Gegara Jual Tanah Yang Dinilai Salah Peruntukan, Para Ketua RT & RW 01 Jelambar Gugat Gereja Ke Pengadilan

Hukum & HAM, News1284 Views

Jakarta,Victoriousnews.com,– Aset berupa sebidang tanah milik Gereja Kristen Jakarta (GKJ) yang terletak di Jalan Hadiah VII Komp Kav.Polri Blok D XIII Kelurahan Jelambar, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, digugat para Ketua RT & RW ke Pengadilan Negeri. Pasalnya, pihak GKJ telah  melakukan praktik jual beli sebidang tanah seluas 300 meter persegi kepada jemaatnya, dengan izin akan membangun rumah tinggal. Warga  yang diwakili para ketua RT (02,03,04,05,06) dan Ketua RW 01 Kelurahan Jelambar, menilai bahwa pihak GKJ telah melakukan tindakan melawan hukum, yaitu: dengan sengaja mengubah fungsi lahan yang semula untuk kepentingan umum, diubah untuk kepentingan pribadi. Sementara pihak GKJ membantah tudingan tersebut, menyatakan proses jual beli tanah adalah sah karena telah memperoleh sertifikat dan Persetujuan Bangun Gedung (PBG) dari Pemerintah daerah DKI Jakarta.

Inilah lokasi tanah milik GKJ  di Jalan Hadiah VII, Blok D XIII Jelambar, Grogol Petamburan Jakarta Barat

Menyoroti kasus tersebut, wartawan bergegas melakukan investigasi ke lapangan dan mengecek lokasi tanah yang berada di jalan Hadiah VII Komp Kav Polri Blok D XIII Jelambar, Grogol Petamburan. Lokasi tanah tersebut berada di dalam kompleks perumahan elite yang banyak dihuni warga kelas menengah ke atas. Di sekelling pagar sebidang tanah tersebut, bertebaran spanduk bertuliskan “Dilarang membangun/merubah apapun di area tanah ini karena masih dalam sengketa di PN Jakata Barat dengan nomor perkara 913/Pdt.G/2023/PN/JKT/BRT. Barang siapa dengan sengaja merusak pengumuman ini diancam dengan pasal 406 KUHP”- Ferry Ericson & Partners (Kuasa Hukum).

Tanah seluas 300 meter persegi yang dibeli salah satu jemaat GKJ yang dianggap menyalahi peruntukan dan digugat warga

Sedangkan di lokasi tanah yang dibeli Timotius Wong seluas 300 meter persegi, juga dibentangkan spanduk warna kuning bertuliskan “Tanah ini milik Timotius W berdasarkan setifikat No 08599 Persetujuan Bangun Gedung dengan SK PBG No.317302-26022024-001, yang tidak berkepentingan dilarang masuk sesuai pasal 551 KUHP (Kuasa Hukum HFC Simbolon & Partners)”.  Sesuai data yang dihimpun, sebidang tanah dengan plang milik GKJ ini luasnya 2000 meter persegi. Kemudian yang dijual pihak GKJ seluas 300 meter persegi dan menjadi perkara di Pengadilan sampai sekarang.

 

Plang izin PBG yang dikeluarkan Pemda DKI

 

Tuntutan Warga Adalah Ganti Rugi & Kembalikan Fungsi Tanah Sesuai Peruntukan Sebagai Fasum

Kuasa Hukum Penggugat, Ferry Ericson ketika dijumpai wartawan

Kuasa hukum penggugat, Ferry Ericson, membeberkan data-data, bahwa penggunaan lahan kosong (obyek jual beli) yang akan dibangun rumah tinggal pribadi tidak sesuai dengan peruntukannya. “Karena lahan tersebut adalah untuk keperluan Sarana Pelayanan Umum (SPU) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta, maka klien kami menggugat ke Pengadilan Negeri,” ujar Ferry kepada wartawan.

