Di Tengah Badai Lumpur Tambang, Tuhan Nyata Bekerja: Kesaksian Presdir PT Freeport Toni Wenas di CEO Forum FGBMFI

banner 468x60

Victoriousnews.com-Suasana CEO Forum FGBMFI di Hotel Santika Kelapa Gading tampak serius  ketika Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Toni Wenas, berbicara bukan dengan naskah atau presentasi formal, tetapi dari hati. Dengan gaya santai namun penuh makna, ia memulai, “Saya tidak menyiapkan paparan khusus hari ini. Saya lebih suka kita berdialog. Karena hidup dan bisnis pun sebenarnya adalah dialog dengan kenyataan—dan dengan Tuhan.”

Tema forum itu, “Berselancar di Atas Badai,” ternyata sangat sejalan dengan pengalaman Toni. Ia tidak hanya membicarakan teori kepemimpinan atau grafik ekonomi, tetapi menghadirkan kisah nyata tentang keberanian, empati, dan iman — ketika badai benar-benar melanda tambang bawah tanah Freeport, 8 September lalu. “Malam itu kami menghadapi badai sesungguhnya. Lumpur basah seberat 800 ribu ton turun perlahan dari perut bumi. Tiga ribu orang bekerja di area itu. Syukur, 2.993 orang selamat, tapi 7 orang tertimbun. Saat itu saya tahu, inilah badai yang harus saya ‘tanggung’ bersama mereka,” ujar Pria yang piawai bermain piano.

Presdir PT Freeport Toni Wenas (ke-9 dari kiri) menerima cinderamata seusai menjadi Narsum dalam CEO Forum FGBMFI 2025 di hotel Santika Kelapagading, Jumat (24/10/25)

Dalam kondisi itu, Toni membuat keputusan besar: menghentikan seluruh operasi tambang, meski kerugian mencapai 10 juta dolar per hari.

“Bagi saya, yang utama bukan revenue, tapi nyawa. Orang-orang inilah aset terbesar perusahaan,” katanya.

Selama 27 hari pencarian, 400 orang tim penyelamat bekerja siang malam tanpa henti. Toni sendiri terbang ke Papua, memimpin dari lapangan, mendampingi keluarga korban, dan terus berdoa. Hingga akhirnya, pada hari Minggu — hari ke-27 pencarian — mujizat terjadi.

 “Pagi itu saya datang diam-diam ke gereja. Saya hanya mau berdoa. Doa saya satu: Tuhan, tolong temukan mereka. Jam 11.45 saya keluar dari gereja, lalu telepon masuk: ‘Pak, satu sudah ditemukan.’ Satu jam kemudian dua lagi… malam harinya, semuanya ditemukan.”  “Saya menangis, tapi bukan karena sedih. Saya tahu Tuhan menjawab doa itu. Saya tidak pasrah, tapi saya berserah.”

Ia kemudian menegaskan kepada para pengusaha FGBMFI, badai tidak pernah hilang dari kehidupan—namun kita dipanggil untuk tetap berdiri di atasnya. “Kalau kita berada di dalam badai, kita akan hanyut. Tapi kalau kita tetap berada di atas badai, bersama Tuhan, kita akan ride the waves. Kita berselancar di atasnya, bukan ditenggelamkan olehnya.”

Kisahnya bukan sekadar tentang tambang, tapi tentang nilai kemanusiaan, iman, dan kepemimpinan yang sejati. Ia menutup dengan kalimat yang sederhana namun sarat makna:  “Dalam setiap badai, saya belajar bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan. Saya tidak pasrah—saya berserah.”

Yang Tidak Bisa Kita Beli Bukan Teknologi, Tapi Hati dan Komunikasi

 Toni Wenas, menguraikan dengan jujur dan lugas tentang tantangan luar biasa di balik operasi tambang bawah tanah terbesar di dunia — di jantung Papua, di ketinggian 4.200 meter.

“Tantangan di sana bukan hanya soal teknologi atau logistik. Tapi soal cuaca, keamanan, dan yang paling penting: manusia,” ujar Toni.

