Penerapan Sanksi Kepada Pelanggar Pelayanan Kesehatan, Lebih Berpihak Pada Yang Kuat

banner 468x60

JAKARTA, Victoriousnews com-Penegakan hukum terkait hak pasien BPJS Kesehatan, terutama yang berasal dari kalangan tidak mampu masih menghadapi banyak tantangan. Diskriminasi, ketidaktransparanan, dan pelanggaran terhadap standar medis masih sering terjadi di fasilitas kesehatan.

Beberapa hal yang perlu diperbaiki, sehingga penegakan hukum lebih efektif, yaitu; a) Penguatan pengawasan oleh pemerintah terhadap fasilitas kesehatan. b) Penegakan sanksi yang lebih tegas dan tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga pidana dengan ancaman hukuman minimal dan/atau denda paling sedikit bagi pihak yang terbukti melanggar hak-hak pasien. c) Penyederhanaan prosedur pelayanan kesehatan dan pengaduan agar pasien bisa lebih mudah melaporkan pelanggaran yang mereka alami. d) Edukasi kepada pasien agar mereka mengetahui hak-hak dan cara-cara untuk memperjuangkan hak-haknya. e) Membuat peraturan yang mewajibkan rumah sakit/fasilitas kesehatan untuk menerima pasien BPJS Kesehatan.

Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan harus mengkaji, merujuk, dan mengevaluasi kembali terkait pengaturan dan pelaksanaan program BPJS Kesehatan tanpa meninggalkan norma-norma dasar dan aturan hukum yang sudah ada, baik nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila tanggal 1 Juni 1945, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Kesehatan dan peraturan terkait lainnya.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bertujuan untuk meningkatkan gizi dan kesehatan anak, mendorong perekonomian lokal, mengurangi beban ekonomi keluarga serta mendukung anak agar bisa berprestasi dalam akademik dan lebih difokuskan pada warga yang kurang mampu, sehingga harus direncanakan dengan matang, tepat sasaran, efisien, transparan, dilakukan pengawasan serta dilakukan evaluasi secara berkala agar tidak menjadi beban berat APBN, rakyat tidak tergantung, kualitas dan keamanan pangan tetap terjaga baik asupan gizinya, sistem distribusi baik dan merata serta menghindari korupsi dan penyalahgunaan anggaran.

Hal tersebut direkomendasikan Yayasan Kedaulatan Kesehatan Rakyat pimpinan dr Ribka Tjiptaning di hadapan awak media dalam Konferensi Pers pada Rabu, 5 Januari 2025 di kawasan Cikini (Jakarta Pusat).

Sebelum terpilih sebagai presiden, kala itu calon presiden, Prabowo Subianto mengkampanyekan makan bergizi gratis. Sekedar mengingatkan, bahwa PDI Perjuangan sudah memulai program ini sejak tahun 2011. Saat itu, Presiden ke-5, Prof Dr Megawati Soekarnoputri merayakan ulang tahunnya yang ke-64 dengan mengundang seribu ibu hamil untuk makan siang bersama di Kampung Cinangneng, Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (Jawa Barat) pada Kamis, 27 Januari 2011.

Program makan bergizi gratis harus tepat sasaran. Apabila tujuannya untuk menurunkan stunting di Indonesia, sasarannya harus ke-1000 HPK (seribu hari pertama kehidupan), yaitu 270 hari (sejak janin terbentuk sampai dilahirkan) hingga 730 hari (hingga anak berusia 2 tahun). Masa 1000 HPK merupakan periode emas atau window of opportunity yang sangat penting bagi perkembangan anak, dimana organ-organ vital pada anak mulai terbentuk dan berkembang, khususnya otak. Jadi asupan gizi yang baik mulai dari calon pengantin, calon ibu hamil, janin hingga anak usia 2 tahun supaya tidak ada lagi bayi atau anak yang beresiko stunting di Indonesia.

Anggaran makan bergizi gratis yang semula Rp 71 triliun dinaikkan menjadi Rp 171 triliun oleh pemerintah diharapkan tepat sasaran dan memberikan efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian. Pelaksanaan program MBG masih terdapat beberapa permasalahan kesedihan pangan dan pertanian yang sangat kompleks. Permasalahan dimaksud, seperti persoalan terkait perencanaan pengelolaan produksi pangan, infrastruktur, logistik, kebijakan harga dan subsidi, ketahanan dan cadangan pangan, kesehatan dan nutrisi, adaptasi dari perubahan iklim, persoalan dan impor pangan, serta koordinasi lintas pangan masih sering didapatkan di lapangan. Saat ini, program MBG masih belum berjalan seperti harapan karena masih berproses akibat di beberapa daerah program tersebut sifatnya masih uji coba atau percontohan.

