PERADILAN HAM AD HOC NASIONAL DAN INTERNASIONAL UNTUK KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI MASA LALU

Nasional4040 Views
Prof. Dr. Marthen Napang. foto istimewa

Jakarta,-Victoriousnews.com– Kejahatan kemanusiaan di masa lalu sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat diajukan dalam peradilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc Nasional dan Internasional. Kejahatan Kemanusiaan yang terjadi dalam serangan bersenjata atau agresi pasukan militer Belanda di berbagai wilayah NKRI dapat diajukan dalam peradilan HAM Ad Hoc Belanda atau Indonesia atau Internasional. Demikian dua catatan penting poin ke-18 dan ke-19 Prof. Dr. Marthen Napang., SH., MH., M.Si dalam Peluncuran Buku berjudul ‘Indonesia Tidak Pernah Dijajah” di Ruang Abdul Muis (Gedung Nusantara DPR-RI) di Jalan Gatot Subroto (Senayan, Jakarta) pada Sabtu, 23 Desember 2017.

Lebih jauh, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hassanudin (Makassar, Sulawesi Selatan) ini memberikan hipotesis sebagai berikut; pertama, Kejahatan kemanusiaan merupakan salah satu jenis kejahatan yang tertua sama tuanya dengan sejarah kehidupan umat manusia. Kedua, Kejahatan kemanusiaan semakin membahayakan keselamatan dan keberadaan umat manusia dengan segala peradabannya. Ketiga, Setiap negara memiliki kewajiban internasional untuk menuntut dan mengadili setiap kejahatan kemanusiaan. Keempat, Setiap negara memiliki kewajiban internasional untuk menuntut, mengadili, dan mengekdtradisi pelaku kejahatan kemanusiaan dimanapun kejahatan itu dilakukan. Kelima, Penagakan hukum dilakukan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan pada Pengadilan Nasional dan Internasional yang khusus dibentuk untuk itu.

Keenam, Pengadilan Nasional setiap negara wajib dan mengadili setiap pelaku kejahatan kemanusiaan secara mandiri dan tidak bertujuan untuk melindungi pelaku kejahatan yang seharusnyanya bertanggungjawab. Ketujuh, Pengadilan Pidana Internasional (ICC: International Criminal Court) memiliki yurisdiksi komplementeri (pelengkap) terhadap yurisdik pengadilan nasional. Kedelapan, Manakala Pengadilan Nasional tidak mampu dan sungguh-sungguh menuntut dan mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan, maka Pengadilan Pidana Internasional wajib menuntut dan mengadili pelaku kejahatan tersebut. Kesembilan, Pengadilan Pidana Internasional wajib melakukan yurisdiksinya untuk menuntut dan mengadili kembali pelaku kejahatan kemanusiaan, meskipun telah ada putusan Pengadilan Nasional yang berkekuatan hukum tetap (inkraht) manakala terbukti pengadilan nasional tersebut tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya secara mandiri dan ditujukan hanya untuk melindungi pelaku kejahatan kemanusiaan dari pertanggungjawabannya.

Kesepuluh, Setiap orang tanpa kecuali harus bertanggungjawab secara individual atas kejahatan kemanusiaan. Kesebelas, Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan dilakukan tanpa mengenal batas waktu (kadaluwarsa). Keduabelas, Kejahatan kemanusiaan tetap dapat diadlili secara in absensia. Ketigabelas, Kejahatan kemanusiaan dapat diadili meskipun pelakunya tiada secara hukum. Keempatbelas, Penegakan hukum terhadap kejahatan kemanusiaan yang telah lengkap rumusan delik dan unsur-unsur kejahatannya akan menunjang pelaksanaan penegakan hukum secara efektif.

Kelimabelas, Untuk mendukung penegakan hukum yang efektif, maka kejahatan agresi sebagai salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang terjadi perlu segera dirumuskan definisinya beserta unsur-unsur kejahatannya. Keenambelas, Perumusan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain; putusan-putusan pengadilan internasional maupun pengadilan nasional sebelumnya (yurisprudensi), konvensi-konvensi internasional, diktrin hukum terkait dan pendapat-pendapat para ahli. Ketujuhbelas, Pelanggaran terhadap kewajiban internasional tersebut di atas dapat menimbulkan pengalihan tanggungjawab pelaku terhadap negara pelaku kejahatan.

