Jellesma, Kisah Sang “Rasul Jawa” diangkat kembali: PGIW Jatim Gelar Bedah Buku Karya Wiryo Widianto

banner 468x60

Surabaya,Victoriousnews.com— Dalam suasana penuh keakraban dan refleksi iman, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Timur menggelar acara Bedah Buku bertajuk “Semangat Ekumene dalam Pewartaan Injil di Jawa Timur”. Kegiatan ini merupakan bagian dari program tahunan PGIW Jatim yang dilaksanakan bertepatan dengan Bulan Ekumene 2025, bertempat di Gedung GPIB Immanuel, Jl. Bubutan No. 69 Surabaya — gedung bersejarah sebagai cagar budaya, peninggalan Belanda tahun 1924 yang dahulu dikenal sebagai Protestantsche Kerk.

Buku yang dibedah berjudul “Riwayat Hidup Jellesma, Sang Rasul Jawa” karya Wiryo Widianto, mengangkat kisah hidup J.E. Jellesma, misionaris asal Belanda yang melayani di Jawa Timur pada tahun 1848–1858. Sosok Jellesma dikenal sebagai pelopor semangat ekumene dan pelayan lintas budaya yang mampu menyatukan dua pendekatan iman di kalangan Kristen Jawa pada masa itu.

Ki-ka: Pdt. Simon Filantropha, Wiryo Widianto & Pdt. Rully A Haryanto

Acara ini dipandu oleh Pdt. Rully A. Haryanto (Ketua Majelis GPIB Imanuel Surabaya) sekaligus tuan rumah acara bedah buku;  menghadirkan dua narasumber utama: Wiryo Widianto, sang penulis, dan Pdt. Em. Simon Filantropha, pendeta senior GKI. Hadir pula perwakilan dari berbagai sinode seperti GKJW, GKI, GKSI, GSJA, HKBP, GPPS, GKIN, Bethany, dan GAPI, serta lembaga mitra seperti PIKI, GAMKI, LBH Hope, JKLPK, dan Pustakalewi. Tidak ketinggalan, sejumlah mahasiswa sejarah dan jurnalis dari berbagai kota turut meramaikan forum yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga 20.00 WIB ini.

Kekristenan di Jawa Timur Telah Berakar Sejak Abad Silam

Pdt. Natael Hermawan (kiri) menyerahkan cindera mata  dari PGIW Jatim kepada Wiryo Widianto, sang penulis buku  Jellesma

 Dalam sambutannya,  Ketua Umum PGIW Jawa Timur, Pdt. Natael Hermawan Prianto, MBA, menegaskan makna penting dibalik pelaksanaan Bedah Buku “Riwayat Hidup Jellesma, Sang Rasul Jawa” di GPIB Immanuel Surabaya. “Tujuan acara ini sederhana namun bermakna besar,” ujarnya dengan nada tenang. “Kita ingin meminimalkan rasa minder sebagai orang Kristen di Jawa Timur. Kekristenan di tanah ini telah hadir jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Benih Injil telah tumbuh sejak abad-abad sebelumnya.”

Pernyataan tersebut menggema di tengah hadirin dari berbagai sinode, menggugah kesadaran bahwa kekristenan di Jawa Timur memiliki akar sejarah yang panjang, kokoh, dan berperan penting dalam pembentukan kehidupan iman serta sosial masyarakat setempat.

Jellesma: Simbol Damai, Toleransi, dan Lintas Iman

Pdt. Natael menegaskan bahwa pengenalan kembali sosok J.E. Jellesma bukan sekadar menggali kisah masa lalu, melainkan menghadirkan teladan pelayanan yang relevan bagi gereja masa kini.  “Jellesma adalah contoh nyata bagaimana Injil diberitakan dengan damai, tanpa benturan budaya, bahkan dengan kepedulian lintas iman,” jelasnya.

Ia menambahkan, kisah Jellesma membuka ruang dialog yang lebih luas di antara berbagai denominasi gereja di Jawa Timur. Semangat ekumene yang dihidupi Jellesma di abad ke-19 kini dihidupkan kembali melalui forum bersama yang melibatkan banyak sinode dan lembaga gerejawi.

Awal dari Gerakan Bersama

Pdt. Natael juga menyebut acara ini sebagai langkah awal dari gerakan bersama untuk menghidupkan kesadaran sejarah iman di tengah masyarakat Kristen Jawa Timur.

