Jakarta, Victoriousnews.com-;Ketua Umum Majelis Pusat (MP) GPdI, Pdt. Dr. Johnny Weol, MM, M.Th, akhirnya angkat bicara secara terbuka terkait laporan dugaan penggelapan dana kas Sinode yang menyeret dirinya dan mantan Bendahara Umum, Pdt. Brando Lumatauw. Dalam penjelasannya, Pdt. Johnny Weol memaparkan kronologi peristiwa berdasarkan data dan bukti yang ada.
Dengan blak-blakan, Pdt. John menceritakan bahwa persoalan ini berakar dari tahun 2019, saat GPdI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Malang. “Sebulan setelah Mukernas, salah satu panitia pelaksana yang juga anggota Badan Penerbitan Majelis Pusat GPdI, almarhum Pdt. Hadi Prayitno, menerbitkan AD/ART versi Mukernas Malang,” ujar John dalam perbincangan di Kantor Pusat MP GPdI, Sentra GPdI, Sunter, Jakarta Utara, Sabtu (26/4/2025).
Menurut John, dalam tradisi GPdI, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) hanya bisa diterbitkan melalui keputusan Mubes atau Mubeslub, bukan dari Mukernas. “Memang penerbitan itu menyalahi aturan, tapi waktu itu kami anggap masalah internal saja. Almarhum Pdt. Hadi ini memang orang yang kreatif. Bahkan, tanda tangan saya dan Sekum discan untuk penerbitan tersebut. Kami tidak mempermasalahkan karena itu sifatnya untuk internal,” ungkapnya.
Namun, lanjut John, masalah menjadi serius ketika ditemukan bahwa tanda tangan Dirjen Bimas Kristen saat itu, Prof. Thomas Pentury, turut tercantum dalam dokumen tersebut. “Ini yang menjadi persoalan besar, apakah tanda tangan itu dipalsukan atau tidak,” jelasnya.
Akibat temuan tersebut, terjadi gejolak di internal GPdI. Semua AD/ART versi Mukernas Malang yang sudah sempat tersebar ke sejumlah Majelis Daerah (MD) di Indonesia akhirnya ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. “Karena dokumen itu tidak memiliki legal standing, kami tarik semuanya,” tegas Pdt. John.
Tidak berhenti di situ, masalah tanda tangan Dirjen Bimas Kristen berlanjut ke ranah hukum. Seorang warga GPdI melaporkan dugaan pemalsuan tanda tangan itu ke Bareskrim Mabes Polri, sementara Prof. Thomas Pentury sendiri melaporkannya ke Polda Metro Jaya.
“Untuk menyelesaikan masalah, saya mengutus Pdt. John Lumenta (sekarang almarhum) dan Pdt. Hadi Prayitno (sekarang almarhum) untuk menemui Dirjen dan meminta maaf secara langsung. Puji Tuhan, Dirjen menerima permohonan maaf tersebut dan akhirnya mencabut laporan di Polda Metro,” tutur John menambahkan di sisi lain, laporan yang masuk ke Bareskrim tetap diproses.
Karena Tak Ditemukan Unsur Komersil AD/ART Versi Mukernas 2019, Polisi Terbitkan SP3
Pdt. John mengungkapkan bahwa pihak Bareskrim Mabes Polri telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) kasus AD/ART versi Mukernas 2019, karena tidak ditemukan adanya pelanggaran hukum dalam kasus tersebut.