Ferry menjelaskan, bahwa tim kuasa hukum penggugat  yang tergabung dalam FEP Lawyers (Ferry Ericson & Partners) sudah gugatan kepada GKJ  ke PN Jakarta Barat. sejak 12 Oktober 2023. “Proses persidangan sudah berlangsung beberapa kali, dan  sekarang ini sudah masuk ke tahap menghadirkan saksi dari para tergugat dalam persidangan  25 Juni 2024 lalu. Sementara dari pihak penggugat tidak menghadirkan saksi,” ungkap Ferry.

Lanjut Ferry, inti dari gugatan kita adalah masalah jual beli tanah itu. “Karena yang kita tahu, pemilik tanah sebelumnya adalah Yayasan Bhara Trikora. Dulunya mereka punya sekolah, lalu mereka hibahkan kepada GKJ. Setelah terjadi hibah, pada tahun 2008, kondisi tanah itu ditelantarkan dan tidak diurus oleh pihak gereja. Nah mulai saat itulah warga setempat yang dipimpin para ketua RT & RW melakukan gotong royong, menjadikan lahan kosong tersebut menjadi rapi dan bagus. Mereka membersihkan ilalang dan rumput liarnya, agar bisa dipakai sarana olahraga. Karena, warga tahunya bahwa lahan kosong tersebut adalah untuk fasilitas umum. Peruntukannya untuk mendirikan sekolah, gereja, dan sebagainya yang berfungsi untuk kepentingan umum,”tandas Ferry.

Ferry sangat menyayangkan kepada pihak GKJ yang telah menjual tanah seluas 300 meter persegi kepada salah satu jemaatnya, bernama Timotius Wong. “Kami ada bukti akta jual belinya. Dan kami juga menggugat notarisnya yang keluarkan akta jual beli. Kasus ini terungkap, ketika pembeli tanah Timotius Wong datang ke RT/RW untuk meminta izin mendirikan bangunan. Tetapi ditolak oleh RT/RW, kenapa? Karena sepengetahuan RT/RW tanah tersebut peruntukkannya untuk fasum bukan untuk rumah tinggal. Kalau itu terjadi,dikuatirkan bisa terjadi perubahan fungsi, yang semula untuk kepentingan umum, menjadi kepentingan pribadi. Sekali lagi, dasar hukumnya jelas, yakni merujuk Pergub No 31 Tentang tata ruang  Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022. Lampiran 7 tentang peta ruang, yang dikategorikan sebagai zona budidaya dan atau sub zona sarana umum skala kota. Dalam Pergub No 31 itu juga diatur tentang kegiatan yang mengubah fungsi utama sub zona. Jadi disini jelas bahwa peruntukkannya tidak boleh mengubah fungsinya. Misalnya yang semula untuk kepentingan umum, tidak diperbolehkan membangun untuk  kepentingan pribadi, termasuk membangun izin rumah tinggal,” tandas Ferrry.

Menurut Ferry, tuntutan warga adalah agar fungsi tanah tersebut dikembalikan lagi sesuai peruntukannya. Karena selama ini warga telah merasakan manfaat tanah tersebut untuk kegiatan sosial dan kepentingan umum. “Kalau memang tanah tersebut sudah dihibahkan untuk yayasan gereja, ya fungsikan lagi untuk kegiatan gereja. Atau pihak gereja membangun sarana pendidikan, ya warga lebih senang. Warga mempersilakan, jika pihak gereja mau membangun sekolah atau gereja. Itu yang ditunggu warga. Bisa bermanfaat untuk warga sekitar, bisa menyekolahkan anaknya disitu. Warga juga bisa beribadah disitu,” ungkap Ferry sembari menambahkan bahwa jual beli tanah seluas 300 meter persegi itu  tidak sah.

