VICTORIOUSNEWS.COM,-Wajah duo bersaudara (adik-kakak) yaitu: RM Tito Hananta Kusuma., SH.,MM dan RM Nico Hananto Putra.,SE.,SH dikenal sebagai pengacara spesialis tindak pidana korupsi (Tipikor). Mereka kompak berduet dalam menangani berbagai kasus Tipikor di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dibalik kesuksesan duo pengacara hebat yang juga pendiri kantor hukum HANANTO & HANANTA, berdomisili di Jalan Majapahit nomor 26, Harmoni Jakarta Pusat ini, ternyata dipengaruhi oleh teladan kedua orangtuanya. Mereka mengaku, sejak kecil ini banyak menerima didikan nilai-nilai moral serta sarat makna cinta abadi yang menginpirasi dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Tito dan Nico adalah putra dari pasangan Alm. Bapak Drs. Raden Mas Poerwohananto dan Almh Ibu Raden Ajeng Tamsari Siti Supraptinah Poerwohananto. Sang Ayah adalah keturunan warga biasa dan bukan berasal dari keluarga kaya. Sedangkan sang Ibu adalah “berdarah biru” keturunan dari Raja Solo Pakubuwono X. “Almarhum Papa saya itu tercatat sebagai pensiunan pegawai pertama (001) dari Perusahaan Minyak Perancis yang bernama Total Oil Indonesia pada tahun 1967 dan mengakhiri karirnya sebagai dosen Bahasa Inggris di Universitas Atmajaya tahun 2006. Sementara almh Mama adalah seorang ibu rumahtangga yang mendampingi karir Papa menjadi aktivis Darma Wanita di perusahaan Total Indonesia pada era tahun 1980an,” ujar RM Tito Hananta Kusuma.,SH.,MM.
Kiprah RM.Tito Hananta.,SH.,MM sebagai pengacara spesialis KPK dimulai sejak tahun 2012 hingga sekarang. Selang 3 tahun kemudian, persisnya tahun 2015, sang Kakak, RM Nico Hananto Putra.,SE.,SH menyusul jejak sang Adik menjadi pengacara yang konsisten menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi. Hingga saat ini kantor hukum Hananto & Hananta telah menangani puluhan kasus-kasus besar di KPK. Sebut saja diantaranya: kasus mantan Menteri Jero Wacik, Fuad Amin Imron, Anggoro Widjoyo, Irman Gusman, PT Master Steel, PT BBJ, PT Berdikari, Walikota Bekasi Rahmat Effendy, dan masih banyak lagi. “Saya melihat cinta sejati papa mama saya. Dimana papa mama saya saling mencintai. Meskipun kalau menurut mama saya, almarhum papa saya ini agak kaku orangnya. Tapi, beliau sangat gentle, sangat cinta pada mama saya. Dan itu menjadi contoh ideal buat anak-anaknya,”ujar pungkas Tito.
Kisah Cinta Abadi Warga Biasa Menikah Dengan Keturunan Ningrat Yang Menginspirasi
Banyak orang bilang bahwa jodoh itu berada di tangan Tuhan. Ada pula yang berkata jodoh itu menjadi rahasia hidup. Taka ada seorang pun yang tahu akan menikah kapan dan dengan siapa. Namun bagi sebagian orang tentu pernah membayangkan menikah dengan seorang keturunan bangsawan (ningrat) atau keturunan Raja bak di dalam cerita dongeng. Hal itulah yang dialami oleh Raden Mas (RM) Drs. Poerwohananto, Papa dari duo pengacara spesialis tipikor, RM Tito Hananta Kusuma dan RM Nico Hananto Putra ketika berhasil mempersunting gadis pujaannya berdarah biru, keturunan Raja Solo Pakubuwono X.
