Victoriousnews.com,-Buku sejarah kekristenan di bumi Jawa Timur berjudul “Ambabaddi Bongsorejo–Kisah Kyai Klaas & Putri Tercantik, ini mengisahkan seorang pendiri Desa Bongsorejo bernama Kyai Klaas Waridin Wirosastro (1819-1897). Kyai Klaas adalah seorang misionaris yang berperan besar membangun desa Kristen dan Jemaat Bongsorejo yang layak disebut sebagai “Putri Tercantik”-nya Jemaat Kristen Mojowarno, Jombang Jawa Timur. Desa Bongsorejo ini terletak sekitar 6,5 km sebelah barat dari Mojowarno, tepatnya di Kelurahan Grogol Diwek, Jombang.
Torehan sejarah mencatat, bahwa lewat “tangan dingin” dan berkat pelayanan para misionaris pada zamannya, akhirnya berdiri gedung gereja nan megah di Mojowarno, yang diresmikan pada tanggal 3 Maret 1881. Tak pelak, Mojowarno sendiri pun mendapat julukan sebagai “Yerusalem” bagi kekristenan dan gereja Jawa Timur, serta menjadi pusat penting kepemimpinan spiritual di bumi lahirnya kerajaan Majapahit.
Perjalanan hidup Kyai Klaas Waridin yang diulas dalam buku setebal 154 halaman dan diterbitkan oleh Yayasan Taman Pustaka Kristen (YTPK) ini ditulis secara detail oleh penulis. Klaas disebut sangat termotivasi dengan jejak pamannya, Kyai Karolus Wiryoguno yang sebelumnya telah merintis pembangunan Desa Kristen Mojowarno, yang saat itu menjadi Lurah Mojoroto dan Koordinator Lurah di daerahnya. Sang Paman menunjukkan hutan yang bagus untuk dibuka menjadi desa dan lahan pertanian.
Sehingga pada 22 November 1870, Kyai Klaas Waridin bersama istri dan keluarganya berangkat menuju hutan yang dituju dan memulai reklamasi hutan baru. Pada tahun 1873, hutan ini berhasil dibuka dan dinamakan Desa Bongsorejo. Berdirinya desa Bongsorejo terkenal dengan adanya Perjanjian “Ambabaddi Bongsoredjó”, yakni sebuah perjanjian kesepakatan bagi orang- orang yang membuka hutan di Desa Bongsorejo.
Isi Perjajanjian “Ambabaddi Bongsorejo” adalah sebagai berikut: Pertama, setiap pemilik tanah berjanji untuk mengarap tanah- nya sendiri. Mewariskan kepada anak cucunya dan tidak akan dibagi-bagikan kepada orang banyak. Kedua, Tanah hanya dapat dialihkan kepada orang yang dapat mengolahnya (yang dapat menjadi gogol) dan membayar sewa tanah. Ketiga, Tanah hasil pembukaan hutan seluas 150 bau (lebih dari 106 hektar) akan dibagi masing-masing menerima 4 bau. Kecuali kepada mereka yang menjadi pengurus desa (desa bestuur) akan memperoleh lebih: lurah 8 bau; petinggi 5½ bau; kami sëpoh 5 bau; carik 5 bau; këbayan 5 bau; guru pamulang 5 bau; pinituwö 4½ bau.24. Keempat; Apabila ada yang berbuat kejahatan atau merusak desa seperti menghisap candu (ësës atau nyërèt) di tempat usaha candu orang Tionghoa (bumbung), mencuri (mandung), menipu (ngapus-apusi), mengundang gadis penari (nanggap tëlèdèk), percabulan (rëmënan), dan lainnya, siapa pun yang berani melanggar, hukumannya adalah diambil setengah dari sawahnya. Jika dia melanggar untuk kedua kalinya maka semua-nya akan diambil darinya tetapi hanya untuk satu tahun. Jika dia melanggar untuk ketiga kalinya dia akan dikeluarkan dari desa. Jika dia diusir, sawahnya akan diberikan kepada kerabatnya yang bisa mengolah dan memungut uang sewanya. Jika yang diusir itu tidak mempunyai keluarga maka akan dibagi kepada semua anggota desa.
Maksud Kyai Klaas Waridin membuat perjanjian kesepakatan antara orang-orang yang ikut serta membuka hutan adalah sebagai upaya menciptakan peraturan desa yang ideal. Di sana ada unsur keadilan sosial dalam pembagian tanah serta aturan moral yang menjaga perilaku /sikap warga. Hal ini sangat menarik bagi komunitas desa baru pada jaman itu. Tampak sekali bahwa desa ini didirikan dengan disain perencanaan dan tujuan yang sangat baik.
Daya Pikat Sosok “Putri Cantik” Bernama Jemaat Bongsorejo
Pada hakikatnya, mempelajari sejarah adalah menengok masa lampau serta memandang masa depan. Dalam buku ini, pembaca bisa menikmati beberapa puzzle lukisan kuno berbentuk sosok “Putri Cantik” yang bernama GKJW Jemaat Bongsorejo. Indahnya lukisan yang memikat tentu diproses melalui usaha keras, waktu panjang, serta doa permohonan yang sungguh kepada Sang Pencipta. Tanpa karsa dan karya Tuhan, jemaat ini tidak bisa menjadi jemaat yang dikagumi dan menginspirasi jemaat lainnya, termasuk Mojowarno yang menjadi jemaat induknya pada masa itu.
