidak ! Seorang ahli pikir disebut filsuf, namun tidak semua ahli pikir adalah seorang filsuf. Phytagoras ketika ditanya: “Apakah Phytagoras adalah seorang bijaksana ?” dengan rendah hati Phytagoras berkata, bukan ! Aku hanyalah orang yang mencintai hikmat.

Lalu, apa itu filsafat ? Memahami arti filsafat ditinjau dari etimologi, kata filsafat atau philosophy berasal dari kata Yunani yang terdiri dari akar kata philein yang berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Jadi, filsafat bisa berarti mencintai atau mencari kebijaksanaan. Philosophia berarti mencintai hikmat, sahabat hikmat adalah mencintai kearifan. Sahabat kearifan adalah tindakan. Sahabat tindakan adalah keluhuran. Jadi, filsafat atau filosofi hidup seseorang dapat dipengaruhi oleh mereka yang mengelilinginya, jika salah menempatkan dirinya sebagai insan Kristen yang berharga, maka hal-hal yang besar dalam dirinya tidak akan terlihat.

Membiarkan diri bersama pelaku kebenaran dan pemikir, maka kita akan memiliki cinta akan hikmat. Dimana cinta akan hikmat adalah keinginan yang besar atau sungguh-sungguh pada kebijaksanaan yang memiliki kebenaran hakiki. Pecinta hikmat adalah pemimpi dan pelaku kebenaran. Pelakunya berarti seorang pencinta ulung pada hikmat dan kebijaksanaan. Jika, manusia memiliki hikmat, maka hikmat dan kebijaksanaan ini sesungguhnya berasal dari Tuhan. Manusia akan salah apabila yang didapatkannya adalah hikmat dunia berdasarkan hasil pengamatannya. 1 Korintus 1:27; Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat. Jelas bahwa filsafat selalu mencari pengetahuan dan  kebenaran hingga menemukan puncak kearifan dan memahami yang real dengan upaya: berpikir sistematis.

 Sistematis untuk berpikir kritis, berpikir yang terarah keluar dari pemikiran yang terkungkung (think outside the box). Apabila kita berpikir lurus, maka akan  timbul kepermukaan kebenaran yang hakiki. Oleh karena itu, diri kita sebaiknya tidak kerdil pemikiran, agar tidak kerdil tindakan, dan memiliki hati yang lapang untuk mengijinkan diri kita berada dikelilingi orang-orang yang dapat melihat ada yang besar dari diri kita.  Jelaslah bahwa unsur yang sangat perlu dimiliki adalah pikiran yang selalu logis menyelidiki kebenaran. Insan Kristen, seyogianya, pemikir tangguh, dengan ide-ide yang tangguh untuk mengembangkan kualitas diri yang dapat memberikan sumbangsih besar. Dalam pelaksanaan hasil hikmat memerlukan etika. Etika adalah suatu studi tentang apa yang benar dan apa yang salah. Epistemologi berkaitan dengan yang benar, dan ontologi dengan yang nyata, tetapi etika dengan yang baik.

Dengan kita berfilsafat positif berarti kita berusaha menjadikan insan yang susila. Pengertian “susila” disini terdapat dalam ruang lingkup tertentu, sesuai dengan tempat dan aturan yang ada. Insan yang susila dipandang sebagai ahli filsafat, ahli hidup dan sekaligus menjadi orang yang bijaksana. Filsafat membawa kita kepada pemahaman demi pemahaman yang membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tindakan yang lebih layak ini mampu membawa kita kepada keberhasilan.

Melalui hikmat kita mampu menemukan suatu nilai yang terbaik dari suatu perbuatan. Insan Kristen sejati akan berpikir kritis mengenai kebenaran pertama yang kemudian menuju pada kebenaran kedua dan begitu seterusnya. Dengan demikian, tidak ada kata ”berhenti” untuk menggali kebenaran yang sesungguhnya ”paling benar”.  Tujuan utama dari pemikiran kita yakni mengakui keberadaan Yesus Kristus sebagai Tuhan (Pemimpin Sejati/Pemimpin Hamba) dan memuliakan-Nya, diwujudnyatakan dalam tindakan. Inilah yang menjadi tujuan utama dari Filsafat Insan Kristen.

Hikmat akan menempatkan manusia sebagai insan Kristen yang mampu melakukan yang terbaik dan mendatangkan manfaat kepada insan lain. Insan Kristen yang menggunakan hikmat tidak akan mampu melakukan kejahatan karena hikmat menununtunya pada takut akan Tuhan. Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Amsal 1:7).  Hikmat menjadikan setiap insan dapat  berbudi luhur,  tidak akan melakukan ketidak teraturan, tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak melakukan tindakan yang merugikan drinya maupun kelompoknya.