RM Poerwohananto muda terbilang sangat berani ketika menambatkan hatinya kepada gadis pujaannya, Raden Ajeng (RAj) Tamsari Siti Supraptinah yang kala itu menjadi putri kraton Solo. Sudah bisa dipastikan hubungan asmara kedua sejoli ini terbentur restu dari keluarga Keraton yang mengharapkan jodoh RAj Tamsari itu juga harus berasal dari keturunan ningrat. Keluarga Keraton ini masih menganut tradisi dan falsafah Jawa yang sangat kuat dalam hal mencari menantu atau jodoh bagi anaknya kelak, yaitu: Bibit (asal usul garis keturunan), Bebet (Cara berpenampilan/strata sosial/jabatan), & Bobot (kualitas diri-pendidikan/pekerjaan). Setidaknya ada dua alasan, Poerwohananto tidak direstui oleh keluarga besar RAj Tamsari, yaitu: berbeda agama dan bukan berasal dari keturunan Raja atau kalangan ningrat.
Namun cinta Poerwohananto muda atau kerap disapa “Mas Pung” sangat kuat dan tulus. Meski tidak direstui oleh keluarga Keraton Solo, tetapi hubungan asmara yang mereka rajut bagaikan lem dan perangko. Melekat kuat. Poerwohananto dan RAj Tamsari tak bisa dipisahkan. “Hampir setiap hari aku menyanyikan lagu cinta. Lagu kenangan yang menggambarkan betapa besarnya cintaku pada kekasihku, suamiku tersayang, Raden Mas Poerwohananto. Namaku Raden Ajeng Tamsari Siti Supraptinah. Usiaku 72 tahun. Aku berdarah biru. Ayahku adalah cucu raja Solo Paubuwono ke-X. Kisah cintaku terhadap suamiku, yang biasa ku panggil ‘Mas Pung’ terbaca jelas. Dari ratusan surat-surat yang ditulisnya selama 5 tahun kami memadu kasih. Begitu banyak cerita mewarnai perjalanan cinta kami yang hingga kini sulit dilupakan,” ujar Raden Ajeng Tamsari mengenang kisah cintanya bersama Poerwohananto pujaan hatinya seperti dikutip dari kanal Youtube Trans TV tahun 2012. Simak videonya melalui: https://www.youtube.com/watch?v=4OnxywEEWNI
Surat cinta yang dikirim oleh Poerwohananto, kepada kekasihnya yang saat itu tinggal di Keraton Solo begitu membekas dalam lubuk hati RAj Tamsari. Bahkan setiap membaca surat cinta dari Poerwohananto, membuat hatinya tergetar. Yang terbersit dalam benaknya adalah rasa cinta yang mendalam kepada kekasih pujaan hatinya, meskipun dia harus menanggung resiko tak direstui dan mesti meninggalkan keraton jika masih menjalin hubungan dengan kekasihnya. ‘Dek Ajeng Temi, sekarang bulan Desember. Minggu depan aku datang naik kereta dari Jakarta ke Solo. Walau waktu kita hanya 6 hari untuk melepas rindu, aku harap itu cukup. Hingga nanti kita bisa bersama selamanya. I Love You with my body and soul. Mas Pung’. Begitulah bunyi surat cinta yang ditulis Poerwohananto pada bulan Desember 1960. Dan selama mereka menjalin asmara sudah terkumpul ratusan surat yang telah dikirim oleh Poerwohananto kepada Tamsari.
Setelah membaca surat cinta tersebut, Tamsari dipanggil oleh Ayahnya. Saat itu ia sudah tiga kali dijodohkan dengan orang yang tak pernah dikenal sebelumnya. Walaupun sama-sama keturunan ningrat, tetapi Tamsari tetap pada pendiriannya. Dia tidak bersedia menikah dengan orang yang tak dikenalnya, dan memilih kekasihnya, walaupun jalinan asmaranya lebih banyak dihabiskan melalui surat cinta, dan hubungan jarak jauh antara Jakarta & Solo. Maklum saja, pada saat itu hanya melalui surat yang paling efektif untuk mengungkapkan rasa cinta pada seseorang. Berbeda dengan di era modern sekarang, banyak sekali cara mengungkap rasa sayang, baik melalui telepon, sms, whatsapp dan sebagainya. “Sebagai keturunan Raja Solo, kehidupanku sungguh bahagia. Segala kebutuhanku terpenuhi dengan mudahnya. Meski aku harus mematuhi tata krama. Ya rasanya kita bersyukur dan bangga. Tapi kita harus menjaga tata susila, tata tertib yang sangat ketat,” tukas RAj Tamsari menceritakan kembali kisah cintanya.
