Surabaya,Victoriousnews.com,-Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur, KH. Hamid Syarief, mengungkapkan, bahwa, agenda FKUB yang terutama adalah mengadakan silahturahmi atau sambung kasih sayang antar umat beragama. “Dengan adanya sambung kasih sayang, nantinya kita bisa memperoleh sambung akar, sambung pemikiran atau persamaan persepsi apa yang menjadi persoalan diantara umat beragama; baik agama Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Islam, maupun Konghucu. Sebab kalau pikiran ini sudah disamakan, maka kita bisa melangkah dengan istilah silaturamal atau rasa sambung kegiatan yang mungkin bisa disinergikan dalam hal sosial atau hal yang bermanfaat bagi umat manusia. Sehingga diantara kita tidak ada gap, agama ini, agama itu. Misalnya, umat Kristiani menyumbang sembako bagi umat beragama lain. Nah, ketika silaturamal ini sudah terwujud, maka bisa dilanjutkan dengan silaturspiritual atau sambung spiritual, sambung roh agar hubungan antarumat beragama menjadi lebih dekat. Kalau roh ini ketemu diantara kita, maka sudah tidak ada yang berbeda, walaupun dalam hal teologi tetap berbeda,” ujar KH Hamid Syarief ketika menyampaikan pemaparannya dalam Seminar “Reformasi Gereja & Moderasi Beragama” yang digelar PGIW Jatim bekerjasama dengan FKUB Propinsi Jawa Timur (Senin,1/11/21).
Menurut KH. Hamid, berdasarkan data pusat statistik Provinsi Jawa Timur tahun 2019, secara kuantitatif, jumlah penduduknya hampir 39,8 juta jiwa. “Pemeluk Agama Islam berjumlah 38,5 juta (96 %) dan selebihnya adalah jumlah pemeluk agama lain. Artinya, umat Islam dari sisi jumlah memang banyak atau mayoritas di Jawa Timur. Tetapi mungkin di tempat lain seperti di NTT atau Papua jumlah umat Islam sedikit. Karena itu FKUB Jawa Timur berkomitmen dan tanggungjawab untuk selalu melakukan sinergi dengan agama-agama lain.Bahkan kami akan menjaga dan melindungi kepentingan-kepentingan umat beragama di luar Islam. Sebaliknya, di tempat lain jumlah umat Islam yang sedikit juga dijaga dan dirawat. Makanya alm.Gus Dur melakukan pendekatan humanisme, karena menyadari bahwa jumlah Islam di luar jawa juga sedikit. Ini harus ada keseimbangan. Saya percaya di tempat lain, umat Islam sedikit, juga akan memperlakukan hal yang sama seperti yang dilakukan di Jawa Timur,” tukas KH.Hamid yang dimoderatori oleh Ketua PGIW Jatim, Pdt. Nathael Hermawan.
KH. Hamid berharap, ke depan seluruh tokoh lintas agama yang berada di Jawa Timur dapat melakukan koordinasi hingga ke tingkat Wilayah, Kabupaten, hingga tingkat ranting yang paling bawah. “Artinya kita perlu ada silahturahmi, baik dari Kristiani kepada agama-agama lain. Supaya ada saling pengertian, ketika terjadi persoalan dapat dipecahkan bersama,” ungkap KH Hamid.