Dalam keterangannya, Pdt. John menjelaskan bahwa saat proses pemanggilan oleh penyidik Bareskrim berlangsung, dirinya tengah dalam kondisi baru selesai menjalani operasi jantung. Karena itu, ia mengutus Sekretaris Umum MP GPdI, Pdt. Dr. Elim Simamora, M.Th, untuk mewakili dirinya dalam memberikan keterangan kepada penyidik. “Beliau (Sekum) inilah yang berulang kali memenuhi panggilan penyidik Mabes Polri selama proses hukum berlangsung,” terang John.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan penyelidikan, Bareskrim Mabes Polri akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan SP3. “Karena tidak ditemukan adanya unsur komersil atau diperjualbelikan buku AD/ART Versi Mukernas 2019 oleh MP GPdI. Bahkan setelah pihak penyidik dari Bareskrim Polri melakukan penyelidikan secara teliti dengan mendatangi daerah-daerah tertentu dan menemui pimpinan MD setempat, seperti; MD Bali dan MD Lombok, akhirnya Polisi menerbitkan SP3 untuk kasus AD/ART versi Mukernas tahun 2019,” tegas John.
Dana Rp46 Juta Bisa Dipertanggungjawabkan, Bukan Penggelapan
Menanggapi tuduhan penggelapan dana, Pdt. Johnny menegaskan bahwa dana senilai Rp46 juta yang dipersoalkan telah digunakan untuk keperluan transportasi Sekretaris Umum (Sekum) MP GPdI, Pdt. Dr. Elim Simamora,M.Th dalam memenuhi panggilan penyidik Mabes Polri.
Dalam keterangannya, Pdt. John menegaskan bahwa seluruh penggunaan dana tersebut telah diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti yang jelas. “Saya sudah memberikan keterangan kepada penyidik Polda Metro Jaya, dan BAP saya mengacu pada laporan keuangan MP Sinode GPdI, khususnya yang tercatat pada halaman 46,” ujar Pdt. John.
Ia pun merinci, dalam laporan tersebut terdapat beberapa poin, yakni:
Nomor 6: kebutuhan Bareskrim Mabes Polri via Sekum sebesar Rp10 juta.
Nomor 11: kebutuhan Bareskrim Polri via Sekum Rp6,8 juta.
Nomor 20: keperluan Bareskrim via Pdt. Yopie Mawikere sebesar Rp10 juta.
Nomor 22: keperluan Bareskrim via Ketum sebesar Rp20 juta.
“Narasi dalam laporan itulah yang dipersoalkan oleh pelapor,” tegasnya.
John mengakui bahwa setelah mendapat masukan dari seorang hamba Tuhan, dirinya menyadari bahwa redaksi narasi tersebut bisa menimbulkan salah tafsir, seolah-olah dana itu digunakan untuk menyogok aparat. “Padahal faktanya, dana tersebut dipergunakan untuk menunjang operasional Sekum MP GPdI, Pdt. Elim Simamora, dalam rangka memenuhi panggilan penyidik di Mabes Polri. Karena saat itu saya masih dalam masa pemulihan pasca operasi jantung,” jelas John.
Atas dasar masukan tersebut, pada 17 Agustus 2023, John memerintahkan revisi laporan keuangan tanpa mengubah nilai nominal, melainkan hanya memperbaiki kalimatnya. “Yang semula tertulis ‘keperluan Bareskrim’ diubah menjadi ‘biaya penyelesaian AD/ART versi Mukernas’ dengan jumlah tetap Rp46 juta,” ungkapnya.
Dana tersebut, lanjut John, digunakan untuk keperluan seperti pembelian tiket pesawat Medan-Jakarta untuk Sekum, biaya transportasi darat dari bandara ke Mabes Polri, serta kebutuhan lain yang berkaitan dengan tugas organisasi. “Semua penggunaan dana sudah dilaporkan secara tertulis oleh Sekum, dan sudah saya jelaskan dalam BAP pada 21 April 2025,” tandas John.
AD/ART GPdI Atur, Persoalan Internal Tidak Boleh Dibawa ke Ranah Hukum
John Weol mengakui bahwa dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) GPdI, khususnya pada Pasal 31, telah diatur bahwa segala persoalan internal organisasi gereja tidak boleh dibawa ke ranah hukum.
“Kalau ada masalah internal gereja, itu tidak boleh dibawa ke pengadilan atau ke polisi. Kecuali kalau sudah menyangkut hal-hal kriminal seperti narkoba, pembunuhan, pemerkosaan, atau pencurian,” ujar Pdt. John.