Meski bukan berasal dari kalangan ningrat dan keluarga yang kaya, Poerwohananto muda adalah sosok yang sangat tampan di mata RAj Tamsari. Begitu pun sebaliknya, Tamsari dimata Poerwohananto adalah Wanita yang sangat cantik. Hal itulah yang membuat kedua insan ini, langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. “Mas Pung itu sosoknya sangat tampan, membuatku langsung jatuh cinta. Jadi setiap hari dia musti dateng. Dalam 1 minggu itu sudah jadian kalo anak sekarang. Jadi hari terakhir dia mau pulang ke Jakarta, dia baru menyatakan cinta itu bukan ‘I love you’ tapi ‘you are my first and last love’. Anda itu yang pertama dan terakhir sama mencium pipiku,” ungkap Tamsari menirukan Poerwohananto saat itu.
Sejak saat itulah Poerwohananto dan Tamsari terus merajut kasih begitu dekat. Hubungannya pun sudah tak lagi terkurung dengan tembok Keraton yang kokoh. “Kami pun merajut kasih. Duniaku tak lagi terkurung tembok keraton. Cinta kami begitu kuat meski terpisahkan ratusan kilometer. Antara Kota Solo dan Jakarta. ‘Dek Ajeng, Dek Ajeng.. Tunggu Dek Ajeng. Aku punya sesuatu buat kamu. Ini bunga buat kamu. Makasih ya mas, bunganya cantik. Lebih cantik kamu kok,” tutur Tamsari mengisahkan hubungan asmaranya yang saat itu bisa keluar dari lingkungan Keraton. Tamsari saat itu sangat senang, karena rasa rindu yang begitu membuncah dalam hatinya, terobati oleh kunjungan Mas Pung. “Namun, kebahagiaanku terhalang restu kedua orang tuaku. Karena perbedaan agama dan latar belakang keluarga. Ya kalo dibilang aku itu ikut orang kafir. Itu kan menyakitkan. Dibilangin kamu kok jadi kafir? Eyangmu, buyutmu, semua raja yang besar,” kenang RAj. Tamsari
Bahkan setiap setiap Tamsari pulang ke Keraton malam-malam, ia kerap dimarahi oleh sang Ayah. “Dari mana saja kamu Tamsari? Berani-beraninya kamu pulang malem-malem begini. Gara-gara laki-laki itu, kamu berani melawan Bapakmu! Masuk! Bikin malu keluarga saja,” kata Tamsari menirukan suara Ayahnya kala itu.
Awal Menikah Tinggal di Garasi di Kawasan Menteng Jakarta
Penolakan keluarga besar Keraton Solo terhadap hubungannya semakin runcing, tetapi cinta mereka semakin kuat. Tapi dirinya sangat yakin kalau memang jodoh, akan berjuang dengan apapun karena cinta sejati.
Setelah Ayah Tamsari meninggal, sang Paman mengambil posisi sebagai orangtuanya dan memberikan nasihat kepadanya agar memutuskan hubungannya dengan Poerwohananto. “Ayah kamu itu sudah meninggal, jadi kamu itu masih berkeinginan menikah dengan anak laki-laki yang sekolahnya baru tingkat 2 dan tidak jelas keturunannya?. Sebenarnya kamu waras apa nggak? Eleng.. Eleng… Eyang kamu itu pendiri masjid di keraton ini trah ningrat. Lah hananto itu apa toh? Mbok ya dipikir-pikir lagi,” begitu nasehat paman Tamsari saat itu. Tamsari kemudan menjawabnya dengan sopan. “Tapi Paklek, saya selalu diajarkan untuk percaya kepada Tuhan. Harus berhati mulia kepada makhluk Tuhan siapapun itu. Itu falsafah keraton”. Sang paman kemudian menimpali, ‘terserah kamu. Tapi ingat, calonmu itu harus membawa 12 baki untuk serah-serahan untuk menikahimu. Itu adat. Wajib hukumnya”.
