Refleksi Akhir Tahun 2023: Suara Kelompok Terpinggirkan Perlu Digaungkan!

Tantangan riil yang masih terjadi adalah persoalan mayoritarianisme dan kurangnya keberpihakan pada kelompok-kelompok rentan seperti komunitas keagamaan minoritas, disabilitas, penghayat/masyarakat adat, pengungsi, sesama manusia terinfeksi HIV dan AIDS (Sematha), perempuan, dan anak

Nasional, News1042 Views

Victoriousnews-Jakarta,-Pengelolaan keberagaman dan pemenuhan hak asasi warga negara memang membutuhkan upaya serius dan berkelanjutan di tengah beragam tantangan aktualnya. Terhadap hal itu, Indonesia sendiri sudah memiliki landasan konstitusionalnya sejak semula, Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) salah satunya hak bebas beragama dan berkeyakinan. Jaminan hukum itu lahir lebih dahulu. dibanding Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948. Sekalipun demikian, dalam praktik dan keseharian masih terjadi banyak tindakan diskriminatif atau tidak adil yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warganya, terutama mereka yang secara kuantatif minoritas atau tidak popular dan rentan. Demikian pula tindakan intoleran yang dilakukan oleh warga negara lainnya yang merasa diri lebih mayoritas dan berkuasa secara sosial. Tantangan hidup berbeda identitas dan status sosial ini sangat dinamis.

Salah satu tantangan riil yang masih dirasakan saat ini adalah persoalan mayoritarianisme dan kurangnya keberpihakan pada kelompok-kelompok rentan seperti komunitas keagamaan minoritas, disabilitas, penghayat/masyarakat adat, pengungsi, sesama manusia terinfeksi HIV dan AIDS (Sematha), perempuan, dan anak. Akibatnya, tak jarang masalah rekognisi, pemenuhan, dan perlindungan hak warga negara muncul dan menjadi diskusi yang tak putus-putusnya di negeri yang multikultural ini. 

Hal ini diperburuk dengan perpolitikan di tengah masyarakat, yang lebih mengedepankan politik elektoral daripada kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini tentu tidak mengesampingkan atau mengakui proses-proses positif yang juga terjadi di negeri ini, sebagai bagian dari pengawalan masyarakat sipil terhadap kebijakan dan penegakan hukum. Selama beberapa tahun terakhir pemerintah memang telah berusaha untuk merespons persoalan ini, namun hasilnya belum dirasa optimal dengan mengacu pada banyak peristiwa diskriminasi dan intoleransi di masyarakat serta “PR” kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu yang masih belum “tuntas.”

Diskusi & Refleksi Akhir Tahun 2023 Dari Kelompok-Kelompok Terpinggirkan di Aula PGI lantai 3, Kamis (28/12/23)

Hal itulah yang mengemuka dalam Refleksi Akhir Tahun 2023 Dari Kelompok-Kelompok Terpinggirkan, yang digelar di aula lantai 3 Grha Oikumene PGI, Salemba 10 Jakarta Pusat, Kamis (28/12/23).

Dalam Refleksi tersebut menghadirkan beberapa nara sumber, diantaranya: Yendra Budiana (Ahmadiyah), Aan S Rianto (Sematha), Engkus Ruswana (Komunitas penghayat Masyarakat Adat), Ronald Tapilatu (Pengungsi di Papua), Andreas Harsono (KBIB di sekolah), Ibu Arsinta (kelompok Disabilitas), serta Pdt. Rosi sebagai moderator..

Menurut juru bicara Ahmadiyah, Yendra Budiana, moderasi beragama di Indonesia, masih belum menyentuh akar permasalahan. “Terutama menyoal  perizinan  beribadah, pendidikan, persetujuan rumah ibadah berdasarkan warga setempat, pendidikan dalam pemaksaan pakaian. Keadilan bukan harmoni dan kerukunan, tetapi yang diperlukan bagi kami dan kelompok termarginalkan adalah tentang kepastian hak-hak beribadah. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama. Toleransi tidak menyelesaikan masalah, karena sudah ada sejak lama. Tetapi yang paling penting, semua agama bicara dan melakukan  tentang kasih, sukacita, dan damai,” tukas Yendra sembari menambahkan,  kita patut bersyukur di tahun politik saat ini, isu politik identitas tidak bergulir, walaupun terjadi perang Israel-Palestina. 

Penganut kepercayaan dan masyarakat adat, Engkus Ruswana, menceritakan sejarah, tentang penganut kepercayaan yang berada di Indonesia. Sebelum tahun 1970-an umat ini banyak, tetapi stigma komunis diletupkan penguasa rezim Orba kala itu.  Awal tahun 1970– an banyak umat kepercayaan ini duduk di DPR dan partai politik, tetapi orba memberangusnya juga. Era reformasi, tepatnya tahun 2012  penganut kepercayaan bisa dibuka lagi, ungkapnya. Namun di era itu, rekrutmen pegawai,  kementerian (BUMN dan Pertahanan), termasuk TNI AU, AL  belum bisa menerima pegawai. Bahkan, di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) penganut kepercayaan tidak ada,” tukas Engkus prihatin.

Kelompok Sematha, Aan S Rianto, mengungkapkan data, bahwa komunitas penderita HIV AIDS, mulai dari orang berpenyakit dan gejala HIV, jumlahnya mencapai 515.000 orang. “Yang mana, 55 persen belum menjalani pengobatan, dan 45 persen sudah menjalani pengobatan.  Lebih tragis lagi, orang penderita HIV tak boleh naik haji, dan tidak bisa bekerja secara normal di beberapa kementerian,” ujar Aan.

Sedangkan Andreas Harsono  menyoroti tentang  37 aturan jilbab yang terjadi di sejumlah sekolah di Indonesia.  Aturan jilbab yang diberlakukan sekolah, memaksakan siswa beragama lain untuk memakai jilbab ini termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Inilah yang harus dihentikan. “Karena jika tidak,diskriminasi terhadap siswq-siswi yang beda agama dengan mayoritas akan terus berlangsung,” tandas Andreas.

Sementara itu Pdt Ronald Tapilatu,  berbicara tentang eskalasi pelanggaran HAM atas kekerasan bersenjata di Papua, antara KKB dengan Polri dan TNI.  

Menurut Ronald,  pendekatan keamanan di Papua tidak akan menyelesaikan masalah. “Yang terjadi malah semakin meluas. Justru yang perlu dilakukan, pendekatan humanis dan dialog. Pasalnya, di Papua, saat ini hanya ada dua pilihan, mendukung NKRI atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB),” beber Ronald.

Menurut Ronald, sejak  tahun 2018 sampai 2021, kekerasan yang terjadi di Papua (pegunungan dan pedalaman), gereja-gereja lokal melalui 3 keuskupan dan 5 sinode  mencatat ada 60 ribu pengungsi  didominasi  anak-anak dan perempuan.

“Yang terjadi Papua,  saat ini masih terjadi bencana sosial (konflik kekerasan). Padahal, Presiden jokowi sidah 19 kali berkunjung ke Papua, dan menggelontorkan dana begitu banyak, tetapi anehnya pembangunan tidak menyentuh dan dirasakan sama sekali oleh warga Papua. Karena yang ada di Papua, saat ini penduduk asli hanya 2 juta, sedangkan penduduk non asli Papua lebih dari 2 juta   Yang jelas dan pasti, suara-suara kelompok terpinggirkan perlu terus digaungkan, agar menjadi perhatian pemerintah dan kita semua,”pungkasnya. SM

Comment