REVOLUSI MENTAL DALAM KEKRISTENAN!

Hukum & HAM, News, Opini3409 Views

Victoriousnews.com,-Mendengar kata “revolusi mental” pasti pikiran kita langsung tertuju kepada slogan yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pemerintahannya periode pertama. Apakah revolusi mental itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi mental adalah transformasi etos, yaitu: perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dan sebagainya. Sehingga mentalitas bangsa yang terungkap dalam praktik kehidupan atau kebiasaan sehari–hari lambat-laun mengalami perubahan signifikan.

Dalam Injil Yohanes dikisahkan percakapan Yesus Kristus dengan seorang pemimpin agama,dia “adalah seorang Farisi yang bernama Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi. Ia datang pada waktu malam kepada Yesus dan berkata: “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.” Yesus menjawab, kata- Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Kata Nikodemus kepada-Nya: “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?” Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia  pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.”

Kitab Yohanes 3:1-8 inilah salah satu ajaran dasar dari iman Kristen, “pembaharuan atau kelahiran kembali” secara rohani. Tanpa kelahiran baru ini seseorang tidak mungkin berubah menjadi orang baik. Pembaharuan itu adalah sebuah penciptaan kembali sifat seseorang yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Yoh 3:6; Tit 3:5). Melalui proses ini hidup kekal dari Allah sendiri, benih ilahi, jiwa yang murni disalurkan ke dalam hati orang yang beriman, sehingga dia menjadi ciptaan yang baru, menjadi anak Allah, memiliki sifat dan tabiat ilahi. Pembaharuan ini diperlukan karena semua orang yang telah berdosa, tidak mungkin taat dan tidak dapat berkenan kepada Allah. Tanpa pembaharuan rohani maka seorang berdosa tidak mampu mengubah perilakunya, tidak mampu memenuhi standar moral Tuhan. Pembaharuan mewajibkan seseorang bertobat dari dosa-dosanya dan berbalik kepada Allah (Matius 3:2) dengan iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Pembaharuan meliputi; peralihan dari cara hidup yang berdosa ke dalam hidup baru, hidup yang takluk kepada Tuhan (2 Korintus 5:17). Perilaku hidup yang berdosa berlalu, sekarang hidup di dalam kehidupan yang telah dibaharui. Vonis tidak akan mengubah seseorang, dipermalukan di hadapan publik tidak akan serta merta menginsafkan seseorang, bahkan dimiskinkan sekali pun tidak akan mengubah seorang yang berdosa menjadi manusia yang baik. Singkatnya, strategi manusia tidak mampu mengubah manusia, seorang koruptor tidak akan menjadi baik hanya dengan dipenjara, bahkan sekali pun hak pilihnya dicabut. Manusia akan berubah bila ia bertobat, mengalami pembaharuan rohani, menerima hidup yang baru dari Roh Tuhan.

Makna lain revolusi mental adalah perubahan yang sifatnya cepat sekali, dimana kita dapat merubah mental/spiritual yang merupakan dorongan kuasa TUHAN yang dahsyat, bukan karena kekuatan kita melainkan karena KaruniaNya, sehingga kita dapat memperbaharui akal budi dan mengikuti kehendak TUHAN sang pencipta sehingga kita tidak boleh serupa dengan dunia ini. Revolusi Mental dalam Alkitab juga tertulis dalam Roma 12:1-2, ‘Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan TUHAN aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada TUHAN: itu adalah ibadahmu yang sejati. 12:2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak TUHAN: apa yang baik, yang berkenan kepada TUHAN dan yang sempurna’.

Setelah mengalami pembaruan budi ke dalam diri kita, tentu harus diimplementasikan ke luar (orang lain/masyarakat luas). Mengutip kitab yang ditulis Nabi Yeremia (dalam Yeremia 29:7):“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”Sebuah amanat Tuhan kepada bangsa Israel di pembuangan; dimana mata, hati dan pikiran mereka selalu tertuju ke Jerusalem dan Bait Allah. Sebuah ajakan untuk tidak pasif dalam menghadapi realitas di mana mereka berada, sebaliknya harus aktif mensejahterakan masyarakatnya. Ajakan yang sama kepada kita: untuk aktif mengusahakan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya kesejahteraan sendiri. Itulah ibadah kita yang sejati, itulah hasil pembaharuan oleh budi. Itulah revolusi mental dalam gereja.

Dengan menjadi gereja, sesungguhnya kita sedang mengorientasikan diri ke dunia ini.Pekabaran Injil adalah sebuah gerak keluar, menyeberangi batas-batas sehingga merasuki kehidupan dan peradaban. Itulah makna terdalam menjadi gereja: membentuk oikoumene, yakni mengubah dunia ini (oikos) menjadi rumah yang nyaman untuk didiami bersama. Sebab itu, Gereja, sebagai institusi, bukanlah sebagai tujuan. Jika gereja menjadi tujuan, dia akan mudah kehilangan jati diri dan nuraninya sebagai entitas pembawa kedamaian dan keadilan. Sebaliknya, gereja haruslah menjadi roh pembebas masyarakat dari ketakutan, represi maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi. Dengan kata lain, bukan gereja yang menjadi orientasi hidup, melainkan untuk menjadikan hidup ini berorientasi pada kemanusiaan.

Dengan demikian, maka yang dipentingkan bukan jumlah gereja saja, melainkan pada orientasi hidup yang berbasiskan kebersamaan, solidaritas, dan kesetia-kawanan. Pada akhirnya, kualitas bergereja bisa diukur bila kesalehan tidak sekedar bermakna individual, tetapi juga kesalehan sosial; yang pada gilirannya akan melahirkan sikap-sikap kemanusiaan dalam berbagai kebijakan politik maupun ekonomi. Nilai-nilai ini bisa ditumbuhkan bila gereja menjadi inspirasi batin. Selamat Berevolusi Mental! ***

 

***Penulis Adalah Jurnalis, Tinggal di Jakarta