Pembaca bisa belajar dari beberapa pengalaman para tokoh dan warga Bongsorejo dalam membuka, menata, dan membangun dusunnya. “Allah turut berkerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).
Jombang Sandang Predikat Sebagai Kota Paling Toleran Se-ASEAN
Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur dengan luas wilayah 1.159,50 km². Jombang memiliki posisi yang sangat strategis di Jawa Timur, karena berada di persimpangan jalur lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Madiun-Yogyakarta), jalur Surabaya- Tulungagung, serta jalur Malang-Tuban. Jombang juga dikenal dengan sebutan “kota santri”, karena banyaknya sekolah pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayah tersebut. Bahkan ada pameo yang mengatakan Jombang adalah pusat pondok pesantren di Tanah Jawa, karena hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti pernah berguru di Jombang. Beberapa pondok pesantren yang terkenal, antara lain: Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, dan Rejoso.
Sebutan kota santri (Islam) ini pun tidak berubah karena adanya beberapa desa yang telah dihuni ratusan tahun oleh jemaat Kristen. Keberadaan desa-desa yang dihuni mayoritas beragama Kristen mulai tumbuh dan berkembang sejak tahun 1830-an dan masih bertahan sampai hari ini.
Peri kehidupan masyarakat Jombang sungguh rukun dan tidak pernah terjadi konflik horizontal yang berlatar belakang perbedaan agama. Maka tidak heran jika pada tahun 2017, Kabupaten Jombang mendapatkan predikat “The Most Harmonious City in ASEAN” atau kota paling toleran di kawasan Asia Tenggara. Sebagai wujud dan penanda Jombang menjadi kota paling toleran di kawasan Asia Tenggara, pada tanggal 2 Juni 2017 dilaksanakan upacara pengibaran bendera negara-negara ASEAN di Taman ASEAN, di kawasan Simpang Tiga Ringin Contong.
Pola kehidupan para santri (Islam-Kristen) yang terbuka ini tentu tidak muncul dengan tiba-tiba. Maka Jombang adalah daerah yang menarik untuk dicermati para peneliti sejarah untuk mengetahui sejarah kondisi sosial budaya masa lalu.
Dalam hal perkembangan pekabaran Injil kepada orang Jawa di kawasan Jombang, kita mengenal desa-desa atau dusun, seperti: Ngoro, Mundusewu, Kertorejo, Mojowarno, Mojowangi, Mojoroto, Mojodukuh, dan Bongsorejo, yang tercatat sebagai komunitas beragama Kristen terbesar di Jawa sejak tahun 1925.
Pesan Penulis: Miliki Rasa Mencintai, Memiliki & Merawat
Sebuah tanaman atau pohon yang baik harus memiliki akar yang kuat agar dapat bertahan dari goncangan maupun badai. Begitu pula dengan kita sebagai umat Kristen pengikut Tuhan Yesus. Kita juga harus memiliki pondasi yang teguh, yaitu iman yang kuat agar kita tidak mudah goyah dengan tantangan dan cobaan yang menghadang kita. Bagaimanakah caranya agar kita memiliki pondasi atau iman yang kuat? Harus diawali dari rumah sendiri. “Seperti anatomi sebuah tumbuhan, sebagai kontekstual dan relevansi hidup dalam satu keluarga besar Bongsorejo, maka salah satu bukti yaitu dengan rasa nresnani (mencintai), nduweni (memiliki), dan ngopeni (merawat). Lahirnya buku ini adalah menindaklanjuti dari terlaksananya acara “Ngobras” (Ngobrol Sejarah) pada saat HUT ke-126 tahun GKJW Bongsorejo,” ujar Wiryo Widianto yang juga Ketua DPD Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (Perwamki) Jatim.
Pria kelahiran Mojowarno, 8 Mei 1969 yang akrab disapa Mas Wiwid ini juga telah berpengalaman menulis buku sejarah, diantaranya adalah: Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh; Riwayat Hidup J.E Jelesma; Sejarah Kyai Paulus Tosari; serta Kyai Irawana Bakal Jemaat Sumber Gondang.
Sedangkan Hadiyanto, pendiri media online penabur.id serta penulis sejarah kekristenan Jawa Timur ini merasa prihatin atas rendahnya literasi sejarah Kristen. Makanya, Pria kelahiran Surabaya, 4 Juli 1973 ini getol sekali berkampanye tentang pentingnya mencari, merawat dan menulis sejarah lokal di masing-masing jemaat. “Buku ini menolong kita untuk melihat keberhasilan maupun kegagalan tokoh atau jemaat di masa lampau. Sehingga kita bisa mengambil hikmahnya bagi kehidupan bergereja di masa kini. Buat saya, buku ini enak dan cocok untuk menjadi menu bacaan yang bergizi bagi proses berpikir kita,” pungkas jebolan fakultas hukum Unair Surabaya. SM