Menanggapi pertanyaan soal laporan MP terhadap Majelis Daerah (MD) Lampung ke Polda terkait tuduhan penggelapan setoran wajib, Pdt. John menjelaskan bahwa hal itu berbeda konteks. Menurutnya, berdasarkan AD/ART GPdI, setiap Majelis Daerah berkewajiban menyetor 20% dari seluruh pendapatan ke Majelis Pusat.
“Yang terjadi di MD Lampung, kewajiban setoran mereka dalam satu periode seharusnya di atas 700 juta, tetapi yang disetorkan hanya sekitar 80 juta. Padahal itu sudah berulang kali diingatkan secara internal,” jelasnya.
Pdt. John mengungkapkan, Majelis Pusat sempat menurunkan tim audit yang didampingi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) internal GPdI ke Lampung. Namun, saat tim datang, kantor MD Lampung justru tidak beroperasi dan para pengurusnya pergi ke Yogyakarta. “Karena pendekatan secara internal tidak direspon, akhirnya masalah ini dilaporkan ke Polda Lampung. Dan kasusnya sekarang sudah selesai,” tegas John.
Ia menambahkan, setoran 20% dari pendapatan MD ke MP bukan hanya sebuah kewajiban administratif, melainkan sudah merupakan bagian dari kesepakatan bersama yang diatur dalam AD/ART GPdI. “Sebagai contoh, di DKI Jakarta, para pendeta gembala menyerahkan perpuluhannya ke MD, lalu dari pendapatan itu, MD menyetor 20% kepada MP. Itu sudah berjalan dengan baik,”jelasnya.
Laporan Keuangan MP GPdI Telah Diaudit Tim Independen
Sebagai bentuk komitmen terhadap akuntabilitas, John Weol mengungkapkan bahwa laporan keuangan MP GPdI telah diperiksa oleh kantor akuntan publik pada tahun lalu. “Kalau ada pihak yang masih mencurigai laporan keuangan MP, saya tegaskan bahwa laporan keuangan tersebut sudah diaudit oleh tim akuntan independen. Audit itu dilakukan oleh kantor akuntan publik, bukan oleh internal MP saja,” ungkap John.
John menambahkan, hasil audit dari tim independen tersebut sudah disampaikan dan diterima secara resmi dalam forum Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) GPdI. “Artinya, secara formal laporan itu sudah diterima oleh seluruh peserta Mukernas. Ini membuktikan bahwa pengelolaan keuangan MP dilakukan dengan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa walaupun MP memiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) internal, namun untuk menjaga obyektivitas dan menghindari kecurigaan, audit eksternal tetap dipilih. “Kalau hanya diaudit BPK internal, nanti dibilang subyektif. Karena itu, kami sengaja minta audit dari pihak luar yang independen,” kata John.
MP GPdI Siap Komunikasikan Kasus Dengan Pihak Pelapor
Setelah memberikan keterangan resmi di hadapan penyidik Polda Metro Jaya, Pdt. John Weol, menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan laporan dugaan penggelapan dana secara internal sesuai dengan aturan organisasi.
John menegaskan bahwa MP GPdI tetap berpegang pada prinsip penyelesaian persoalan internal tanpa membawa masalah ke ranah hukum, kecuali jika ditemukan unsur pidana berat. “Di dalam aturan organisasi, masalah internal akan tetap kami selesaikan secara internal dan tidak dibawa ke ranah hukum. Kalau misalnya dari hasil penyelidikan polisi tidak ditemukan unsur penggelapan, dan uang sebesar Rp46 juta itu dapat dipertanggungjawabkan, kami tetap akan komunikasikan dengan pihak pelapor,” ujar John.
Baca Juga Berita Sebelumnya: Diduga Lakukan Penggelapan Dana, Ketum & Bendum Sinode Aliran Pentakosta Dilaporkan Ke Polda Metro Jaya
Ia menegaskan bahwa dana yang dipersoalkan tersebut digunakan untuk keperluan transportasi Sekretaris Umum (Sekum) MP GPdI, dalam rangka memenuhi panggilan dari Mabes Polri terkait penyelesaian masalah AD/ART.