“Kita berharap ke depan, sinode-sinode lain juga menampilkan tokoh-tokoh sejarahnya. Kekristenan di Jawa Timur bukan milik satu golongan, tetapi bagian dari perjalanan iman bersama,” tuturnya.

Bedah buku ini pun dianggap menjadi momentum berharga, di mana penulisnya, Wiryo Widianto—yang berasal dari jemaat GKJW—dapat menampilkan perspektif sejarah dari dalam konteks budaya Jawa. Sementara tanggapan dan pengayaan diberikan oleh pendeta senior dari GKI dan diselenggarakan di GPIB Immanuel, mencerminkan keseimbangan dan kebersamaan lintas sinode.

Semangat Ekumene yang Menyatukan

Hadirnya berbagai perwakilan gereja dan lembaga pelayanan dari lintas denominasi—seperti GKJW, GKI, GPIB, HKBP, GKSI, Bethany, GKIN, GAPI, GSJA, dan lainnya—menjadi bukti nyata bahwa semangat ekumene bukan sekadar slogan, melainkan roh persaudaraan yang hidup dan bergerak. “Yang hadir dari sinode-sinode banyak sekali,” ungkap Pdt. Natael tersenyum. “Ini menandakan bahwa kita semua satu tubuh dalam Kristus, meski dengan warna dan tradisi yang berbeda.”.

Sang Rasul Jawa yang Menyatukan Iman, Budaya, dan Kemanusiaan

Wiryo Widianto membuka pemaparannya dengan menayangkan sebuah video dokumenter hasil kerja sama dengan Bina Sabda. Video tersebut menggambarkan perjalanan hidup J.E. Jellesma — dari masa kecilnya yang penuh perjuangan hingga menjadi seorang zendeling (misionaris) yang diutus ke Hindia Timur, sebutan Indonesia pada masa itu.

Melalui tayangan tersebut, para peserta diajak menyelami sosok Jellesma bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi juga sebagai pelayan Tuhan yang membumi, memahami konteks budaya, dan menghidupi Injil dengan kasih yang nyata.

Menyatukan Dua Dunia: Barat dan Jawa

Dalam paparan berikutnya, Wiryo menjelaskan peran penting Jellesma dalam menyatukan dua aliran besar kekristenan awal di Jawa Timur. Dua tokoh utama saat itu, Johannes Emde di Surabaya dan C.L. Coolen di Ngoro, Jombang, memiliki pendekatan berbeda dalam memaknai kekristenan.

Emde menekankan gaya hidup Barat—baptisan, pakaian modern, dan meninggalkan adat Jawa—sedangkan Coolen justru mengajarkan bahwa menjadi Kristen tidak berarti harus melepaskan budaya sendiri. Kedua ajaran ini melahirkan pengikut yang fanatik terhadap masing-masing pemimpinnya, bahkan sempat menimbulkan jarak di antara umat.

Namun, di sinilah Jellesma hadir sebagai jembatan. Di Mojowarno, ia berhasil mempertemukan dua pendekatan iman itu dan melahirkan komunitas yang hidup damai serta saling menghargai. “Inilah semangat ekumene yang sesungguhnya—bukan meniadakan perbedaan, tetapi menemukan harmoni di dalamnya,” ujar Wiryo Widianto yang juga Ketua DPD Perwamki Jatim. 

Meletakkan Dasar Pendidikan dan Pemuridan

Tak hanya menyatukan ajaran, Jellesma juga dikenal sebagai perintis pendidikan Kristen di Jawa Timur. Ia menyiapkan para pemimpin jemaat dan tokoh desa melalui pola pembinaan yang disebut “Zendingsmethode”—sebuah sistem pemuridan yang berfokus pada pendalaman firman, karakter, dan kepemimpinan rohani.

Metode ini kelak menjadi acuan bagi banyak misionaris sesudahnya, dan melahirkan generasi pelayan yang tangguh, berdedikasi, dan berakar dalam nilai-nilai iman serta kebangsaan.

Ekumene yang Meluas ke Jawa Tengah

Wiryo juga mengungkapkan kiprah Jellesma yang melampaui batas wilayah pelayanannya. Ia mengutus murid-muridnya ke Jawa Tengah untuk membantu Pieter Jansz, misionaris pertama dari Gereja Mennonit Belanda.

Tindakan ini mencerminkan semangat ekumene lintas lembaga zending—suatu hal yang langka di masa itu, namun menjadi teladan bagi kerja sama antar gereja masa kini.