Baca Juga : PGIW Jawa Timur Gandeng FKUB Gelar Seminar Reformasi Gereja & Moderasi Beragama
Masih kata KH Hamid, bahwa Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang juga terbuka dengan adanya arus globalisasi dan munculnya ideologi yang bisa merusak hubungan antar umat beragama. Kita harus mewaspadai munculnya ideologi yang tidak sesuai dengan bangsa kita yang terkenal majemuk. “Dengan adanya arus globalisasi, jika ada negara lain yang memiliki ideologi, tidak menutup kemungkinan bisa disampaikan ke negara lain. Ideologi ini bisa agama atau dalam bentuk yang lain. Nah, secara kasat mata, Ideologi itu tidak nampak, karena tersimpan di pikiran seseorang, tapi bisa dilihat dari gejala dan fakta. Nah ketika disebarkan ke negara lain, maka bisa terjadi gesekan. Sebut saja seperti negara Iran, Saudi Arabia, Mesir dan lain sebagainya. Ketika ideologi ini disebar di tengah-tengah masyarakat yang sudah mapan dalam ideologinya, ini akan terjadi benturan dan gesekan. Ini menguntungkan pihak lain, kita dibuat alat. Kita mengenalnya dengan istilah Proxy War. Ada pula ideologi non agama, yaitu ideologi liberal seperti Amerika dan negara-negara Eropa. Ad pula ideologi sekulerisme dan kapitalisme. Nah, kapitalisme ini sudah merajalela di dunia. Siapa yang modalnya banyak itulah yang akan menjadi pemenang. Kalau ini terjadi terus menerus, akan meminggirkan ekonomi yang tidak punya modal, dan bisa menimbulkan gesekan. Bisa jadi bukan karena agama, tetapi bersumber pada aspek ekonomi,” tandas KH Hamid seperti dikutip dari kanal Youtube GKI Dasa.
Lanjut KH Hamid, saat ini juga perlu diwaspadai tentang munculnya klaim kebenaran (truth claim) absolut. Karena banyak aliran agama yang menyatakan ajarannya paling benar, sementara ajaran orang lain salah. “Bahkan mereka melakukan caci maki dan ujaran kebencian kepada agama lain. Kalau truth claim untuk kepentingan agama internal tidak masalah. Tetapi jangan keluar untuk mencaci agama yang dianggap berbeda. Jka itu terjadi ya kita serahkan saja kepada hukum, karena ada UU tentang ujaran kebencian,” urainya.
Sementara itu, Khatib/Sekjen Rois Syuriah PWNU Jatim, KH. Syafrudin Syarief, menyampaikan bahwa pertemuan pada saat ini diberkati Tuhan Yang Maha Esa. “Mengapa? Karena tujuan kita Bersama. Terutama dari FKUB menyampaikan menciptakan peradaban di Indonesia. Ketika sebuah negara yang peradabannya dapat menjadi alternatif di negara-negara lain. Kita harus mencontohkan bahwa ajaran agama itu semuanya adalah untuk kebaikan. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan kejelekan. Semua agama itu mempunyai Tuhan. Dan Tuhan semua agama itu adalah visualisasi yang Maha Esa dan Maha segalanya,” kata KH Syafrudin.
Sedangkan Prof.Biyanto (Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim), menyampaikan pandangannya, dalam hal moderasi beragama, Muhammadiyah fokus kepada Pendidikan. “Dan melalui Pendidikan itulah kami menanamkan nilai-nilai moderasi itu di tengah-tengah warga bangsa yang sangat beragam ini. Di daerah yang Muhamadiyah atau Muslimnya minoritas, di situ kami hadir dengan menawarkan Pendidikan. Misalnya, di NTT ada kampus namanya Universitas Muhamadiyah Kupang (UMK). Nah itu sekitar 70% dosennya Katolik. Sehingga UMK itu sering diplesetkan menjadi Universitas Muhamadiyah Katolik hehe. Karena mayoritas pelajar dan pendidiknya beragama non Muslim,” cetus Prof.Biyanto.
Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, H. Ashanul Haq, mengungkapkan, bahwa dalam kehidupan antarumat beragama ini kita tidak bisa menjalaninya sendiri. Karena kita termasuk makhluk sosial atau makhluk yang membutuhkan bantuan orang lain. “Semenjak kita dilahirkan, kita sudah membutuhkan bantuan orang lain, minimal dari orang tua kita. Sehingga tidak ada yang mampu, begitu dilahirkan kemudian hidup sendiri. Tidak ada seperti itu. Nah di tengah kehidupan masyarakat, tentu kita menghendaki kehidupan yang adem, ayem, tentrem. Itu menjadi keinginan kita bersama,” tandas H. Asanul. SM