“Bahkan Sekum sudah mengakui bahwa uang itu memang diterima dan dipergunakan berkali-kali untuk memenuhi panggilan Mabes Polri waktu itu,” tambah John.
Lebih lanjut, John menyatakan bahwa kelanjutan proses penyelesaian masalah ini sepenuhnya akan dilakukan melalui jalur internal organisasi. “MP GPdI akan melakukan komunikasi dengan pihak pelapor untuk menyelesaikannya” tegasnya.
Hubungan Baik dengan Mantan Bendum Pdt. Brando Lumatauw
John menegaskan bahwa hubungan dirinya dengan mantan Bendahara Umum (Bendum) MP GPdI, Pdt. Brando Lumatauw, tetap baik meskipun sebelumnya sempat terjadi dinamika internal di tubuh organisasi.
“Hubungan kami baik-baik saja. Saya mau ceritakan, sebelum beliau mengundurkan diri, yang disaksikan banyak orang, saat Mukernas di Palembang 2023 beliau masih menjabat sebagai Bendum MP GPdI,” ujar John.
John mengisahkan, dalam Mukernas Palembang tersebut, salah satu agenda penting adalah laporan keuangan. Namun, pada saat itu laporan yang disampaikan belum lengkap, sehingga sempat menimbulkan kegaduhan. Persoalan ini kemudian melebar, termasuk dikaitkan dengan narasi dalam laporan keuangan yang mencantumkan penggunaan dana untuk “keperluan Bareskrim”.
“Yang dikorek waktu itu adalah narasi laporan soal kebutuhan Bareskrim. Sehingga muncul tuduhan dari pelapor seolah-olah MP menyogok Bareskrim Mabes Polri dengan uang Rp46 juta. Padahal uang itu sepenuhnya untuk keperluan transportasi Sekum yang bolak-balik memenuhi panggilan penyidik menggantikan saya yang saat itu habis operasi jantung,” jelas John.
Pdt. Brando Mengundurkan Diri Secara Sukarela
Setelah Mukernas usai, dinamika internal di tubuh MP GPdI semakin kuat, mendorong perlunya klarifikasi dan revisi terhadap narasi dalam laporan keuangan tanpa mengubah nominalnya.
“Namun entah karena tekanan internal yang cukup besar, akhirnya Pak Brando mengundurkan diri secara sukarela, bukan diberhentikan, pada tahun 2023,” ungkap John, menambahkan bahwa saat ini posisi Bendum MP GPdI dipegang oleh Pdt. Hendrik Runtukahu dari Surabaya.
John juga menegaskan bahwa seluruh transaksi keuangan MP GPdI dikelola secara transparan melalui satu rekening resmi atas nama MP GPdI di Bank BNI.
Jabatan Adalah Sebuah Pelayanan
Lebih jauh, John menekankan bahwa jabatan dalam organisasi GPdI merupakan bentuk pelayanan, bukan untuk mengejar kepentingan pribadi. “Di lingkungan GPdI, entah itu pendeta gembala, penginjil, guru, atau jabatan organisasi, semuanya tidak digaji. Ini murni pengabdian. Seperti yang dikatakan Abraham Maslow, jabatan itu hanya soal kebutuhan prestise,” katanya.
John juga menyatakan bahwa siapa saja yang memenuhi syarat berdasarkan AD/ART GPdI, berhak mencalonkan diri dalam Mubes 2027 mendatang. “Harapan saya, seluruh warga GPdI tidak perlu menggoncang organisasi hanya demi kepentingan Mubes. Identitas gereja Pentakosta adalah gereja yang mengandalkan Firman Tuhan dan Roh Kudus. Bagi saya pribadi, balas dendam yang paling bijaksana adalah tidak menjadi jahat seperti orang yang menyakiti kita,” pungkasnya. SM