Jika terjadi pembatalan jual beli, kata Ferry, pihak warga menyatakan persoalan selesai. Tetapi warga meminta kerugian materiil dan imateriil (tercantum dalam gugatan)  yang sudah timbul selama ini dengan jumlah keseluruhannya sebesar Rp. 2.666.000.000,- (Dua Milyar Enam Ratus Enampuluh Juta Rupiah).  Terlepas dari apapun putusan pengadilan nanti, warga tetap meminta ganti rugi yang selama ini telah dikeluarkan.  Artinya mau menang atau kalah di Pengadilan, pihak gereja harus tetap bayar. “Uang ganti rugi tersebut, untuk kebersihan RT/RW, membayar gaji per bulan. Dan faktanya selama ini,  gereja  hanya membayar iuran bulanan  wajib selama 1 (satu) tahun kepada RT/RW selama menjadi lahan parkir. Padahal seluruh warga yang tinggal disana kan membayar iuran bulanan. Tuntutan ganti ruginya harus diselesaikan. Kasus ini adalah perbuatan melawan hukum (PMH)  yang salah satu syaratnya adalah membayar ganti rugi. Tapi persoalan menyalahi  peruntukan ya tetap harus jalan. Biarkan hakim yang memutuskan. Karena ini adalah hak dari warga. Agar bisa dimanfaatkan lagi sebagai sarana berolahraga, parkir dan sebagainya. Kami juga sudah melayangkan surat kepada Walikota Jakarta Barat, tembusannya ke Sudin Citata, Camat agar menangguhkan izin Persetujuan  Pembangunan Gedung (PBG) atas nama Timotius Wong. Karena masih dalam proses pengadilan sampai putusan nanti inkracht,” pungkas Ferry.

Seharusnya Tuntut Saja  Pemerintah Yang Keluarkan Izin!

Ketua Sinode GKJ, Djana Yusuf, ketika ditemui wartawan di kantornya di kawasan Jelambar

Ketua Sinode Gereja Kristen Jakarta (GKJ), Djana Yusuf, membantah tudingan terkait praktik jual beli tanah yang dinilai warga salah peruntukan. Djana menjelaskan, bahwa pada tahun 2021 di era Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI, telah banyak perubahan status peruntukan tanah, termasuk tanah milik GKJ. “Sebelum GKJ membeli tanah di jalan hadiah VII, pada  tahun 2006 ada peraturan 3 menteri mengenai pendirian tempat  ibadah. Waktu itu isunya bahwa gereja yang tidak punya izin tidak boleh ibadah. Sehingga GKJ mencari tanah. Akhirnya tahun 2008 dapat tanah di Jalan Hadiah Kavling Polri Blok D, Jelambar seharga 5 Milyar dengan luas  2000 meter persegi,” ujar Djana ketika ditemui pada hari Selasa, 18 Juni 2024 di kantornya di kawasan Jelambar.

Namun setelah membeli tanah tersebut, lanjut Djana, gereja mengalami pergumulan. Apalagi dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung gereja  lumayan besar. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya belum  belum  bisa membangun gereja di lahan tersebut sampai sekarang. “Tanah itu semula adalah untuk sarana pendidikan. Karena dulu ada sekolah milik kepolisian, yakni SD Bhara Trikora yang sudah lama tidak aktif. Karena sudah tidak dipakai lama-lama rusak dan roboh bangunannya. Jadi karena lama tidak dibangun, sehingga warga di sekitar itu mengganggap tanah tu fasum. Padahal kalau fasum itu kan tidak boleh dimiliki oleh organisasi atau perorangan,” tandas Djana.

Menurut Djana, alasan mengapa gereja menjual tanah seluas 300 meter persegi tersebut adalah karena gereja membutuhkan dana untuk mengembangkan pelayanan. “Daripada tanah itu nganggur, ya akhirnya  kita jual agar dapat dana untuk kembangkan pelayanan. Tapi kan keputusan untuk menjual itu bukan hanya keputusan sendiri. Ada aturannya. Jadi bukan berarti karena saya pengurus, kemudian jual tanah sendiri ya tidak bisa.  Di dalam AD/ART itu ada ketentuan, yang boleh menjual tanah/aset itu seluruh majelis sinode. Gembala lokal dan pendeta itu kan juga anggota majelis sinode. Setiap 300 orang itu ada wakilnya. Mereka itulah yang bersidang, setuju atau tidak setuju menjual tanah itu. Maka akhirnya keputusan bulat disertai dengan penjelasan, bahwa dana hasil penjualan itu untuk kembangkan pelayanan gereja. Sebenarnya jual tanah itu bukan bicara untung atau rugi, tapi gereja itu butuh uang untuk kembangkan pelayanan misi. Makanya ada aset yang bisa dimanfaatkan ya kenapa tidak?,” kata Djana.