Hikmat dan akal budi akan menjaga prilaku manusia dalam menghasilkan hal yang berharga, agar sejalan dengan keluhuran budi manusia sebagai insan mulia dan bermartabat. Jelasnya, budi dan akal laksana sekeping mata uang yang tidak terpisahkan, baik sebagai insan individu maupun sebagai insan sosial. Filsafat Insan Kristen mengacu dan mendasar serta mengerucut kepada filosofi Yesus Kristus, dimana filosofi-Nya mengubah hati, pikiran, perilaku serta kebiasaan.

Setiap insan yang insani pasti memiliki filsafat hidup entah menyadarinya ataupun tidak.  Filsafat adalah serangkaian ide, kepercayaan, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan manusia. Betapa indahnya, jika hikmat seseorang, baik ide, kepercayaan, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupannya dapat menghidupkan banyak insan pada sebuah pengharapan yang berlandaskan hikmat Tuhan, karena hikmat dunia dapat membinasakan yang pikirannya tidak mau keluar dari kungkungan keterbelakangan (think outside the box). Rasul Paulus mengajarkan kepada jemaat di Kolose; sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan. Hal ini kukatakan, supaya jangan ada yang memperdayakan kamu dengan kata-kata yang indah (Kolose 2:3-4).

Dengan kata lain, filsafat kita akan mempengaruhi tanggapan kita terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar dan hasil yang akan kita lihat sampai pada perwujudannya dapat saja kita lakukan karena filsafat itulah yang mempengaruhi kita. Jadi; “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus (Kolose 2:8).

Pesimisme dan optimisme seseorang merupakan dua contoh filsafat yang berlawanan. Orang yang pesimis akan memandang masa depan sebagai hal buruk, sementara orang yang optimis mengharapkan yang terbaik. Bila seorang pesimis duduk disamping seorang optimis, dan mereka menghadapi sebuah kejadian yang sama, maka si optimis akan menemukan satu hal yang positif dari kejadian tersebut, sementara si pesimis akan fokus kepada hal yang negatif. Si optimis akan mencari kesempatan dalam situasi tersebut yang dapat dia manfaatkan, sementara si pesimis akan fokus kepada hal yang negatif dan kemungkinan akan merasa tertekan dan kecewa.

Filsafat merupakan alasan mengapa sebuah situasi bisa menghasilkan tanggapan yang berbeda bagi tiap-tiap orang. Rasul Paulus menekankan mengenai kebenaran ini kepada jemaat di Kolose saat dia menasihati mereka untuk waspada terhadap orang-orang yang ”menawan” (atau merusak) diri mereka lewat filsafatnya. Filsafat yang salah akan menghasilkan tanggapan yang salah dalam menghadapi sebuah situasi, dan itu dapat mengakibatkan kita salah mengambil keputusan. Rasul Paulus menasehati agar jemaat di Kolose sungguh-sungguh mengerti pengajaran Kristus. Dan paham akan hal-hal tertentu agar mereka tidak terseret ke dalam pengajaran yang salah; Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia (Kolose 2:6).

Dengan filsafat, semua menjadi terang benderang, Socrates katakan; ”Jadilah seperti yang anda inginkan (Be as you wish so seem)” Tindakan insan Kristen yang tampak dalam hikmatnya memerlukan 3 kecerdasan yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ), dan Kecerdasan Spiritual (SQ). Pada esensinya landasan Filosofis yang dapat memberikan pengaruh dari 3 kecerdasan yakni; Deus Est Ergo  Sum yang berarti Allah ada, jadi aku ada. Kedewasaan kita ditopang oleh kedewasaan rohani yang berkaitan dengan sikap hati yang berhubungan dengan kemauan dan kerelaan menjadikan diri insan yang berakal budi dan mulia, dimana memiliki kedewasaan rohani mau melakukan tugasnya dengan penuh keyakinan dan komitmen yang tinggi. Jika, kita mau saling melengkapi, maka akan terbentuk suatu jaringan kekuatan yang disebut sinergi  (Imamat 26:8, 1 Korintus 12:12–27). Sinergi dari Bahasa Yunani συνεργός / sunergos / soon-er-gos’ yang berarti disebut sun = bersama-sama, ergon = kerja yang dapat didefisinsikan sebagai “kerja sama dalam keterpaduan yang serasi.” Berlakulah dengan hikmat yang disertai komitmen tinggi di dalam kerjasama dalam keterpaduan yang serasi. Sola Gratia. ***