JAKARTA,Victoriousnews.com,-Pemerintahan era Presiden Prabowo Subianto berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang berlaku per 1 Januari 2025.
Kenaikan pajak tersebut dilakukan dengan dalih menjalankan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid itu menetapkan PPN naik bertahap; Pertama, PPN naik dari 10 menjadi 11 persen mulai 2022. Kenaikan sudah mulai dijalankan pemerintah mulai 1 April 2022. Kedua, PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Menyoroti rencana kenaikan pajak tersebut, Pengamat sekaligus praktisi ekonomi, Dr. John N Palinggi, MM, MBA, memberikan masukan positif kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. “Prinsip dasarnya adalah semua warga negara memiliki kewajiban untuk membayar pajak. “Dan pemerintah diberikan kewenangan untuk menentukan jumlah pajak yang dibayar oleh warga negara berdasarkan kemampuannya. Jadi bukan ditentukan oleh kondisi kebutuhan uang untuk pembiayaan pembangunan,”ujar pengusaha sukses yang berpengalaman berbisnis selama 45 tahun tanpa cacat.
Pungutan pajak harus sesuai prinsip keadilan bagi seluruh masyarakat
Lanjut John, hal itu bukan soal setuju atau tidak kenaikan 12 persen, tetapi apakah pemungutan pajak tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan? “Misalnya, pembebasan pajak bagi orang yang punya harta di luar negeri. Faktanya, hal itu tidak terlalu efektif, justru memperkaya orang-orang tertentu.Saya tidak pernah memprotes kenaikan pajak itu, asal memiliki prinsip dan asas keadilan. Jangan sampai terjadi di negara ini, orang baru berbisnis selama 20 tahun, sudah merasa menjadi orang terkaya di Indonesia,” tandas pengusaha yang mendapatkan Award APEC Bussiness travel bebas visa kunjungan ke 19 negara di Asia Pasifik.
Menurut John, saat ini pemerintah dapat memberlakukan sebuah aturan, misalnya, membuat aturan bagi para pengusaha pertambangan di sebuah lokasi tertentu. Dengan aturan tersebut, lanjut John bisa mengetahui apa saja kontribusi pengusaha tersebut bagi negara serta berdampak kesejahteraan masyarakat. “Aturan yang dibuat harus memiliki asas keadilan. Jangan hanya diberikan kemudahan, pembebasan pajak, dan lainnya kepada pengusaha. Tetapi juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara adil,” ungkap John.
Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (AMINDO) ini kemudian memberikan contoh kasus PT SRITEX yang terbelit masalah selama 10 tahun terakhir. “Menurut saya, apapun bantuan yang diberikan kepada PT Sritex tidak akan berjalan mulus. Karena persoalan utama Sritex adalah kelalaian pengusaha yang tidak segera beradaptasi agar bisa survive. Ada juga kekeliruan di masa lalu, di mana pemerintah membebaskan semua barang masuk dari China. Bayangkan saja, dulu, produk tekstil dari berbagai daerah di ekspor ke luar negeri. Tapi anehnya, muncul aturan yang membebaskan semua barang masuk dari China. Sehingga berakibat banyaknya perusahaan garmen dan tekstil lokal bangkrut dan tidak dapat menjalankan usahanya,” tandas John sembari menambahkan bahwa diduga Sritex juga tersandung kredit macet di bank.
Belajar dari kasus Sritex tersebut, John berharap pemerintah memberikan rasa nyaman serta mampu melindungi produk-produk lokal (produk dalam negeri). Sehingga tidak terjadi kesengajaan bagi para pengusaha untuk mempailitkan perusahaannya agar terhindar dari pembayaran kredit di bank.
Transparansi Pajak Dengan Sistem Digital Mutlak Diperlukan
John mengusulkan kepada pemerintah terkait rencana kenaikan pajak 12 persen, agar dilakukan evaluasi secara komprehensif terhadap pendapatan pajak dengan memakai sistem digital. Hal itu dimaksudkan, agar tidak ada celah bagi oknum yang berniat mengemplang pajak atau membayar pajak yang tidak sesuai. Kenapa? Karena hati rakyat luka jika mengetahui maraknya oknum kantor pajak yang ditangkap gara-gara memperkaya diri dengan mengemplang pajak. Sehingga hal itu bisa memicu masyarakat tidak mau bayar pajak,” cetus John.
Belajar dari Kasus Gayus Tahun 2006, Rugikan Negara 26 Triliun!
Menurut John pemerintah harus belajar dari kasus Gayus Tambunan pada tahun 2006. Saat itu, kas negara dirugikan sebesar 26 triliun. “Kerugian negara itu dilakukan oleh oknum internal staf Dirjen Pajak sendiri, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, akhirnya modus Gayus terbongkar. Misalnya, pengusaha seharusnya membayar pajak sebesar 300 milyar, dan Gayus Tambunan sebagai operator mendatangi pengusaha dan menawarkan cukup membayar Rp 100 milyar. Untuk jasanya, mereka meminta bayaran Rp 100 milyar. Banyak pengusaha tergiur dengan tawaran itu. Tentu saja modus itu merugikan kas negara karena tidak sesuai dengan pajak yang semestinya dibayarkan,” pungkas John. SM