Victoriousnews.com,- Generasi Z atau disebut Gen Z adalah kelompok orang yang lahir pada tahun 1995 sampai dengan 2010. Kelompok Gen Z ini juga disebut sebagai I–Generation atau generasi internet. Karena mereka selalu terhubung dengan dunia maya dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang ada. Bahkan gadget sudah menjadi pegangannya dari sejak kecil. Maka secara otomatis pengenalan teknologi dan dunia maya ini begitu berpengaruh pada perkembangan kehidupan dan kepribadian serta kerohanian mereka.
Mengutip survey dari Bilangan Research Center (BRC) beberapa waktu lalu, mirisnya, gereja sudah tidak menarik lagi bagi kalangan Gen Z. Ada beberapa alasan mereka untuk mulai berhenti datang ke gereja. Sebanyak 28.2% mengatakan bahwa ada banyak kegiatan yang menarik di luar gereja, 21.2% merasa pemimpin/kepemimpinan gereja buruk, 12.4% menilai bentuk ibadah sudah tidak menarik, dan 11.2% merasakan banyaknya kepura-puraan dalam gereja. Pemimpin atau kepemimpinan yang dimaksud meliputi Visi (tidak adanya visi yang besar dan menantang), Engagement (tidak melibatkan kaum muda dalam tanggung jawab pelayanan), dan Disconnect (tidak memahami pola pikir anak muda karena kolot dan otoriter). Sehingga dapat dikatakan bahwa 61.8% remaja merasa bahwa gereja sudah tidak menarik dan tidak cocok bagi mereka.
Bahkan dalam survei terbaru BRC, mengungkapkan bahwa teman akrab Gen Z beragama kristen adalah teman sekolah/kampus sebesar 64 %. Sementara teman akrab di gereja hanya 14 %, sisanya adalah teman tetangga rumah dan teman dari media sosial. Artinya, Gen Z merasa gereja tidak menghadirkan komunitas yang dapat meningkatkan pertumbuhan iman/ kerohaniannya.
Menyoroti hal itu, bagaimana peran gereja dan gembala dalam meningkatkan kerohanian Gen Z? Gembala GBI Maple Park, Ps.Ferry Iskandar, mengatakan, agar generasi muda merasa memiliki gereja sebagai “rumah kedua”, maka gereja mesti merangkul mereka dengan cara memberikan wadah komunitas yang positif untuk bertumbuh dalam keimanan. Misalnya, komunitas kebaktian khusus generasi muda seperti Komsel, doa Youth, dan sebagainya. “Anak-anak muda harus diberikan wadah atau komunitas yang positif agar pergaulannya, lingkungannya dan cara bersosialisasinya juga positif. Terutama komunitas yang seiman agar saling menguatkan dan saling mendoakan. Contohnya; di GBI Maple Park sudah ada program komunitas COOL (Community Of Love), tempat berbagi kasih/sharing atau Komsel, untuk memperdalam firman Tuhan. Disitulah mereka dapat belajar banyak dari kebenaran firman Tuhan. Supaya mereka semakin tertanam dalam gereja lokal mereka. Jadi, komunitas positif di dalam gereja yang sehat dan semakin bertumbuh keimanan dalam Tuhan Yesus,” ujar Ps Ferry.
Lanjut Ps Ferry, lewat komunitas yang positif dengan teman-teman seiman itulah generasi muda atau Gen Z akan merasa betah di dalam gereja. Karena kehadiran komunitas itu akan saling berbagi kisah kesaksian, mendoakan, memperhatikan serta menguatkan. “Ketika mereka mempunyai masalah, pergumulan berat, atau masalah, maka teman-teman sepelayanan dapat saling berinteraksi, saling mendoakan, saling memperhatikan dan saling menguatkan. Apalagi kalau mereka mengalami pergumulan berat, bisa sharing dan saling mendukung,” tukasnya.
Menurut Ps Ferry, selain menghadirkan komunitas yang sehat di gereja, orang tua juga harus menjadi teladan atau panutan bagi Gen Z ketika berada di rumah. “Orang tua harus memberikan teladan bagi anak-anaknya. Karena kebanyakan, anak-anak muda biasanya selalu mencontoh perilaku orang tuanya. Makanya, orang tua harus memcerminkan kehidupan dimana mereka boleh melihat perilaku kita seperti apa yang kita ajarkan kepada mereka. Contohnya, saya sebagai sebagai hamba Tuhan, harus menjadi teladan bukan hanya perkataan saja. Melainkan juga perbuatan, bagaimana memperlakukan istri dan anak atau keluarga selaras dengan ajaran Kristus. Artinya, kehidupan orangtua itu menjadi contoh atau role model untuk anak-anak,” urai Ps Ferry.
Ps Ferry juga mengakui bahwa usia masih di bawah 30 tahun itu tergolong masih labil dan cenderung mencari identitas atau jati diri. Apalagi banyak sekali ajaran menyimpang bersliweran di media sosial, yang dapat berdampak buruk bagi keimanan mereka. “Sehingga, mereka harus kelilingi oleh mentor yang baik, agar dapat membimbing dan mengarahkan mereka kepada prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan. Makanya ketika menjadi seorang mentor, harus mau menerima mereka apa adanya. Serta mau jadi jawaban buat mereka. Apalagi, daya tarik dunia ini kan kuat sekali. Jika mereka tidak benar-benar tertanam di gereja, maka mereka cenderung ke arah negatif. Makanya, sekali lagi, gereja harus memberikan tempat bagi mereka. Agar mereka tidak muda mudah terseret dengan pergaulan kurang baik, misalnya; narkoba,minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya,” pungkasnya. SM