Victoriousnews.com,-Kecanggihan teknologi di era revolusi industri 4.0 ditandai munculnya transformasi digital yang dashyat. Yaitu: financial technology (fintech), teknologi cetak 3D, teknologi robotic dan sensor, internet of things, serta pemanfaatan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang kini kian digandrungi masyarakat luas. Bahkan kehadiran teknologi AI yang tersaji dan merambah dunia internet dinilai banyak membantu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat.
Lalu, bagaimana gereja menyikapi dan merespons canggihnya teknologi AI? Apakah kecerdasan buatan itu berdampak positif hamba Tuhan maupun jemaat?
Menanggapi hal tersebut, Gembala Gereja Sidang Pantekosta Di Indonesia (GSPDI) Jemaat Filadelfia Belezza, Permata Hijau, Pdt. Dr. Mulyadi Sulaeman, mengungkapkan, bahwa pesatnya kemajuan teknologi itu memiliki dua sisi yang berbeda. Ibarat sebuah senjata perang, kecanggihan teknologi itu bisa digunakan untuk kebaikan maupun kejahatan. “Tentu saja kita harus menyikapi semua perubahan zaman dengan kacamata yang positif. Sebab kemajuan zaman tidak dapat dihindari. Dan perlu diingat, bahwa keberadaan manusia saat ini ada di penghujung akhir zaman. Dimana kemajuan teknologi juga berkembang dengan luar biasa pesat,” ujar Pria kelahiran Bandung, 13 Februari 1952.
Mantan Ketua Umum Sinode GSPDI 3 periode (2005-12 Februari 2017) ini mengatakan, jika dahulu satu perubahan teknologi memakan waktu 100 tahun, kini dalam hitungan kurang dari 10 tahun, perubahan begitu cepat. Contohnya, smartphone/handphone setiap bulan pasti mengalami penambahan teknologi dengan fitur-fitur yang semakin canggih. Begitu pula profesi wartawan. Kalau dulu wartawan bawa kamera besar, sekarang cukup dengan menggunakan HP sebagai alat untuk pengambilan gambar. Hasil fotonya lebih bagus serta lebih cepat dikirim kemana-mana, ketimbang kamera yang harus melalui proses transfer file lebih dahulu.
“Selain itu kita juga bisa melihat perubahan signifikan dari seorang pendeta. Kalau dulu kita bisa kenali pendeta dari baju yang dipakai dan Alkitab yang dibawa. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Pendeta banyak yang pakaiannya umum dan tanpa bawa Alkitab ketika kotbah. Begitu pula, orang kantoran bisa melakukan rapat di luar dan tidak lagi membawa map-map maupun tas besar, namun cukup dengan Ponsel maupun iPad saja. Dan mereka bisa rapat dimana saja. Ini menunjukkan kemajuan teknologi memberi manfaat positif bagi manusia,” tandas Pdt.Mulyadi.
Meski kehadiran kecerdasan buatan ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat, bagi Pdt.Mulyadi itu hal yang lumrah. Ia mengingatkan kembali bahwa pada tahun 1980-an, ketika komputer mulai diperkenalkan, berbagai kalangan gereja menganggapnya sebagai anti-Kristus. “Bertahun-tahun gereja menolak penggunaan komputer. Namun sekarang hampir semua gereja telah menggunakan komputer. Demikian juga dalam dunia pelayanan, ada kekuatiran bahwa AI dapat membuat para hamba Tuhan menjadi malas berpikir. Padahal mereka lupa , dahulu para pendeta sangat sulit mandapatkan referensi kotbah. Kadangkala hanya mengandalkan bahan dari sekolah dan guru-guru mereka, yang membutuhkan waktu lama untuk dikembangkan. Setelah sekian lama, barulah muncul referensi seperti konkordansi yang tebal, yang justru membuat sebagian orang kuatir. Sebab dinilai lebih mengandalkan konkordansi daripada bertanya kepada Roh Kudus. Padahal, referensi ini sebenarnya membantu mempercepat materi khotbah,” ungkap hamba Tuhan yang disembuhkan Tuhan dari sakit pendarahan otak beberapa waktu lalu.
Menurut Pdt Mulyadi, meskipun AI telah merambah di tengah masyarakat, tetapi ajaran firman Tuhan tetap yang terutama. “Firman Tuhan hanya menjadi Rhema jika diterangi oleh Roh Kudus. Firman itu adalah Logos, jadi jika hasil dari AI didoakan dan diterangi oleh Roh Kudus, maka akan menjadi sangat dahsyat,” papar Pdt Mulyadi.
Meski diakui, lanjut Pdt Mulyadi bahwa, anak-anak muda sekarang sudah mulai meninggalkan google sebagai mesin pencarian data. Dan mereka cenderung bertanya kepada ChatGPT sebagai sarana mencari data.”Jadi anak-anak muda sekarang sudah tidak tanya google lagi. Tapi tanya ChatGPT. Jadi perlahan-lahan Google akan ditinggalkan,” tukasnya.
Ketika dimintai pendapat tentang pemanfaatan AI dinilai sebagai ajang plagiat, bagi Pdt. Mulyadi sah-sah saja orang menilai. “Tetapi yang pasti, AI itu diberikan secara bebas dan bisa diakses,dikutip siapa saja dan dimana saja, selama ada jaringan internet. Dan kalau dibilang plagiat dan pelanggaran etika, kehadiran AI juga tidak ada UU yang melarangnya. Kalau ada UUnya pasti akan ditulis, ‘dilarang mengutip teks dan segalanmacam’. Justru AI dapat membantu, mempermudah serta mempercepat kerja kita di tengah masyarakat,” urainya.
Di akhir wawancara, Pdt Mulyadi Sulaeman berpesan agar umat Kristiani lebih bijak dan minta tuntunan Roh Kudus agar kemajuan zaman ini membawa terobosan intelektual dan kemampuan yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya. “Tetapi keteladanan dari para pemimpin, orangtua, dan karakter mereka tidak bisa digantikan oleh AI,” pungkasnya. SM