JAKARTA,VICTORIOUSNEWS.COM,- Saat ini bencana dalam keluarga semakin meningkat. Semakin banyak anak dan keluarga terpapar dengan kejadian hidup yang menimbulkan trauma. Data statistik menunjukkan angka kejadian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) makin meningkat, angka perceraian juga makin meningkat. Kejadian KDRT terhadap perempuan yang tercatat pada tahun 2017 adalah 335.062 kasus (96,16%). Kejadian kekerasan terhadap anak dalam keluarga/pengasuhan alternative berdasarkan laporan kepada Komisi Perlindungan Anak (KPAI) selama 7 tahun terakhir adalah 18,57 % dari seluruh jumlah kekerasan pada anak adalah 26.964 kasus. Kondisi ini menunjukkan sebagian keluarga di antara kita kurang memiliki ketrampilan untuk mengatasi persoalan yang timbul diantara mereka sehingga berakhir dengan tindakan kekerasan secara fisik, emosional, verbal, serta seksual yang menyebabkan lingkungan rumah tidak lagi menjadi lingkungan yang aman bagi anak dan keluarga. Hal itulah yang mengemuka dalam acara Seminar Puncak Bulan Keluarga GBI 2018 di Graha Bethel, pada hari Selasa, 26 Juni yang lalu.
Acara yang diselenggarakan oleh Bidang Pembinaan Keluarga BPH GBI pimpinan Pdt. Dr. dr. Dwidjo Saputro, SpKj—membawahi Pokja Keluarga Unggul BPH GBI ini mengusung tema “Peran Gereja Dalam Perlindungan Keluarga Dan Anak Terhadap Kekerasan” serta menghadirkan Pembicara Dr. (cand) Siti Hikmawatty., SST., M.Pd, mewakili Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Siti Hikmawatty dalam pemaparan materi mengangkat tema “Kekerasan dan Undang-Undang Perlindungan Anak”. “Kita mesti waspada terhadap anak-anak maupun remaja yang kerap menggunakan media sosial, misalnya facebook untuk membuat status yang galau. Sebab saat ini, banyak sekali pedofil yang mengincar korbannya ketika seorang anak/remaja yang menulis status ‘Lonely/kesepian’, Aku kesepian atau sendirian,” ungkap Siti mengawali materinya.
Menurut Siti, ada beberapa faktor pemicu terjadinya “Pohon kekerasan”, misalnya: akibat dari minum-minuman keras (miras), narkoba dan pornografi. “Apalagi hal itu ada faktor pendukungnya, seperti pernikahan dini anak-anak, konfilk/disharmoni dalam keluarga dan kesalahan pengasuhan. Salah satu akar penyebabnya adalah kemiskinan. Nah dampak kekerasan terhadap anak akan berakibat secara fisik & psikologis anak,” tukas Siti.
Lanjut Siti, jika dampak dari disharmoni dalam keluarga itu bisa secara fisik maupun psikis terhadap anak-anak. Lalu apa yang harus kita lakukan? Yang harus kita lakukan adalah melakukan pendekatan dengan kasih. “Jika satu-satunya alat yang anda miliki adalah palu, ketika maka semua masalah yang anda lihat adalah paku. Tetapi kita harus menggunakan kasih untuk menyelesaikan masalah,” urai Siti.
Siti merasa prihatin ketika melihat hasil survey bahwa partisipasi seorang Pria (Ayah) lebih rendah dalam hal perlindungan terhadap anak. “Menurut survey, dalam perlindungan anak, partisipasi seorang perempuan (Ibu) itu mencapai 68,8 %. Sedangkan Pria (Ayah) hanya 31,2 %,” ungkapnya.
Sementara itu Pdt. Dr. dr. Dwidjo Saputro, SpKj menyampaikan materi seminar berdasarkan iman Kristen. Menurutnya, lingkungan yang tidak aman akan memberikan pengaruh terhadap otak meskipun masih dalam bentuk janin dan sesudah lahir. “Mengapa terjadi KDRT?, karena manusia melawan Tuhan sehingga mengalami kerusakan otak, Kejadian 3:16 b,” papar Dr.dr. Dwidjo mengawali materinya. Lanjut Dwidjo, apa hubungan iman Kristen dengan Otak? “Otak diciptakan Tuhan agar manusia itu bisa mematuhi perintahNya, yakni dengan cara mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Di dalam Alkitab tertulis, Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan kasihilah sesama manusia,” papar Dwidjo.
