Jakarta,Victoriousnews.com—Tino Abednego, seorang freelancer di bidang sinematografi, membuka sesi materinya dengan kalimat yang langsung menggugah: “Sekarang, setiap orang bisa menjadi juru berita. Batasan ruang dan waktu sudah hilang. Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bisa membuat video, tapi cerita apa yang ingin Anda sampaikan.”
Pernyataan tajam itu menjadi pembuka sesi yang inspiratif dalam Workshop kreatif “Jurnalisme Video Modern” yang digelar Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (Perwamki) bekerja sama dengan STT REM, Senin (27/10/25).

Dalam paparan materi bertajuk “Pengenalan Video & Tips Memproduksi Video” Tino menegaskan bahwa kemajuan teknologi telah meruntuhkan sekat-sekat klasik dunia sinema. Kini siapa pun, dengan kamera sederhana bahkan hanya bermodalkan ponsel, bisa berkarya dan menyampaikan pesan melalui visual. “Harga kamera semakin terjangkau, Akses teknologi semakin mudah. Tapi yang membedakan karya biasa dan karya bermakna adalah cerita di baliknya,”ujar Tino yang berpengalaman bekerja di sejumlah televisi swasta.
Meski begitu, Tino menekankan pentingnya memahami perbedaan antara videografer dan sinematografer. “Videografer menangkap momen, sedangkan sinematografer menciptakan momen,” tegasnya .
Ia menjelaskan, videografer umumnya bekerja mandiri dan fleksibel dalam mendokumentasikan acara seperti ibadah atau pernikahan. Sementara sinematografer berperan lebih luas, memimpin proses produksi yang kompleks: dari penyusunan konsep, penataan cahaya, komposisi, hingga pemilihan warna dan lensa untuk membangun suasana emosional tertentu. “Sinematografer bukan sekadar merekam gambar, tapi menuturkan makna dan emosi lewat bahasa visual,” jelasnya.

Dalam sesi berikutnya, Tino memaparkan tiga tahapan utama produksi video — pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi.
Ia menegaskan bahwa setiap tahapan memerlukan ketelitian dan imajinasi: mulai dari menulis ide dan naskah, mengambil gambar dengan berbagai shot (long, medium, close-up, hingga point of view), hingga proses penyuntingan yang menentukan ritme dan rasa dari sebuah karya.
Di bagian akhir, Tino memberikan dorongan bagi para peserta untuk berani mulai berkarya, tanpa menunggu peralatan canggih. “Sekarang bahkan pakai handphone pun bisa menghasilkan video yang bagus. Kuncinya bukan alat, tapi ide, konsep, dan bagaimana Anda bercerita,” ujarnya disambut anggukan setuju.
Dengan semangat, Tino menutup sesinya dengan pesan rohani yang dalam: “Tuhan bisa memakai karya video kita untuk memberkati orang lain. Kalau kita punya pesan yang benar, maka teknologi bisa menjadi mimbar baru untuk menyuarakan kebenaran,” pungkas Tino yang telah berkiprah di berbagai proyek video dan produksi sinematografi.
Pesan itu meneguhkan para jurnalis muda dan mahasiswa STT REM yang hadir — bahwa di era digital ini, setiap lensa bisa menjadi alat pelayanan, dan setiap cerita bisa menjadi kesaksian. SM

