Dalam Pasal 6 Piagam Mahkamah diatur yurisdiksi Mahkamah yang meliputi Crimes against peace (kejahatan terhadap perdamaian), war crimes (kejahatan perang), dan crimes against humanity (Kejahatan terhadap kemanusiaan). Mahkamah Nuremberg telah mengumumkan 12 orang terdakwa dengan hukuman mati, tiga (3) orang dengan hukuman pernjara seumur hidup, empat (4) orang dengan hukuman penjara yang bervariasi lamanya, dan membebaskan tiga (3) orang yang dinyatakan tidak bersalah. Selain itu juga menyatakan enam (6) organisasi sebagai organisasi yang melakukan tindak kriminal dan membebaskan dua (2) organisasi lainnya. Di antara para pejabat pemerintahan dan organisasi (Nazi) Jerman yang telah diadili adalah Goering, Von Ribbentrop, Keitel (Menteri Pertahanan), Rosenberg, Saukel (Menteri Perumahan), Jenderal Jodi (Ketua Gabungan Kepala Staf Jerman).

Tribunal Tokyo dibentuk berdasarkan deklarasi Jenderal Mac Arthur selaku Panglima Tertinggi Tentara Sekutu yang menyatakan pembentukan Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (International Military Tribunal for the Far East) pada tanggal 19 Januari 1946, untuk mengadili pelaku kejahatan perang di Timur Jauh. Mahkamah Tokyo telah menghukum tujuh (7) orang terdakwa dengan hukuman mati, 16 orang dengan hukuman penjara seumur hidup, dan dua (2) orang dengan hukuman penjara yang lamanya bervariasi. Salah satu pejabat negara yang telah dijatuhi hukuman adalah Jenderal Tojo (Perdana Menteri).

Di samping pengadilan militer di Nuremberg dan Tokyo pasca Perang Dunia II, langkah penuntutan yang bersifat Nasional atas dasar Control Council Law No 10, juga terjadi di Republik Federal Jerman, Kanada, Perancis dan Israel, Australia dan Inggris. Pengadilan internasional ad hoc untuk mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan dalam situasi perang atau konflik bersenjata, beserta komisi penuntutnya, yaitu; the International Criminal Tribunal for the Farmer Yugoslavia (ICTY) di Den Haag dan the Commision of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution 780 yang menginvestigasi pelanggaran hukum humaniter di bekas negara Yugoslavia. Kedua, the Internatinal Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) di Arusha dan the Independent Commision of Expert Established in Accordance with Security Council Resolution 835, The Rwanda Commission yang menginvestigasi pelanggaran yang dilakukan selama perang saudara (Civil War) di Rwanda.

Selain Marthen Napang, dua pembahas lain yang tampil adalah Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhi Purdjatno dan Brigjen TNI (Purn) Dr Saafroedin Bahar. Drs Bambang Sulistomo (moderator) dan Jenderal TNI (Purn) Widjojo Soejono (sambutan). Dr Fadli Zoon SS MSc (Plt Ketua DPR-RI) sebagai keynote speaker menyatakan, melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2006 pada tanggal 18 Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 19 Desember terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yaitu pada 19 Desember 1948 sebagai Hari Bela Negara. Sjafruddin Prawiranegara merupakan pelaku sejarah dari PDRI, kala itu, ia mendeklarasikan berdirinya PDRI.

“Dasar dibentuknya PDRI karena Ibu Kota Yogyakarta diduduki Belanda. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri juga ditangkap Belanda. Sjafruddin Prawiranegara yang juga sebagai Menteri Kemakmuran diberi mandat untuk membentuk pemerintah Republik Darurat di Bukittinggi Sumatera Barat,” katanya.

Peluncuran buku karya Batara R Hutagalung sekaligus Seminar Nasional dalam rangka peringatan Hari Bela Negara tersebut juga dihadiri sejumlah tokoh termasuk Drs Effendi Muara Sakti Simbolon MIPol (Anggota DPR-RI periode 2009-2014) dari daerah pemilihan DKI Jakarta III sekaligus mantan calon gubernur Sumatera Utara. Margianto-P1