Franz Magnis Suseno: Pancasila, Tidak Kurang Tidak Lebih

News2165 Views

KALAU kita mau terus memantapkan NKRI berhadapan dengan sekian tantangan, seperti radikalisme, globalisme ekonomis dan sebagainya, kita harus mendasarkan diri pada lima prinsip atau sila di Pembukaan UUD 1945, Pancasila.

Beberapa hari lalu saya membaca sebuah WA: “Perlakuan sebagian kalangan terhadap Pancasila sekarang sudah agak mencemaskan, karena mau mengangkatnya sekarang sebagai ‘akidah agama’. Walau secara resmi tidak dikatakan demikian, tetapi perilakunya mengatakan itu.”

WA tersebut ditutup: “Harus ditegaskan: Pancasila bukan akidah agama”. Apa peringatan itu berarti perhatian pada Pancasila berlebihan lagi? Waktu Reformasi, omongan tentang Pancasila pernah hilang. Suatu reaksi atas overload omongan Pancasila Orde Baru. Padahal di waktu Reformasi, Pancasila justru membuktikan diri.

Amat mengesankan bagaimana di masa teramat kritis itu dua presiden pertama Reformasi, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid; ketua MPR terpilih pertama Amin Rais, dan banyak tokoh lain, berhasil membawa Indonesia menjadi demokrasi tulen (meski belum sempurna) tetap atas dasar Pancasila.

Yang membawa Pancasila kembali ke wacana publik adalah masuknya radikalisme agama ke Indonesia. Radikalisme adalah ancaman karena menolak nilai-nilai, bahkan identitas bangsa. Cukup melihat Suriah, Irak, Libya, juga Mozambik dan Nigeria. Negara-negara itu tersobek-sobek atas dasar identitas agama, dan sering juga suku.

Karena itu, Pancasila pantas disyukuri. Indonesia terdiri atas ratusan komunitas etnik, budaya dan agama, masing-masing dengan identitasnya sendiri.

Tetapi dengan menyepakati lima sila Pancasila sebagai dasar etika dan kemanusiaan bersama, Indonesia berhasil mencapai sesuatu yang di Myanmar atau di Etiopia tak berhasil diwujudkan: yakni bahwa identitas masing-masing komunitas tak ditindas, melainkan dilindungi dan diangkat oleh identitas nasional.

Sebagai orang beridentitas Indonesia, orang Jawa bisa tetap Jawa dan orang Minang tetap Minang, orang Katolik bisa tetap 100 persen Katolik dan orang Islam bisa 100 persen setia pada akidahnya. Itulah peran kunci Pancasila.

Bukan Menyaingi Agama

Atas dasar Pancasila, tiga orientasi dasar masyarakat Indonesia bersatu: mereka yang secara politis berfokus pada kebangsaan, lalu seluruh mainstream Islam Indonesia, dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai representannya, serta komunitas-komunitas agama dan kepercayaan lain. Persatuan Indonesia begitu kuat karena tiga orientasi itu mau bersatu, dan mereka bisa bersatu atas dasar Pancasila.

Namun, dan itu menentukan:Pancasila hanya dapat memainkan peranannya apabila tak dijadikan semacam filsafat hidup yang malah menyaingi agama. Begitu pula segala “pemerasan” untuk mencari semacam “hakikat Pancasila” sudah tepat kalau ditolak (tanpa perlu menyangkal bahwa “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”, atau “gotong royong” bisa ditemukan di dalam).

Pancasila, padanya “negara Republik Indonesia … berdasar” adalah persis, dan secara eksklusif, lima sila yang disebut pada akhir Pembukaan UUD 1945, seperti yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Tidak kurang, tetapi juga tidak lebih.

Yang mempersatukan ratusan komunitas etnik, budaya dan agama Indonesia yang berbeda, baik mayoritas maupun minoritas, yang memungkinkan mereka hidup bersama dalam damai, adalah bahwa mereka dapat mendasarkan diri pada lima sila itu. Sedangkan realisasi Pancasila dalam perpolitikan konkret, misalnya bagaimana keadilan sosial diwujudkan, harus disepakati terus-menerus dalam proses pencarian arah bangsa secara demokratis.

Perlu diingat bahwa manusia Indonesia bukannya beretika dan beragama karena ia ber-Pancasila, melainkan ia ber-Pancasila karena ia beretika dan beragama. Apa yang baik dan yang jahat, jujur atau curang, begitu pula keagamaannya, sudah diinternalisasikan manusia Indonesia di tahun-tahun paling pertama hidupnya: dari ibunya, dari lingkungannya, dari umatnya, dari budayanya, jauh sebelum ia untuk pertama kali mendengar kata Pancasila.

Kita justru merangkul Pancasila karena dalam lima silanya kita menemukan suatu etika luhur, dan orang beragama bisa meyakini Pancasila karena lima silanya ternyata amat sesuai dengan agamanya.

Maka melebih-lebihkan Pancasila mau dijadikan semacam filsafat hidup seluruh bangsa justru akan kontraproduktif. Itu kiranya yang dimaksud oleh peringatan di atas, agar Pancasila jangan diangkat menjadi mirip akidah agama.

Sangat cukup jika Pancasila terus dipromosikan sebagai lima prinsip etika bangsa yang disepakati semua, yang karena itu memungkinkan kita saling menerima, saling menghormati, bahkan saling menghargai dalam perbedaan, juga dalam perbedaan beragama.

Suatu keberhasilan yang luar biasa bangsa Indonesia! Yang semakin diakui dunia internasional. Karena itu, kita perlu menghindar dari memberi kesan bahwa Pancasila mau mengurangi semangat agama.

Kalau kita mau terus memantapkan NKRI berhadapan dengan sekian tantangan, bukan hanya radikalisme, tetapi juga globalisme ekonomis dan sebagainya, kita harus tegas-tegas mendasarkan diri pada lima prinsip atau sila di Pembukaan UUD 1945 yang kita sebut Pancasila. Tak kurang, tak lebih. ***

***Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi filsafat Driyarkara

Comment