Namun akhirnya kedua sejoli ini memutuskan untuk menikah pada 6 Desember 1963. Tamsari pun rela berpisah dari orang tua, kakak, dan adikku. Serta tak lagi tinggal dalam lingkungan keraton Solo.
Hidup mewah, bahagia, dan bergelimangan harta yang dialami oleh Tamsari dalam Keraton Solo, berbanding terbalik setelah menikah dengan Hananto. Bahtera rumahtangganya dimulai dari titik nol. Sebagai pendatang baru di kota metropolitan Jakarta, Poerwohananto dan Tamsari sempat tinggal di sebuah Garasi di kawasan Menteng Jakarta Pusat. “Kami menumpang di Garasi selama 5 tahun. Di rumah milik keluarga Mas Pung di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tak ada lagi kemewahan. Kehidupanku benar-benar berubah. Terlebih aku tak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Bikin api dari korek api saja saya tidak bisa. Jadi setiap suami saya mau ke kantor musti nyalain lilin dulu untuk saya bisa masak,” ungkap Tamsari. Tetapi karena Poerwohananto begitu sabar dan sangat sayang dirinya pelan tapi pasti, ia pun bisa melakukan pekerjaan rumah layaknya seorang istri.
Meski telah mengarungi bahtera rumah tangga hampir 4 tahun, keluarga besar Keraton Solo masih belum bisa menerimanya. Bahkan ketika mereka berkunjung ke Keraton Solo, mereka ditolak oleh pamannya sendiri. “Kenapa kalian datang kemari?”, tolak paman Tamsari langsung menutup pintu Keraton. Hal itu tak membuat pasangan Hananto dan Tamsari putus asa dan kecewa. Keduanya berserah penuh kepada Tuhan.
Banyaknya kendala dan tantangan hidup, tak membuat Tamsari menjadi manja lagi. Bahkan ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang keras dan rela melayani kerabat suaminya. Padahal ketika tinggal dalam Keraton dahulu, ia dilayani oleh para Abdi dalem. “Kerasnya kehidupan pernikahan, membuatku mengalami keguguran. Bahkan hingga 3 kali. Begitu banyak suka duka yang ku miliki selama menikah. Selain belum memiliki tempat tinggal, aku pun harus menerima penghasilan suamiku yang tak seberapa. Terlebih, statusnya pun masih mahasiswa,” tutur Tamsari.
Mengenyam Kebahagiaan & Memiliki Rumah Sendiri
Belajar dari berbagai kegagalan dan pahitnya hidup, pasangan Poerwohananto & Tamsari akhirnya menikmati manisnya sebuah kebahagiaan yang indah. Hananto diterima kerja sebagai pegawai pertama di perusahaan minyak milik Perancis, PT Total Oil Indonesia pada tahun 1967. Di perusahaan inilah, gaji Hananto bisa mencukupi kebutuhan hidup bahkan membeli rumah di Kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Bukan itu saja, berkat Tuhan terus mengalir. Walaupun Tamsari sempat mengalami keguguran 3 kali, akhirnya kerinduan untuk memiliki buah hati berbuah manis. Anak pertamanya lahir pada 2 September 1967, diberi nama, RM Nico Hananto Putra. Selang beberapa tahun kemudian, anak keduanya lahir pada tanggal Pada 1 September 1976 diberi nama RM Tito Hananta Kusuma. “Akhirnya, kami bisa memiliki rumah dan tak lagi tinggal dalam garasi. Di rumah inilah, kebahagiaan demi kebahagiaan kami rengkuh bersama. Hingga 2 buah hati lahir menjadi penguat cinta kami. Selama 48 tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Cintaku terhadap Mas Pung tak pernah pupus. Cincin pengikat cinta kami, tak pernah sekalipun kulepas. Masih melingkar manis di jariku. Bahkan setiap waktu yang ku miliki, ku habiskan untuk membuka kembali album kenangan,” ungkap Tamsari.