Pelayanan Sosial dan Lintas Iman

Selain dalam bidang rohani, Jellesma menunjukkan kepedulian sosial yang luar biasa. Ia menciptakan “Lumbung Miskin”, tempat menolong warga yang kekurangan pangan, serta memperkenalkan pengobatan modern di tengah masyarakat pedesaan. Yang istimewa, semua itu ia lakukan tanpa membedakan iman dan keyakinan.

“Bagi Jellesma, kasih Kristus tidak berhenti di mimbar, tapi menjelma dalam tindakan nyata—menyembuhkan, menolong, dan memanusiakan,” ujar Wiryo mengakhiri penjelasannya.

Melalui pemaparan ini, para peserta semakin memahami bahwa sosok J.E. Jellesma bukan hanya bagian dari sejarah misi, tetapi simbol dari kekristenan yang terbuka, menyatu dengan budaya, dan peduli terhadap sesama.

Semangat Penginjilan dan Teladan Hidup J.E. Jellesma: Pietis yang Menyala dari Mojowarno

Sedangkan Pdt. Em. Simon Filantropha menegaskan kembali bahwa sosok J.E. Jellesma bukan sekadar seorang zendeling, tetapi juga teladan rohani yang pantas diingat lintas generasi.

“Jellesma adalah tokoh pietis, semangat penginjilannya sangat tinggi. Kesalehan pribadi seperti ini hendaknya masih hidup di tengah kita,” ujar Pdt. Simon dengan nada penuh penghargaan.

Ia menjelaskan, gaya pemuridan yang diperkenalkan Jellesma mencerminkan pendekatan khas budaya Jawa, yang disebutnya sebagai “pemuridan ala nyantrik” — murid tinggal bersama guru, belajar bukan hanya lewat kata-kata, tetapi melalui keteladanan hidup sehari-hari. “Pemuridan sejati bukan sekadar transfer ilmu, melainkan pembentukan karakter dan spiritualitas lewat hidup bersama,” tambahnya.

Lebih jauh, Pdt. Simon menyoroti jiwa pengorbanan Jellesma yang begitu nyata. “Kehidupan pribadinya penuh pergumulan dan pengorbanan. Ia kehilangan dua anaknya, namun tetap setia melayani. Bahkan, ia menanggung hidup banyak orang di rumahnya,” tuturnya. Sikap rela berkorban ini tidak hanya diwariskan kepada keluarganya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi jemaat dan generasi penerus pelayanan gereja.

Mojowarno, tempat Jellesma berkarya, awalnya hanyalah hamparan hutan lebat. Namun, di tangan Jellesma dan para muridnya, kawasan itu berubah menjadi pusat kehidupan dan pelayanan. Gereja tumbuh, jemaat berkembang, dan tanah-tanah garapan menjadi sumber kehidupan bersama.

Namun, Pdt. Simon mengingatkan, pengelolaan tanah gereja juga menjadi persoalan yang perlu kebijaksanaan. “Karena tidak ada perjanjian tertulis, hal ini bisa menjadi isu yang kompleks. Jellesma tampaknya sudah menyadari pentingnya pengaturan yang adil dan tertib sejak awal,” katanya.

Di akhir sesi, Pdt. Simon menegaskan bahwa roh pietis dan semangat pengorbanan Jellesma patut terus dihidupkan dalam gereja masa kini. “Lebih dari sekadar mengenang sejarah, kita dipanggil untuk meneladani semangatnya — mengasihi, melayani, dan membangun dengan hati yang tulus,” ungkapnya.

Semangat Ekumene Untuk Gereja Masa Kini

Diskusi semakin hidup dengan tanggapan dari berbagai tokoh gereja, seperti Pdt. W. Kristian Wijaya (PGIS Madiun), Pdt. Manurung (HKBP), dan Pdt. Suranto (GAPI).

Sebagai penutup, sang moderator,  Pdt. Rully A. Haryanto menegaskan pesan penting dari sosok Jellesma: “Pemuridan yang melibatkan banyak orang dan semangat kerja sama lintas iman harus terus dikembangkan. Gereja masa kini perlu bersatu, tidak lagi terbelah oleh denominasi, sesuai doa Tuhan Yesus: ‘Supaya mereka semua menjadi satu’ (Yohanes 17:21).”

Melalui bedah buku ini, PGIW Jawa Timur bukan hanya menengok masa lalu, tetapi menyalakan kembali api ekumene—bahwa iman yang sejati selalu mencari titik temu, bukan perbedaan; membangun persaudaraan, bukan sekat denominasi. Wid/SM

banner 300x250

Related posts

banner 468x60