Pernyataan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin yang menyarankan masyarakat beralih ke Asuransi Swasta dikarenakan BPJS Kesehatan sudah tidak meng-cover semua penyakit akibat iuran yang sangat murah menimbulkan banyaknya rumah sakit menolak pasien untuk dilakukan tindakan termasuk rawat inap. Ini menunjukkan tidak hadirnya negara di tengah-tengah rakyatnya. Seharusnya, BPJS Kesehatan terus meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat, memotong jalur birokrasi yang berbelit dan semakin mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik yang tinggal di kota sampai ke pelosok negeri.

Padahal, pada Pancasila tanggal 1 Juni 1945 sila Kedua dan Kelima UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 H sudah ditegaskan dan menyatakan bahwa; 1) “negara berperan dan bertanggung jawab untuk memberikan rasa aman, nyaman, dan berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang layak serta menyediakan pelayanan kesehatan”, 2) setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, 3) setiap orang juga berhak atas jaminan sosial yang disediakan negara.

Pasal 34 dinyatakan, “Bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan sosial, termasuk dalam bidang Kesehatan serta bertanggung jawab menyediakan akses yang setara terhadap pelayanan kesehatan, memfasilitasi upaya-upaya pencegahan penyakit serta perawatan bagi yang membutuhkan”.

Hadirnya UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai peraturan turunan dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diharapkan lebih mempertegas terkait beberapa hal, yaitu; 1) Perlindungan hak dan pelaksanaan kewajiban setiap warga negara/pasien untuk mendapatkan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang baik, bermutu, berkualitas dan adil. 2) Penyediaan akses pelayanan kesehatan yang merata. 3) Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memastikan seluruh rakyat Indonesia, khususnya yang tidak mampu agar dapat mengakses kesehatan melalui BPJS Kesehatan. 4) Pengaturan dan pengawasan pelayanan kesehatan serta pemenuhan standar fasilitas kesehatan harus sesuai peraturan yang berlaku, standar medis dan etika profesi.

Iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp 40.000,00 (empat puluh ribu rupiah) dianggap Menteri Kesehatan sangat murah dan tidak bisa meng-cover semua jenis penyakit harusnya bukan menjadi alasan mengurangi pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga untuk mendapatkan perlindungan dari negara.

Diskriminasi pelayanan juga masih seringkali ditemukan untuk fasilitas-fasilitas Kesehatan, padahal mereka datang ke fasilitas kesehatan bukan sebagai pengemis yang meminta dibelaskasihani. Mereka sudah dijamin negara. Standart pelayanan masih menjadi PR (pekerjaan rumah) serius pemerintah saat ini. Hak publik atas transparansi informasi pun harus segera dibenahi.

Sejumlah kasus pelanggaran hak-hak pasien BPJS Kesehatan terlebih yang kurang mampu, antara lain; 1) Diskriminasi pelayanan dan dan tebang pilih dalam memberikan pelayanan kesehatan, 2) Penolakan pelayanan kesehatan, 3) Pengurangan layanan kesehatan, 4) Penundaan atau keterlambatan tindakan medis, 5) Tidak diberikan informasi yang jelas tentang Prosedur Pengobatan, 6) Tidak adanya transparansi biaya/masih adanya permintaan uang muka, dan 7) Kasus penyalahgunaan data medis.

Dengan pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 438 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kesehatan terkait pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga medis, dan/atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (yang diatur dalam Pasal 174 dan 275 ayat 1) dapat dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah). Jika mengakibatkan terjadinya kedisabilitasan atau kematian, pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah).

Namun, penegakan hukum dan penerapan sanksi terhadap pelanggaran tersebut masih lemah, tebang pilih dan lebih berpihak pada yang kuat/pihak pemilik fasilitas kesehatan/pemilik modal dan tidak transparan dalam proses penegakan hukumnya, baik sanksi administrasi dan sanksi pidananya. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, manajemen BPJS Kesehatan dan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) harus lebih intensif mengawasi layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL), perlu juga sanksi tegas terhadap pelanggaran komitmen kerja sama bagi yang melanggar. @epa_phm

banner 300x250

Related posts

banner 468x60