Setelah puluhan tahun mengarungi bahtera rumah tangga, kebahagiaan Tamsari tergoyah karena sang suami membawa kabar buruk. Poerwohananto mengundurkan diri dari perusahaan yang telah memberikan kebahagiaan kepada keluarganya. Mendengar kabar buruk itu, Tamsari tak kuat, langsung jatuh pingsan, kemudian dilarikan ke Rumah Sakit. Ia sempat tak sadarkan diri selama 4 hari. “Selama 4 hari saya gak sadarkan diri. Nah, sesudah itu aku dikasih hidup kembali. Dikasih mujizat kehidupan. Aku mikir, anakku kan masih kelas 1 SMP, Mas Tito. Yang gede Mas Nico baru SMA,” kenang Tamsari.
Demi membahagiakan dirinya, Poerwohananto pun kembali ke bangku kuliah hingga lulus menjadi Sarjana meski usianya telah kepala 5. Sebagai seorang istri, Tamsari merasa kehidupannya telah begitu sempurna. Namun Tuhan pulalah yang memiliki semua cerita. Tubuh tua sang suami, kerap menderita sakit sakitan. Setelah dirawat beberapa lama, akhirnya Hananto dipanggil Tuhan dan dimakamkan di TPU Joglo Jakarta Barat. “Akhirnya, cinta sejatiku pergi untuk selamanya. Aku berdoa. Tuhan, kalau memang Tuhan mau memanggil suamiku silahkan Tuhan. Aku merelakannya. Di bawah namanya, aku akan satu tempat peristirahatan dengan suami saya. Itu sudah ditulis namaku. Itu sebuah cita-citaku,” urai Tamsari.
Sepeninggal sang suami, Tamsari beserta keluarga besar kerap mengunjungi makam cinta sejatinya. “Hanya satu kata yang selalu kupupuk dalam diriku yaitu cinta. Bersama keluargaku, setiap akhir minggu kami selalu menyempatkan diri mengunjungi pusara Mas Pung. Mas Pung terbaring tenang di Pemakaman Umum Joglo, Jakarta Barat ini. Begitu besarnya rinduku pada sosoknya. Sosok yang membuatku tak pernah berhenti untuk belajar arti sebuah cinta. Bagaimana tidak? Begitu banyak suka duka yang ku miliki selama menikah. Selain belum memiliki tempat tinggal, aku pun harus menerima penghasilan suamiku yang tak seberapa. Terlebih, statusnya pun masih mahasiswa. Kekuatan cintaku terhadap suamiku, Raden Mas Poerwohananto. Semoga menjadi teladan bagi kedua putraku tercinta. Mereka harus bisa memperlakukan istrinya sebagaimana ayah mereka memuja dan memperlakukan aku dengan begitu sempurna,”pinta Tamsari semasa hidupnya berpesan kepada kedua anaknya yang kini telah sukses menjadi pengacara hebat.
Selang beberapa tahun kemudian, RAj Tamsari pun berpulang, menyusul sang suami yang lebih dulu dipanggil Tuhan. Pesan semasa hidupnya, digenapi oleh kedua anaknya Tito & Nico, yakni mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya satu makam dan satu liang lahat bersama sang kekasih abadinya, RM Poerwohananto di TPU Joglo, Jakarta Barat. Inilah yang dinamakan cinta abadi.
Kisah yang dapat diteladani dari RM Drs.Poewohananto & RAj Tamsari adalah cintanya tak pernah lekang oleh waktu. Dalam suka maupun duka, dan sampai maut memisahkan tetap bersama. SM
Comment