Sebagai Ketua Sinode,  ia menilai ada keanehan bahwa gugatan  RT/RW mengatasnamakan warga menuntut gereja  tidak boleh menjual tanah dengan alasan mereka anggap fasum. “Seharusnya mereka kan bukan pihak yang boleh menuntut hal itu.  RW itu kan Rukun Warga, yang tugasnya merukunkan warga bukan menuntut warga. Ini kan aneh. Dari pihak BPN dan Notaris, bilang mereka tidak punya hak untuk menuntut kita. Yang boleh nuntut kita itu Pemda. Tapi justru Pemda sudah kasih izin untuk membangun rumah tinggal. Itu sudah ada PBGnya sudah boleh bangun.  Maksud saya, seharusnya yang dituntut kan pemberi izin PBG, ya diuji saja ke MK atau MA supaya dibatalkan izinnya. Boleh boleh saja kan. Tapi bukan kita yang dituntut dong,” tukas Djana membenarkan bahwa yang membeli tanah adalah salah satu jemaat gereja.

Menurut Djana  status tanah yang dibeli dari yayasan Bhara Trikora itu sertifikatnya atas nama Gereja Kristen Jakarta. “Status tanah itu dibeli secara resmi oleh GKJ dari yayasan Bhara Trikora. Sertifikatnya atas nama gereja. Karena gereja tidak bisa bangun, dan salah satu penyebabnya tidak punya dana untuk bangun sekolah atau gereja. Sehingga cukup lama tanah itu nganggur. Tapi sekarang, kita pagari keliling dan rapi. Kalau dulu, karena belum dipakai kita kasih warga untuk kegiatan olahraga, senam dan sebagainya,”ungkapnya.

Ini dia GKI Jelambar yang letaknya sekitar 300 meter dari tanah milik GKJ

Ketika ditanya mengapa tidak dibangun gereja atau sekolah? Djana menyampaikan beberapa alasan, bahwa, pertama: gereja belum memiliki dana yang cukup untuk membangun. Kedua, tidak jauh dari lokasi tanah tersebut ada Gereja (GKI Jelambar) yang jaraknya sekitar 300 meter. Ketiga, di sekitar lokasi itu sudah ada sekolah. Keempat, akses masuk kendaraaan roda empat sempit. “Itulah beberapa alasan mengapa gereja tidak membangunnya. Kalaupun diizinkan bangun sekolah, di lingkungan situ sudah ada sekolah, namanya sekolah dharmajaya. Mau bangun gereja, di dekat situ juga ada gereja GKI. Bukannya gak mau bangun gereja, tapi karena sudah ada GKI yang jaraknya sangat dekat. Karena GKI dan GKJ kan hampir mirip. Sebenarnya isunya masyarakat juga  tidak setuju bangun gereja dan sekolah. Daripada kita ribut-ribut dan bertahan dengan kondisi kosong, mendingan kita jual dan mencari tempat lain yang bisa digunakan bangun gereja,” papar Djana menyayangkan ketika menjual tanah untuk pastori jemaat yang membutuhkan rumah tinggal justru dituntut di pengadilan.

