Jakarta,Victoriousnews.com,-Berdasarkan data resmi pemerintah covid19.go.id per Senin (30 Maret 2020) pukul 19.00 WIB hingga Selasa pukul 10.00 WIB, jumlah pasien positif Covid-19 sebanyak 1.414 orang, 122 meninggal, 75 sembuh. Sedangkan secara global yang terdiri dari 199 negara yang terinfeksi (kasus terkonfirmasi) covid19 adalah 785.779, dan kematian berjumlah 37.815.
Menyikapi hal ini Presiden Jokowi dalam pidatonya, menegaskan, siap melakukan pembatasan sosial berskala besar menghadapi penyebaran virus corona (Covid-19). Hal ini akan dibarengi dengan darurat sipil. “Saya minta pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi juga sudah saya sampaikan perlu didampingi kebijakan darurat sipil,” ujar Presiden Jokowi (Senin, 30/3/2020).
Darurat sipil merupakan status penanganan masalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu yang ditandatangani Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959 itu Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957.
Dalam perppu itu dijelaskan ‘keadaan darurat sipil’ adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara. Berikut ini bunyi pasal dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1953 ini.
Pasal 1
(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat. Dalam keadaan darurat sipil, presiden dibantu suatu badan yang terdiri atas: Menteri Pertama; Menteri Keamanan/Pertahanan; Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah; Menteri Luar Negeri; Kepala Staf Angkatan Darat; Kepala Staf Angkatan Laut; Kepala Staf Angkatan Udara; Kepala Kepolisian Negara.
Namun presiden dapat mengangkat pejabat lain bila perlu. Presiden juga bisa menentukan susunan yang berlainan dengan yang tertera di atas bila dinilai perlu. Di level daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota). Kepala daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan, kepala polisi dari daerah yang bersangkutan, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan. Dalam Pasal 7 perppu tersebut dijelaskan, penguasa darurat sipil daerah harus mengikuti arahan penguasa darurat sipil pusat, atau dalam kondisi darurat Covid-19 ini adalah Presiden Jokowi. Presiden dapat mencabut kekuasaan dari penguasa darurat sipil daerah.
Sementara itu, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK), bagian yang mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Pasal 59
(1) Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.
(3) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
- peliburan sekolah dan tempat kerja;
- pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
- pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
(4) Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar
berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebelumnya, seperti dikutip media online bisnis.com, ekonom Senior Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Dr. Didik J. Rachbini, mengkritisi sikap pemerintah yang dikatakannya lelet dalam menangani Covid-19. “Pak Jokowi jangan angkuh, bilang tidak ada lockdown. Segera lockdown demi selamatkan warga. Penyebaran virus Corona itu seperti deret kali, sementara keputusan pemerintah bak deret tambah. Ada mismatched, masalah berjalan kencang, sementara pemerintah lelet,” ujar Prof. Didik, Minggu,29 Maret 2020.
Ketika membaca berita pernyataan Prof. Didik terkait Lock Down tersebut, pengamat politik dan sosial, Dr. John N. Palinggi, MM., MBA, sangat tidak sepakat. “Saya tidak sepakat itu pernyataan sahabat saya, Prof Didik J. Rachbini, apalagi dia mengatakan Pak Jokowi jangan angkuh, dia seperti memaksa Presiden Jokowi segera memberlakukan lockdown. Saya yakin pemerintah melalui jajaran aparaturnya, pasti dapat menangani masalah Covid-19 ini. Apalagi Presiden Jokowi sudah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan akan segera keluar Peraturan Pemerintahnya. Istilah Lock Down di Indonesia itu tidak ada, yang ada adalah UU Karantina wilayah,” demikian ditegaskan John Palinggi melalui jejaring media sosial WA.
Lebih lanjut John Palinggi yang juga seorang pemerhati kebijakan strategis, menegaskan bahwa lockdown tidak bisa diterapkan di Indonesia, secara khusus mengingat Indonesia negara kepulauan, terdiri dari banyak pulau yang terpisah oleh lautan. “Bila langkah lockdown diterapkan, jelas berbahaya bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan, terpisah lautan, bila ada agitasi jelas kita tidak akan siap” demikian ditegaskan John Palinggi yang juga kerap menjadi narasumber di sejumlah lembaga strategis.
Pria yang telah sukses menekuni usaha 44,5 tahun ini mengungkapkan, agar jangan ada niatan atau upaya mengambil keuntungan perorangan maupun kelompok tertentu, dibalik tuntutan pemberlakuan lockdown.“Kita harus bersatu padu bersama pemerintah menghadapi Covid-19 ini, tidak boleh ada siapapun perorangan maupun kelompok yang memaksa pemerintah untuk mengikuti keinginannya, apalagi memaksa diberlakukan lockdown, dan mencoba mengambil keuntungan dari pemberlakuan lockdown,” tandas John. SM