Sidang Kasus Dugaan Pemalsuan Putusan MA, JPU Beberkan Bukti Email Yang Telah Uji Forensik Di Depan Saksi Ahli IT

Hukum & HAM, News177 Views

JAKARTA,Victoriousnews.com,-Sidang lanjutan perkara  dugaan pemalsuan putusan Mahkamah Agung, penipuan, dan penggelapan terdakwa Prof Marthen Napang kembali digelar di PN Jakarta Pusat, Selasa (26/11/24) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan pihak terdakwa. Tiga saksi yang dihadirkan adalah ahli pidana, ahli IT dan saksi dari internal Unhas Makassar.

Kuasa hukum terdakwa menyampaikan  pertanyaan kepada saksi ahli pidana dengan   mempersoalkan  tentang sah atau tidaknya seseorang yang diminta bantuan hukum tanpa diberikan surat kuasa.

Hal yang paling menarik disimak adalah kuasa hukum terdakwa mencecar saksi ahli IT, Adi Wahyudi dengan pertanyaan seputar  email Marthen Napang yang diduga dipalsukan seseorang.

Saksi Ahli IT pin tampak lancar menjawab ketik ditanya soal mengenai status email  Marthen Napang hingga  soal data yang diperiksa oleh pihak forensik Polda Metro Jaya melalui flash disk. “Saudara saksi, jika email yang dipakai memakai double ‘p’. Misalnya yang asli marthennapang, kemudian ada yang gunakan marthennappang, apakah hal itu bisa direkayasa oleh seseorang?,  tanya kuasa hukum terdakwa kepada Ahli IT., Adi Wahyudi. Spontan Adi, menjawab “ ya kemungkinan itu bisa direkayasa,” ujarnya.

Namun sayangnya, berbagai cara kuasa hukum menggali informasi dari saksi Ahli IT, ternyata dimentahkan oleh pertanyaan JPU Suwarti.  “Saudara saksi, apakah Ahli pernah melakukan pemeriksaan forensik. Ahli IT Adi Wahyudi tampak gugup menjawab, “Tidak pernah”.

Saat itu kemudian JPU menjelaskan bahwa soal pemeriksaan digital forensik sudah dijelaskan oleh ahli forensik yang memeriksa mengenai email yang dipakai terdakwa dan hal itu sudah tidak ada persoalan.  “Begitu pula mengenai  penulisan alamat e-mail Marthen yang ditanyakan kuasa hukum huruf ‘p’ nya double, Hal sudah diklarifikasi kepada penyidik bahwa itu human error. Tapi kalau di  e-mail yang digunakan sama atau identik,” ujar JPU.

JPU Suwarti kemudian mengklarifikasi mengenai dugaan rekayasa atau pemalsuan email seperti pertanyaan kuasa hukum terdakwa. “Saudara saksi, saya tertarik, dengan ada dugaan rekayasa mengenai email. Disini saya tunjukkan bukti bahwa email ini yang sudah diperiksa secara forensik, dan itu identik yang digunakan terdakwa, “ tegas JPU sembari menunjukkan bukti.

Saksi ketiga, Baharudin yang juga dosen di Unhas Makassar ditanya seputar absensi Prof Marthen Napang selama beraktivitas di kampus. Bahkan Baharudin pun lugas menjawab, bahwa dirinya sangat mengenal terdakwa.

Padahal sesuai BAP, Baharudin hanya diperiksa mengenai status kepemilikan email, bukan soal absensi Marthen sebagai pengajar di Unhas. Makanya JPU langsung mempertanyakan mengenai keterangan saksi Baharudin.  “Saudara saksi ketika di BAP soal e-mail, kok sekarang menjelaskan soal absensi?” tanya JPU sambil menunjukkan BAP.  Spontan saksi pun terbata-bata tidak bisa menjawab.

Kemudian JPU menanyakan saksi Baharudin, tahun berapa kasus terdakwa Marthen Napang ini terjadi? Jawab saksi “Tahun 2016”.

Padahal sesuai keterangan, saksi menjelaskan bahwa dirinya  aktif mengurus absensi dosen pada periode 2019-2020, kemudian karena pandemi sempat jeda dan lanjut lagi pada 2023. Sementara absensi atas nama Marthen Napang yang dipersoalkan pada Juni 2017. Ironisnya, keterangan  saksi menjadi tidak sinkron dengan perkara yang disidangkan.

Seperti diketahui, bahwa kasus dugaan pemalsuan putusan MA, penipuan dan penggelapan ini  telah dilaporkan sejak tahun 2017, oleh pelapor Dr. John N Palinggi, MM, MBA yang juga Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (AMI) dan mediator non-hakim di seluruh PN DKI Jakarta, Bekasi, Depok, Surabaya, Balikpapan, dan beberapa PN di Indonesia. Namun kasus tersebut baru diproses awal tahun 2024 dan disidangkan di PN Jakpus sejak Mei sampai sekarang.

Selama persidangan di PN Jakarta Pusat, sering dikeluhkan oleh para pengacara maupun peserta sidang karena tidak tepat waktu. Bahkan panggilan sidang yang dilayangkan sering tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. “Selama saya ikuti sidang, belum pernah tepat waktu. Kadang panggilan sidang pukul 10.00, bisa dimulai pukul 14.00 atau 14.30. Bahkan bisa sampai sore hari. Apalagi sidang tanggal 26 November yang lalu, terjadwal pukul 13.30, tapi mulai pukul 19.00 malam. Akhirnya bersidang sampai tengah malam. Mohon kepada pimpinan PN, segera ditertibkan waktunya agar tidak merugikan peserta sidang,” ujar salah satu pengacara yang tidak mau disebutkan namanya. SM