Djana juga menceritakan bahwa, pada tahun 2018, lahan kosong milik gereja itu dimanfaatkan untuk lahan parkr. Karena pada saat itu ada himbauan dari pemerintah, bagi warga yang parkir dipinggir jalan mobilnya akan diderek dan disita. Hasil dana yang dikumpulkan dari parkir itulah kemudian dipakai untuk mensubsidi sekolah PAUD yang dibangun di Jembatan besi. “Pada tahun 2018, kita sempat bangun PAUD, tapi karena masih baru, ya tetap  disubsidi gereja. Kemudian tanah itu bisa dimanfaatkan untuk parkir. Kita rapikan dan dipasang konblok.Tempat parkir itu disewakan, jadi masyarakat yang tidak punya parkiran boleh parkir disitu. Karena pada saat itu ada isu, kalau parkir mobil di pinggir jalan bisa diderek/disita oleh petugas.Sehingga lahan itu dimanfaatkan untuk parkir. Kemudian sampai tahun 2020, pandemi covid. Kan yang sewa parkir itu bukan hanya orang lingkungan saja. Mungkin sebagian orang yang berada di luar komplek lain. Kemudian ada warga yang bilang, bahwa di lingkungan itu tidak boleh orang luar masuk dengan alasan  covid, dan bisa menularkan. Sehingga mulai saat itu  ditutup dan tidak boleh parkir,” tukasnya.

Sejauh ini bagaimana respon gereja menghadapi tuntutan warga? “Sebenarnya dari awal mediasi, mereka itu dimarahi oleh hakim, kenapa kalian itu nuntut Tuhan? Tapi karena mereka tetap maju dan lanjutkan tuntutan. Dan kita sebagai yang digugat mau gak mau ya kita maju juga. Saat ini sudah masuk sidang pemanggilan saksi. Dari pihak penggugat tidak ada yang mau jadi saksi. Mereka tidak ada yang berani jadi saksi. Mungkin mereka pikir, ini kan tanah gereja, sudah ada plang GKJ. Bahwa tanah ini milik gereja berdasarkan sertifikat dan ada MBnya. Sedangkan dari pihak gereja, kita menghadirkan  saksi dari Pemda yang keluarkan izin. Bahwa tanah itu resmi dan sudah ada izin,”pungkasnya.

Agar pemberitaan menjadi berimbang, wartawan juga mencoba untuk melakukan konfirmasi ke kantor walikota Jakarta Barat, yakni ke Suku Dinas  Cipta Karya, Tata Ruang & Pertanahan (Sudin Citata) Jalan Kembangan Selatan No.2 lantai 10, Kembangan Jakarta Barat. Setidaknya 3 kali (tanggal 20,21 dan 24 Juni) untuk meminta konfirmasi terkait dikeluarkannya sertifikat dan  izin PBG rumah tinggal yang saat ini digugat warga Jelambar.

Kantor Sudin Citata lantai 10 di Gedung Walikota Jakarta Barat, Kembangan Jakarta Barat

Namun sayangnya, kepala Sudin Citata tidak berada di tempat dan sedang melakukan dinas luar. “Bapak Sudin tidak ada di tempat dan sedang melakukan dinas luar. Mungkin sampai sore sampai jam 15.00,” ujar salah satu staf Sudin Citata yang enggan disebutkan namanya kepada wartawan pada hari Kamis, 20 Juni pukul 10.00 wib. Kemudian keesokan harinya,  pada hari Jumat, 21 Juni wartawan kembali datang ke kantor Sudin Citata, hasilnya pun nihil, kepala Sudin tidak berada di kantor. Tak puas dengan hal itu, wartawan pun kembali datang ke kantor Sudin pada hari Senin, 24 Juni 2024, ternyata tidak bisa bertemu dengan kepala Sudin Citata. “Bapak tidak ada di tempat. Beliau sedang rapat dinas di luar. Entah sampai jam berapa,” tukas salah satu staf bernama Oji sembari mengarahkan agar menanyakan kasus  itu ke kecamatan Grogol Petamburan. Sampai berita ini diturunkan, wartawan pun belum berhasil melakukan konfirmasi ke pihak Sudin Citata Jakarta Barat. SM