Menurut Dwidjo, alasan yang mendasari mengapa kekerasan dalam keluarga itu bisa terjadi adalah sesuai yang disebut Alkitab akibat dosa. “Tuhan dalam Alkitab bukan hanya menciptakan Pria dan wanita yang saling mencintai, tetapi Tuhan juga membenci kekerasan. Perceraian adalah salah satu bentuk kekerasan. Jika suami istri adalah pengikut Kristus, maka tujuan akhirnya adalah pertobatan yang disertai dengan rekonsiliasi. Kekerasan hanya bisa diselesaikan dengan pertobatan, mengasihi, mengampuni serta terus intim dengan Tuhan Yesus,” tandas Dwidjo.
Lalu bagaimana peran gereja dalam menghadapi kekerasan? “Pertama, Pemimpin gereja harus melibatkan komunityas mereka dalam pendidikan dan pemecahan masalah. Kedua, Peran gereja adalah memberikan dukungan untuk keluarga yang mengalami masalah. Gereja pun perlu melaporkan pelecehan dan penelantaran kekerasan. Ketiga, Gereja harus memiliki kepedulian yang tulus terhadap keamanan anak-anak. Keempat, Gereja membangun kolaborasi dengan organisasi layanan sosial untuk pencegahan terhadap kekerasan,” jelasnya.
Masih kata Dwidjo, melihat kondisi semacam itulah GBI memberikan perhatian yang khusus bagi kejadian traumatik yang menimbulkan krisis dalam keluarga, anak dan remaja. Oleh karenanya GBI membentuk Tim Satgas MEKAR (Melindungi Keluarga, Anak & Remaja). “Tim MEKAR ini bertujuan untuk membantu keluarga, anak dan remaja untuk melakukan identifikasi masalah dan memberikan alternatif pemecahan masalah pada waktu situasi krisis. Tim MEKAR menyediakan bantuan pertolongan pertama (kedaruratan) setiap keluarga yang membutuhkan bantuan untuk meningkatkan dan memulihkan kembali fungsi keluarga, berusaha memperhankan keutuhan unit keluarga dan menyediakan tautan ke sumber daya komunitas yang tersedia. Pertolongan pertama yang diberikan oleh Tim MEKAR meliputi: Pertama, Memberikan dukungan dan perawatan praktis yang memberikan rasa nyaman. Kedua, Menilai kebutuhan dan derajat kekuatiran. Ketiga, Membantu pemenuhan kebutuhan dasar (rasa aman, penerimaan, pengakuan, edukasi). Keempat, Menghibur untuk menciptakan rasa tenang. Kelima, Membantu agar terhubung ke informasi, layanan dan dukungan psikosiospiritual. Keenam, Melindungi dari bahaya lebih lanjut,” papar Dwidjo.
Pdt. Togi Simanjuntak (Pokja Keluarga GBI) menambahkan, bahwa Bulan Keluarga ini telah dilakukan sejak 3 tahun berturut-turut. “Kondisi keluarga itu sangat penting untuk diberitakan. Tahun lalu, dalam rangka bulan keluarga, GBI memberikan tema kepada seluruh hamba Tuhan yang melayani hari minggu agar mengkotbahkan tentang ‘Keluarga’. Hal ini agar keluarga Kristen semakin kuat dan memperkecil angka persoalan, maupun kekerasan dalam rumah tangga. Nah, berkaitan dengan Tim Mekar karena baru dilantik, kami akan melakukan rapat, kemudian rencananya tanggal 18 s/d 19 September, nanti ada pelatihan Tim Mekar yang terdiri dari Pdp, Pdm dan pendeta sekaligus melakukan rekruitmen ke gereja lokal,”ungkap Togi.
Diakhir acara adalah peluncuran buku panduan pendampingan bencana (krisis) keluarga, anak dan remaja. Disusul dengan pelantikan sekaligus doa yang dipimpin oleh Ketua Umum BPH GBI Pdt. Dr. Japarlin Marbun kepada pengurus Tim Mekar yang telah terbentuk. Margianto