Dengan nada tenang namun sarat makna, Toni menggambarkan betapa ekstremnya kondisi di tambang Freeport:

Curah hujan bisa mencapai 15.000 mm per tahun — dua kali lipat dari Sungai Gangga yang disebut paling basah di dunia. “Di sana cuma ada dua musim,” katanya tersenyum, “musim hujan dan musim hujan lebat.”

Para pekerja tambang, lanjutnya, bekerja di kedalaman 1.700 meter di bawah permukaan tanah. “Mereka berangkat jam 5 pagi, pulang jam 5 sore. Tidak pernah melihat matahari. Jadi tantangan mental dan fisik mereka luar biasa.”

Selain cuaca, tantangan logistik juga nyaris tak terbayangkan. Setiap hari, 200 kontainer logistik harus diangkut dari pelabuhan ke lokasi tambang — termasuk 200 ribu butir telur per hari untuk kebutuhan karyawan. “Mengelola Freeport itu seperti mengelola satu kota industri sendiri,” ujarnya.

Namun di balik kemegahan teknologi, Toni menyoroti sisi yang paling penting: keamanan dan komunikasi kemanusiaan.  “Kami sudah mengalami 150 kali serangan bersenjata dari KKB atau OPM. Lebih dari 15 karyawan kami gugur. Karena itu semua kendaraan di sana anti peluru. Bahkan kalau saya naik mobil kecil, saya wajib pakai helm dan rompi antipeluru.”

Meski dijaga 2.000 aparat TNI dan Polri, Toni mengakui keamanan bukan hanya soal jumlah personel.

 “Yang membuat kita aman bukan hanya senjata atau teknologi, tapi komunikasi. Komunikasi dengan aparat, dengan masyarakat, dengan tokoh-tokoh adat. Itu yang menjaga kita.”

Ia menegaskan, hubungan yang tulus dengan orang-orang di sekitar tambang adalah kunci keberhasilan jangka panjang.  “Teknologi bisa dibeli. Tapi yang tidak bisa dibeli adalah komunikasi antar manusia — interpersonal communication. Itulah seni memimpin.”

Toni juga menjelaskan soal integritas Freeport yang sering disalahpahami publik.  “Freeport bukan BUMN, tapi 51 persen sahamnya milik negara. Namun tata kelolanya mengikuti prinsip ‘law of business conduct’ yang berlaku di Amerika. Jadi tidak ada ruang untuk sogokan atau politik uang.”

Baginya, integritas bukan hanya nilai, tapi gaya hidup.  “Di Freeport, kami punya nilai SINCERE: Safety, Integrity, Commitment, Respect, Excellence. Dan untuk safety dan integrity, toleransinya nol.”

Toni juga memaparkan kontribusi besar Freeport bagi Papua dan Indonesia.

Selama lebih dari 58 tahun beroperasi, Freeport telah mengeluarkan lebih dari Rp 50 triliun untuk kegiatan sosial dan pendidikan.  “Kami membiayai 12.000 beasiswa, membangun lima asrama, sekolah Taruna Papua, rumah sakit, bahkan evakuasi medis ke Jakarta jika perlu. Semua gratis untuk masyarakat tujuh suku di sekitar tambang.”

Kontribusi Freeport terhadap negara mencapai Rp 80 triliun pada tahun 2024, termasuk Rp 11 triliun untuk Papua Tengah. “Bayangkan, penduduk Papua Tengah hanya 1,5 juta jiwa. Jadi setiap orang di sana sebenarnya sudah ‘menerima berkat’ lewat kontribusi itu,” jelasnya.

Menutup penjelasannya, Toni kembali menegaskan makna terdalam dari kepemimpinan:  “Kepemimpinan itu bukan soal posisi, tapi soal tanggung jawab. Bukan soal teknologi, tapi soal hati.

Karena yang tidak bisa kita beli — adalah kepercayaan,” pungkas Toni yang saat itu mempersembahkan pujian berjudul “Give Thanks” SM

banner 300x250

Related posts

banner 468x60