Tak pernah terbersit dalam benak Samuel Jianto kecil untuk menjadi seorang hamba Tuhan. Cita-citanya sewaktu bocah adalah ingin menjadi seorang pengusaha atau menjadi pemain sepakbola professional. Maklum, saking hobinya menggandrungi sepakbola dengan teman sebayanya, Samuel juga pernah masuk sebuah klub di Jawa Timur kala itu. Namun, berkat nazar orangtua yang juga seorang Pendeta, Samuel tidak bisa lari dari panggilan Tuhan. “Saya adalah anak sulung. Anak yang dinazarkan oleh orang tua saya. Sebab saya lahir, setelah papa-mama menikah 10 tahun. Makanya saya dikasih nama Samuel. Dan akhirnya Tuhan kasih bonus, saya dikasih 4 adik. Jadi saya lima bersaudara. Ketika Papa bernazar, anak sulung harus menjadi hamba Tuhan,” tutur Samuel Jianto membuka perbincangan sembari menambahkan bahwa orang tuanya adalah seorang hamba Tuhan yang merintis pelayanan di Pulau Madura sejak 1946, khususnya di Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan.
Keinginan Samuel untuk menjadi pemain bola sewaktu kecil bukanlah tanpa alasan. Sebab, bagi Pria kelahiran 29 Januari 1959, menjadi pemain bola professional itu lebih menjanjikan untuk mendapatkan uang saku ketimbang menjadi seorang hamba Tuhan kala itu. Berbanding terbalik dengan kondisi yang dihadapi oleh orangtuanya yang mengabdikan diri untuk melayani Tuhan—hidup serba kekurangan dan kesederhanaan. “Saat itu saya kecil, mengalami hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan. Jadi saya bisa naik motor itu setelah tamat SMA. Itupun motor pinjaman. Karena waktu itu belum pernah punya motor. Jadi kami terbiasa hidup sederhana,” ungkap lulusan Sekolah Alkitab Beji, Malang tahun 1977.
Setelah usianya beranjak remaja, Samuel mengalami kisah pertobatan yang unik. Saat itu ada anak dari seorang pengusaha yang sakit dan minta untuk didoakan. Padahal saat itu, meski Papanya adalah seorang Pendeta, Samuel masih suka curi waktu untuk menonton bioskop yang gedungnya bersebelahan dengan gereja dimana Papanya melayani. Namun, mungkin sudah waktunya Tuhan, apa yang pernah dinazarkan oleh sang Papa digenapi. Cara Tuhan adalah menjadikan Samuel untuk menggantikan posisi Papanya untuk mendoakan orang sakit. “Ketika masuk SMA kelas 1, ada orang dari PT Bentoel itu membawa anaknya yang sakit ke Pastori dan minta didoakan. Waktu itu Papa saya sedang ada pelayanan ke luar kota beberapa hari. Kemudian saya katakan besok datang lagi. Orang tersebut, bertanya, kalau didoakan apakan sembuh? Saya katakan dengan iman pasti sembuh. Sebenarnya waktu itu, di saku saya ada tiket untuk menonton bioskop yang letaknya di sebelah gereja papa saya. Tapi gara-gara ada orang yang minta didoakan, saya tidak jadi nonton dan masuk kamar untuk berdoa. Saya bilang kepada Tuhan ‘Tuhan, besok orang yang datang itu harus sembuh ya Tuhan. Pokoknya saya terus meminta dan berdoa kepada Tuhan agar orang yang sakit itu disembuhkan. Mulai saat itulah saya dipenuhi Roh Kudus untuk pertamakalinya. Dan mulai sejak itu saya lupa nonton film dan lupa dengan gedung bioskop. Keesokan harinya, orang yang minta didoakan datang lagi. Kemudian saya yang saat itu mengalami kepenuhan Roh Kudus meyakini bahwa segala penyakit pasti disembuhkan Tuhan. Dan ternyata benar, setelah saya doakan orang tersebut disembuhkan Tuhan,” kenang suami dari Erni yang kini telah dikaruniai 3 anak (Steven, Philip dan Priskila).
Semenjak peristiwa itulah yang kemudian menjadi titik balik pertobatannya. Samuel menggenapi nazar sang Papa dan berkomitmen untuk meneruskan pelayanannya di Pulau Madura. “Setelah saya mengenal Tuhan, akhirnya saya membantu melayani di gereja.Saya makin terbeban dan cinta kepada pelayanan. Saya juga banyak melayani gereja pantekosta. Saya pikir gereja ini merupakan wadah yang tepat untuk saya dalam melayani. Saya punya beban untuk mengembangkan gereja. Karir saya itu saya mulai dari bawah. Saya pernah jadi anggota KP remaja, Sekretaris KP remaja, hingga ketua KP remaja,” ujar Pria yang kini telah dipercaya menjadi Ketua MD Jawa Timur.
Samuel mengaku, melayani Tuhan di Pulau Madura itu kerap mengalami gangguan, teror bahkan ancaman untuk dibunuh. “Melayani Tuhan di Madura, itu secara kontekstual. Kita harus tahu karakter mereka. Kalau bicara soal hambatan, kami sudah terbiasa. Misalnya, gereja dilempari kotoran dan kacanya dipecahin. Saya pernah ketika sedang berkotbah dilempari telor busuk. Bahkan berkali-kali diancam mau dibunuh. Tetapi semua itu bisa dilewati, ketika kita terus menyerahkan persoalan kepada Tuhan,” tutur Samuel yang meneruskan penggembalaan pada tahun 1980.
Bagi Samuel, sebagai seorang hamba Tuhan harus tahan banting dalam melayaniNya. Tidak boleh mudah mengeluh dan tetap fokus kepada jiwa-jiwa yang dilayani. “Saya mengalir dengan gerakan Tuhan mengikuti aliran kemauan Tuhan. Dengan cara melayani yang professional, dedikasi yang tinggi dan menjaga integritas,” pungkas Gembala GPdI “Sahabat Allah” di Madura dan Friend of God Ministry di Surabaya. (sumber: tabloid victorious edisi 694). SM